Harimau Sumatera. AP/WWF-Indonesia/PHKA
TEMPO Interaktif, Jakarta - Kabar menggembirakan sekaligus mencemaskan datang dari hutan Sumatra. Pada dua bulan terakhir, kamera foto dan video otomatis WWF berhasil merekam sedikitnya 12 ekor harimau Sumatra. Padahal, para harimau yang terdiri dari induk dan anaknya itu berada di habitat yang terganggu di bagian barat Hutan Bukit Tigapuluh di Kabupaten Indragiri Hulu, Riau, dan Kabupaten Tebo, Jambi.
Dalam foto dan video yang dirilis hari ini, tampak di antaranya dua keluarga besar yang terdiri dari dua ekor harimau betina dan empat ekor anak yang sedang bermain-main di depan kamera.
Menurut WWF dalam siaran pers hari ini, rekaman video ini semakin memperkuat desakan perlindungan hutan alam yang tersisa di kawasan satwa Bukit Tigapuluh, yakni di Bukit Rimbang Baling yang saat ini terancam pembukaan hutan secara besar-besaran.
Berdasarkan survei Maret dan April lalu, foto keluarga harimau pertama (terdiri dari seekor induk dan seekor anak) terekam pada 24 Maret 2011 di Rimbang Baling. Pada 4 April 2011, sekitar 10 kilometer jaraknya dari lokasi kamera pertama, terekam video keluarga harimau kedua, yaitu seekor induk dan tiga anaknya. Rekaman video tersebut berdurasi lima menit.
“Selain video dan foto dari dua keluarga harimau tersebut, kami juga berhasil mendokumentasikan sebanyak 47 foto harimau–enam di antaranya telah teridentifikasi sebagai individu berbeda,“ kata Karmila Parakkasi, Koordinator Tim Riset Harimau WWF-Indonesia Program Riau.
Karmila mengatakan rekaman itu adalah kado yang berkesan bagi Hari Bumi. Ini sudah kedua kalinya tim riset harimau WWF-Indonesia berhasil mendapatkan video anak dan induk harimau secara bersamaan. Sebelumnya, pada September 2009, untuk pertama kalinya WWF berhasil merekam video induk dan dua anaknya di kawasan Rimbang Baling.
Dari penelitian yang dilakukan sejak 2005, diketahui bahwa Rimbang Baling merupakan habitat penting bagi harimau Sumatra. Selain habitat harimau Sumatra, lansekap kawasan Bukit Tigapuluh juga merupakan rumah bagi gajah dan orangutan Sumatra serta masyarakat asli Orang Rimba dan Talang Mamak. Kondisi saat ini, kawasan tersebut mengalami degradasi karena pembukaan hutan alam dalam skala besar oleh perusahaan dan perambahan yang dilakukan oleh masyarakat untuk kebun sawit.
”WWF mendesak pemegang konsesi di koridor satwa tersebut untuk benar-benar melakukan perlindungan daerah bernilai konservasi guna menghindari terjadinya konflik antara manusia-satwa liar," kata Anwar Purwoto Direktur Program Hutan, Spesies dan Air Tawar WWF-Indonesia. [DEDDY SINAGA]
• TEMPOInteraktif
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment