Inovasi adalah kekuatan daya saing industri dan bangsa. Kekuatan yang tercipta dari tangan inovator di lembaga riset itu, dapat berdampak bila disalurkan ke industri hingga ke pasar. Karena itulah perlu dibentuk Sistem Inovasi terpadu hulu-hilir yang merangkum semua komponen terkait.
"Jika kita ingin memetik kemampuan berinovasi yang mapan di hilir, kita perlu terjun mengurai dan menata kompleksitas masalah yang terjadi di hulu," urai Zuhal, Ketua KIN (Komisi Inovasi Nasional). Seperti yang disinggung dalam bukunya berjudul "Knowledge Platform Kekuatan Daya Saing & Innovation", keruwetan itu berkaitan dengan interaksi antara inovator di lembaga riset, birokrasi di pemerintahan, dan sistem pendidikan.
Karena itu menurut Zuhal yang juga Rektor Universitas Islam Al Azhar Indonesia, di hulu harus dilakukan reformasi birokrasi dan sistem pendidikan, serta mendorong munculnya political will pemerintah dalam membangun Sinas (Sistem Inovasi Nasional) yang terpadu."
Dengan penataan Sinas yang baik dan penerapannya yang tepat, New Industrial Countries telah membuktikannya dapat mencapai perkembangan ekonomi yang pesat," lanjut Zuhal.
Indonesia jelas perlu membangun Sinas, namun harus dengan kebijakan yang tepat. Karena bila tidak, bukan pertumbuhan ekonomi yang cepat yang diperoleh, namun sebaliknya kemunduran.
Finlandia merupakan contoh negara yang sukses meningkatkan perekonomiannya karena mengaplikasikan Sinas yang tepat.
Dalam hal ini kebijakan dasar yang diambil negeri skandinavia ini adalah pembangunan sistem inovasi yang holistik, yaitu tidak hanya berkaitan dengan sains, teknologi dan pendidikan, tapi juga kebijakan lain mengenai perusahaan, persaingan usaha, lingkungan dan tenaga kerja.
Kebijakan dasar lainnya adalah membangun platform prioritas inovasi termasuk membentuk Dewan Sains dan Teknologi Finlandia (DSTF) dan membentuk jaringan pendanaan dan dukungan inovasi. Langkah Finlandia 'the Finland way" kemudian diikuti negara Eropa lainnya, seperti Belanda, Swiss, dan Estonia.
Indonesia dapat menempuh hal yang sama, namun harus bersikap kritis alam mengadopsi model Sinas negara lain. Karena negeri ini memiliki karakteristik wilayah yang berbeda dengan negara Skandinavia itu.
Penetapan model Sinas, selain perlu mengacu pada posisi geografis juga daya dukung alamnya. Kedua hal ini merupakan keuntungan komparatif yang tidak dimiliki negara lain. "Keunggulan ini mesti dijadikan pertimbangan penting”, tegas Zuhal, mantan Menristek.
Dengan model Sinas yang tepat -yakni mempertimbangkan kekhasan negeri sendiri - maka kelak dapat lebih mendukung pertumbuhan ekonomi secara berkesinambungan. Karena Indonesia 80 persen wilayahnya diliput oleh lautan, maka Zuhal mengusulkan model Sinas yang mendorong "Perekonomian berbasis Benua Maritim".
Dalam hal ini kekuatan Indonesia antara lain adalah pada kekayaan lautnya, sumberdaya energi dan mineral, keragaman budaya, serta memiliki nilai strategis dalarn hal transportasi dan hankamnya. Visi 50 tahun
Untuk membangun Sinas perlu kesadaran kolektif dan konsensus antarelemen masyarakat, terutama di lembaga riset, industri, dan pemerintah. Tiga kelompok atau institusi ini harus bersinergi membentuk triple helix. "Ikatan masing-masing institusi harus diatur agar aliran pengetahuan dari satu institusi ke institusi lainnya dapat berjalan lancar," urai Zuhal yang menjadi gurubesar di Fakultas Teknik Ul.
Konsensus masing-masing institusi kemudian dituangkan menjadi sebuah Visi Negara 50 tahun ke depan. Visi ini tidak boleh diubah selama kurun waktu itu. Visi ini mesti memiliki ketetapan kuat untuk menjadi acuan arah negara.
Setiap pemerintahan baru yang dipilih untuk memerintah selama lima tahun, harus mengacu kepada Visi Negara yang sudah disepakati itu. "Siapa pun yang memegang tampuk kekuasaan tidak harus mengubah visi itu, namun menjabarkan cara tercepat mencapai tujuan itu," jelasnya.
Dalam membangun system inovasi nasional, Zuhal melihat perlunya renovasi system pendidikan nasional untuk menciptakan SDM yang mampu mendukung kesinambungan inovasi bangsa. Dala kaitan ini diperlukan perubahan kurikulum menjadi kurikulum yang sangat fleksibel dengan memasukkan konsep baru inovasi kedalam system pengajaran, terutama pada tingkat universitas.
“Temuan baru dalam bidang sains dan teknologi dapat diperkenalkan melalui beberapa mata pelajaran tambahan atau mata kuliah piiihan” ,urai Zuhal. la juga menilai perlunya pengenalan konsep enterpreneurship pada pelajar dan mahasiswa di tingkat pendidikan menengah dan tinggi. Hal ini untuk menumbuhkan jiwa kewiraswastaan dalam mengantisipasi perubahan cepat di bidang iptek.
Selain itu menurut Zuhal, lembaga riset perlu dipertajam perannya dengan mendefinisi ulang tugasnya agar tidak terjadi tumpang tindih peran dan kompetensi. BPPT misalnya pada awal pembentukannya harus dekat dan memiliki jaringan erat dengan industri. Namun belakangan peran tersebut menjadi kabur.
Restrukturisasi BPPT perlu dilakukan baik dari segi organisasi maupun pola kerja dengan industri. Bahkan BPPT mungkin perlu diswastanisasi supaya dapat bergerak lincah dalam menciptakan peluang bisnis hingga dapat membangun kerjasama dan lobi bisnis lebih baik dengan dunia industri.(yi/mediaiptek edisi 33 agust-sept2010 hal 8-9/humasristek)
• Ristek
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment