Wagini (55) menghidupkan alat pembangkit listrik rumahan bertenaga surya untuk menyalakan lampu di Desa Krajan, Tumpang, Malang, Jawa Timur, Rabu (8/2). Sudah 5 tahun ini, sekitar 100 rumah di kawasan tersebut memanfaatkan pembangkit listrik rumahan bertenaga surya untuk penerangan dan menyalakan sejumlah peralatan elektronik lainnya. (FOTO ANTARA/Ari Bowo Sucipto/ss/pd/12 |
Jakarta (ANTARA News) - Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Marzan Azis Iskandar mengatakan Indonesia harus membangun industri sel surya untuk memenuhi kebutuhan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan mengurangi ketergantungan impor sel surya.
"Indonesia sudah mengembangkan teknologi tenaga surya sejak 1980, tapi sampai sekarang belum ada industrinya sehingga kita tergantung dengan produk impor," kata Marzan pada peluncuran hasil studi kelayakan industri sel surya di Indonesia, di Jakarta, Selasa.
Indonesia mempunyai potensi energi surya yang sangat besar yaitu 4,8 kWh/m2/ hari setara dengan nilai peak sun hour (PHS) sebesar 4,8 jam/hari tapi pemanfaatan untuk energi masih sangat rendah.
Tercatat hingga 2011 total aplikasi baru mencapai 17 MWp. Jika dibandingkan dengan kapasitas terpasang pembangkit listrik di Indonesia sebesar 33,7 GW, maka kontribusi tenaga surya untuk pembangkit listrik baru sebesar 0,05 persen.
Berdasarkan Perpes No 5 Tahun 2006 pemerintah sudah mencanangkan target memperbesar kontribusi sumber energi terbarukan dalam bauran energi sampai dengan 17 persen termasuk tenaga surya sebesar 0,2-0,3 persen pada 2025.
Menurut Marzan, untuk mengejar target tersebut diperlukan sekitar 0,8-1,0 GW kapasitas terpasang PLTS. Maka diperlukan penambahan kapasitas 65 MW per tahun tapi pemanfaatannya masih rendah hanya 2,5 MW per tahun.
"Untuk memenuhi target itu kita harus membangun industri sel surya karena tidak mungkin sel surya kita impor semua. Karena itu, BPPT melakukan studi kelayakan pembangunan industri sel surya di Indonesia dan dari empat teknologi yang diuji kristalin silicon yang paling tepat," kata Marzan.
Menurut Marzan, saat ini Indonesia masih mengimpor komponen teknologi sel surya hingga 60 persen.
Hasil studi menunjukkan teknologi kristalin silikon lebih dipilih dibandingkan Thin Film sebab teknologinya lebih baik, dari pertimbangan biaya investasi kristalin silikon lebih kecil sebab bisa dibagi menjadi beberapa industri tersendiri.
Setelah dihitung, investasi industri surya menggunakan kristalin silikon sebesar 45,2 juta US dolar mampu menghasilkan 60 MW. Sementara jika mengimpor harga sel surya mencapai satu juta dolar per watt peak.
Disamping itu, kristalin silikon mempunyai masa pemanfaatan yang lebih panjang mencapai 25 tahun dibandingkan Thin Film yang rata-rata hanya 10-15 tahun.
"Dengan adanya industri, kita juga bisa mengendalikan kualitas sehingga ke depan sel surya yang beredar di Indonesia yang berkualitas baik," kata Marzan.(D016)
"Indonesia sudah mengembangkan teknologi tenaga surya sejak 1980, tapi sampai sekarang belum ada industrinya sehingga kita tergantung dengan produk impor," kata Marzan pada peluncuran hasil studi kelayakan industri sel surya di Indonesia, di Jakarta, Selasa.
Indonesia mempunyai potensi energi surya yang sangat besar yaitu 4,8 kWh/m2/ hari setara dengan nilai peak sun hour (PHS) sebesar 4,8 jam/hari tapi pemanfaatan untuk energi masih sangat rendah.
Tercatat hingga 2011 total aplikasi baru mencapai 17 MWp. Jika dibandingkan dengan kapasitas terpasang pembangkit listrik di Indonesia sebesar 33,7 GW, maka kontribusi tenaga surya untuk pembangkit listrik baru sebesar 0,05 persen.
Berdasarkan Perpes No 5 Tahun 2006 pemerintah sudah mencanangkan target memperbesar kontribusi sumber energi terbarukan dalam bauran energi sampai dengan 17 persen termasuk tenaga surya sebesar 0,2-0,3 persen pada 2025.
Menurut Marzan, untuk mengejar target tersebut diperlukan sekitar 0,8-1,0 GW kapasitas terpasang PLTS. Maka diperlukan penambahan kapasitas 65 MW per tahun tapi pemanfaatannya masih rendah hanya 2,5 MW per tahun.
"Untuk memenuhi target itu kita harus membangun industri sel surya karena tidak mungkin sel surya kita impor semua. Karena itu, BPPT melakukan studi kelayakan pembangunan industri sel surya di Indonesia dan dari empat teknologi yang diuji kristalin silicon yang paling tepat," kata Marzan.
Menurut Marzan, saat ini Indonesia masih mengimpor komponen teknologi sel surya hingga 60 persen.
Hasil studi menunjukkan teknologi kristalin silikon lebih dipilih dibandingkan Thin Film sebab teknologinya lebih baik, dari pertimbangan biaya investasi kristalin silikon lebih kecil sebab bisa dibagi menjadi beberapa industri tersendiri.
Setelah dihitung, investasi industri surya menggunakan kristalin silikon sebesar 45,2 juta US dolar mampu menghasilkan 60 MW. Sementara jika mengimpor harga sel surya mencapai satu juta dolar per watt peak.
Disamping itu, kristalin silikon mempunyai masa pemanfaatan yang lebih panjang mencapai 25 tahun dibandingkan Thin Film yang rata-rata hanya 10-15 tahun.
"Dengan adanya industri, kita juga bisa mengendalikan kualitas sehingga ke depan sel surya yang beredar di Indonesia yang berkualitas baik," kata Marzan.(D016)
• ANTARA News
0 comments:
Post a Comment