Dua kapal selam yang pertama datang dari negara komunis yang kini sudah bubar itu adalah KRI Tjakra dan KRI Nanggala. Dua nama tersebut memang menggambarkan kedigdayaan. Cakra adalah senjata sakti milik Prabu Kresna, raja Dwarawati. Nanggala adalah senjata tanpa tanding milik Prabu Baladewa, Raja Mandura, kakak Kresna.
KRI Tjakra dan KRI Nanggala dibawa langsung oleh prajurit TNI-AL pada 12 September 1959 setelah belajar di Oksiwi, Polandia. Hari itulah yang lantas diperingati sebagai hari kelahiran Korps Hiu Kencana atau satuan kapal selam.
Seiring berkembangnya teknologi, kapal selam jenis Whiskey mulai pensiun. Terakhir, KRI Pasopati-410 (namanya diambil dari anak panah milik Arjuna yang menewaskan raksasa jahat Niwatakaca) mengakhiri masa tugas. KRI Pasopati lantas jadi monumen kapal selam di tepi Kalimas, samping Surabaya Plaza.
Saat armada kapal selam masih begitu aktif, Indonesia mengirimkan prajurit-prajurit terbaiknya untuk mengikuti pelatihan di luar negeri. Misalnya, di Jerman Barat dan Pakistan. ''Saya merasakan keduanya. Ya di Jerman, ya di Pakistan,'' kenang Dradjat Budiyanto.
Kakek tujuh cucu itu benar-benar dididik untuk menjadi prajurit dengan spesialisasi alutsista (alat utama sistem persenjataan) baru, yakni kapal selam. Memang, sejak berkarir di matra laut itu, Dradjat selalu berada di kesatuan kapal selam.
Dia belajar di Pakistan pada 1996. Kala itu, KSAL Laksamana Arief Kushariadi menginginkan alutsista matra laut yang terjangkau. Sebab, alokasi dana bagi TNI-AL begitu minim. Penugasan ke Pakistan tersebut juga merupakan ''penolakan'' secara halus terhadap rencana pembelian kapal selam baru tipe Scorpene dari Prancis. Kapal itu dibanderol USD 600 juta tanpa torpedo. Versi lengkapnya seharga USD 700 juta (sekitar Rp 7 triliun). ''Terlalu mahal untuk TNI-AL saat itu,'' ujar Dradjat.
Dia belajar bersama enam prajurit lainnya ke Pakistan karena negara itu sedang membangun dua kapal selam mini di Pakistan Naval Dockyard. Di kalangan mereka, kapal selam itu disebut midget. Itu adalah istilah untuk sesuatu yang mini alias kuntet atau kate. Nah, kapal selam kuntet itu hanya menghabiskan anggaran USD 13 juta. Jauh lebih murah daripada Scorpene made-in Prancis tersebut.
''Ditambah pengetahuan dari Jerman, saya bisa menciptakan sendiri desain midget saat kembali di Indonesia,'' jelas suami Sri Hartini tersebut.
Dradjat yang rambutnya telah memutih itu membuktikan omongannya. Dia membuka sebuah map merah berukuran 30 x 35 sentimeter. Isinya adalah konsep midget, kapal selam kate, yang dia ciptakan selama enam tahun sejak 1997. Kapal rancangan Dradjat berbadan luar baja. Panjangnya 24 meter dan hanya berisi 11 orang.
Awaknya adalah empat komando atau frogman serta tujuh pelaut. Karena berukuran kuntet, ia hanya mampu membawa empat torpedo. ''Tidak bisa dikecilkan lagi ukurannya. Lha wong torpedonya saja delapan meter,'' tegas pria kelahiran Madiun, 28 Januari 1943, tersebut.
Secara detail, Dradjat menjelaskan detail si kuntet tersebut. Katanya, kapal selam itu adalah substitusi kapal selam. Rancangan kapal selam yang dinamai Indonesia Midget Experimental 1 Baby Submarine tersebut bisa melakukan apa pun seperti kapal selam umum. Bahkan, ukurannya yang kecil membuat kapal selam itu susah dideteksi musuh. ''Ibarat suara truk dan sedan. Mana yang lebih mudah didengar dari kejauhan? Truk, kan? Soalnya, lebih bising,'' ungkapnya.
Pensiunan kolonel itu tak sekadar merancang dalam gambar. Dradjat juga berbicara khusus dengan penyedia pompa merek Lensen dan pompa pendingin Stork. Mereka diminta membuatkan pompa khusus bagi kapal rancangannya. Dari berbagai harga yang telah disurvei, kapal selam rancangan Dradjat tak bakal menghabiskan lebih dari USD 10 juta.
''Kita bisa membuat kapal selam yang lebih banyak, daripada membeli,'' ujarnya.
Dalam pemikirannya, kapal selam dalam jumlah banyak -walaupun mini- tetap ngefek untuk menjaga keamanan. ''Ibaratnya, kampung yang punya hansip banyak. Lebih aman daripada hanya punya satu hansip yang jago kungfu sekalipun,'' ujar pria yang menguasai bahasa Inggris, Jerman, Rusia, dan Jepang tersebut.
Agar desain itu tidak terkesan asal-asalan dan bisa diaplikasikan, dia mulai melakukan uji coba. Dradjat benar-benar tersenyum puas ketika sejumlah pihak menyatakan bahwa karyanya benar-benar aplikatif.
Misalnya, pengakuan dari Laboratorium Hidrodinamika Indonesia (LHI) BPPH/BPPT, National Ship Design Centre (NASDEC) Departemen Perindustrian, dan komponen teknikal angkatan laut -mulai Fakultas Kelautan Hang Tuah hingga Sekolah Tinggi Teknologi Angkatan Laut (STTAL).
Howaldtswerke Deutsche Werft AG (HDW), pembuat kapal selam asal Jerman, juga mengakui ketepatan rancang bangun milik Dradjat. ''Bukan asal-asalan, mereka semua menyetujui tanpa ada intervensi apa pun,'' tegas ayah tiga anak tersebut sambil menunjukkan bukti dari HDW.
Sejak konsep itu selesai pada 2003, Dradjat mulai mempromosikan rancangannya ke berbagai pemerintah. Mantan KSAL Laksamana Arif Kushariadi dan Laksamana M. Arifin sebagai pencetus ide terus mendorong dirinya untuk mewujudkan kapal yang digadang-gadang lebih lincah karena ukurannya yang kecil itu. ''Kemarin (12/10), KSAL Tedjo Edhy Purdijanto menemui saya dan meminta proyek tersebut terus dikembangkan,'' imbuhnya.
Dradjat kembali membuka map merahnya. Kali ini, dia ingin menunjukkan semua surat yang selalu disimpan secara rapi. Di situ ada tulisan konsep midget, filosofi pembangunan, deskripsi teknis SUVT (special underwater vehicle for touring) yang dikirimkan ke Menteri Pertahanan Yuwono Sudarsono, Menristek Kusmayanto Kadiman, Menteri Perindustrian Fahmi Idris, Asrenum Panglima TNI Marsekal Muda Rio Mendung Thaleb, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Sejauh ini, instansi-instansi tersebut hanya membalas kiriman Dradjat dengan surat-surat pendek. Intinya, Dradjat harus menguji coba lagi midget rancangannya. Tak ada yang memberi kesempatan pembuatan satu kapal selam pun. Meski, Dradjat sudah menggaransi bahwa biayanya pasti tak lebih dari USD 10 juta (sekitar Rp 100 miliar). ''Padahal, kalau apa-apa beli, kita ora pinter-pinter. Mencoba dan gagal lebih baik daripada diam saja,'' ungkap pria yang pensiun pada 1999 itu.
Pada usianya ke-66, Dradjat merasa ''iri'' pada Letnan Angkatan Darat Israel Uziel Gal yang menemukan senjata Uzi. Dradjat juga melihat Michael Henrik Schmelter dari Jerman yang menemukan kapal selam mini 2Dive. Ide mereka mendapat apresiasi tinggi dari negara masing-masing. ''Jerman berani mewujudkan karya Michael yang seorang pemuda. Saya yang 32 tahun berkutat dengan kapal selam tidak digunakan sama sekali,'' ujarnya.
Bagaimanapun, old soldier never die (prajurit tak akan pernah mati). Dradjat tetap tak patah arang. Dia yakin kelak temuannya dipertimbangkan oleh pemerintah. Pria yang mahir bermain gitar itu akan menahan diri selama mungkin untuk tak melepas karyanya ke luar negeri. Meski, kata dia, sejumlah tawaran mancanegara telah mampir ke rumahnya di Jalan Teluk Tomini. ''Saya anak bangsa. Akan setia sampai akhir kepada Indonesia,'' tegasnya.
Tapi, tetap saja Dradjat berkata lirih. ''Sampai kapan kita menunggu dan mencoba sendiri,'' katanya. Bahkan, dia mengungkapkan bahwa saat ini tak banyak orang di pemerintahan yang punya jiwa pejuang tinggi. Kalah oleh Saridjah Niung Bintang Soedibjo alias Ibu Soed. Dia adalah seorang wanita yang mampu membangkitkan anak bangsa melalui lagu ciptaannya.
Perlahan, Dradjat menyenandungkan lagu ciptaan Ibu Soed yang begitu heroik. Nenek moyangku, seorang pelaut. Gemar mengarung luas samudera. Menerjang ombak tiada takut, menempuh badai sudah biasa. (*/dos)
• Jawapos
0 comments:
Post a Comment