"Tidak percuma rasa penasaran kami terhadap keunikan muara Kali Opak akhirnya mendapat penghargaan di sini," ujar Darmadi, 20 tahun, seusai menerima sertifikat penghargaan yang ditandatangani presiden Asosiasi, Han Qide, di Los Angeles Covention Center. Darmadi dan Yan, 19 tahun, pun seketika mendapat ucapan selamat dari empat peserta Indonesia lain.
Darmadi dan Yan meneliti sungai yang bermuara di pantai selatan itu ketika keduanya masih duduk di bangku SMA di Yogyakarta, pertengahan tahun lalu. Mereka sama-sama bergabung di Taman Pintar Science Club. Saat mencari ide untuk ikut Lomba Karya Ilmiah Remaja Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), mata keduanya terpaku pada hasil citra satelit sungai-sungai yang bermuara di pantai selatan Jawa Tengah yang diberikan seorang dosen geologi Universitas Gadjah Mada. Dari hasil interpretasi geomorfologi citra satelit itu ternyata semua sungai`di selatan Jawa Tengah memiliki bentuk yang sama: muaranya membelok ke Barat.
Keunikan itu ditemukan pada Kali Serayu di Cilacap, Kali Luk Ulo Tanggulangin di Kebumen, Sungai Wawar di daerah Purworejo, Sungai Bogowonto dan Sungai Progo di Kulonprogo, hingga Kali Opak Bantul. Keduanya pun penasaran mencari sebab pembelokan yang seragam tersebut. Mereka memutuskan melakukan penelitian mendalam di Kali Opak dengan memeriksa secara seksama batuan penyusun pada beberapa sampel di muara sungai.
Hasil penelitian itu kemudian tak hanya dibawa ke LKIR LIPI, tapi juga ke ajang kompetisi lebih besar yang diselenggarakan Intel Corp dari Senin hingga Sabtu ini. Mereka membawa presentasi berjudul "Opak River Mouth: A Unique Deflection". "Hipotesis kami: penyebab pembelokan karena adanya pembentukan sedimen yang menutup aliran Opak," kata Darmadi, yang kini kuliah di Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Institut Teknologi Bandung
Dengan melakukan analisis granulometri untuk mengetahui perbedaan dan persebaran ukuran butir pembentuk sedimen, uji mikroskopik dan pengukuran arah angin dari Laut India yang ternyata hampir sepanjang bulan mengarah ke Barat laut, mereka pun berkesimpulan bahwa hipotesis mereka benar. "Suplai sedimen yang terus menerus itulah, baik dari arah kali maupun laut, yang menyebabkan pembelokan," kata Yan, mahasiswa Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada.
Temuan faktor sedimentasi terus menerus inilah yang membuat enam juri yang bergelar doktor dan profesor itu terkesan. "Seorang juri mengatakan akan sangat berbahaya jika proses sedimentasi itu dibiarkan, bisa-bisa sungai terbendung dan berakibat banjir," ucap Yan menirukan ucapan sang juri.
China Association for Science and Technology adalah salah satu dari belasan lembaga yang memberikan penghargaan khusus dalam ajang kompetisi yang diikuti sekitar 1.600 siswa dan mahasiswa dari 65 negara. Lembaga yang memberikan penghargaan khusus antara lain CERN (Pusat Riset Nuklir Eropa), Weizmann Institute of Science, IEEE Foundation, National Taiwan Science Education Center, Naval Research, Ricoh, hingga Google. Pemenang terbanyak penghargaan khusus adalah para pelajar Amerika, disusul Cina, Brasil dan Kanada.
Para pemenang penghargaan khusus itu, juga para peserta lain, akan bertaruh kembali memperebutkan empat hadiah Grand Awards dan hadiah tertinggi The Gordon E. Moore Award pada Jumat siang (Sabtu dinihari WIB). Gordon E. Moore adalah salah satu pendiri Intel. Nilai hadiah The Gordon E. Moore mencapai US$ 75 ribu. Sedangkan Grand Awards bernilai total US$ 7.000.
Dua tim Indonesia lain adalah Andrey Irawan Halim-Reyner Jong dan Pebrian-Alanikika Pratyaksa. Andrey-Reyner mempresentasikan karya berjudul "Bamboo-based Composites For Earthquake-Resistant Building Materials", sedangkan Pebrian-Alanikika menyuguhkan penelitian social-science berjudul "30 Days Being Fisherman's Children: Study of Social-Culture and Economic Life of Fisherman's Family in Muara-Binauangrun, Wanasalam, Lebak-Banten".YOS RIZAL (LOS ANGELES)
• TEMPOInteraktif
0 comments:
Post a Comment