Bantul memilih tiga sekolah dan desa dalam proyek percontohan siaga bencana.
Kepanikan gempa di sekolah (ANTARA/ Maril Gafur) |
“Di SD Parangtritis dan SMA Kretek merupakan sekolah yang berada tak jauh dari pantai Selatan Yogyakarta sehingga rawan terjadinya gempa yang disusul dengan tsunami. Sedangkan, SMP Imogiri II merupakan sekolah yang tak jauh dari daerah penggunungan yang rawan longsor jika terjadi gempa dan juga hujan dengan intensitas tinggi,” ujar Ketua Pelaksanan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Bantul, DIY, Dwi Daryanto, Sabtu, 21 April 2012.
Kurikulum siaga bencana telah diajarkan ke seluruh kelas mulai dari kelas 1 hingga kelas 12 di ketiga sekolah ini. Setiap bulan pun dilaksanakan simulasi tanggap dini terhadap bencana tanah longsor akibat gempa dan tsunami.
Menurut Dwi, pada tahap awal hanya tiga sekolah yang dipilih. Setelah itu target dikembangkan untuk seluruh sekolah di Kabupaten Bantul.
BPBD Kabupaten Bantul juga melaksanakan pilot project Desa Tangguh Bencana Gempa dan Tsunami. Pemerintah memilih tiga desa percontohan yakni satu desa di Kecamatan Sanden, satu desa di Kecamatan Srandakan, dan satu Desa di Kecamatan Kretek.
“Desa-desa tersebut merupakan desa yang paling dekat dengan pantai sehingga rawan terjadinya bencana gempa yang disusul dengan tsunami,” ujar Dwi.
Program sekolah siaga bencana dan desa tanggap bencana ini diharapkan membuat masyarakat yang berada di lokasi dapat sedini mungkin mengevakuasi diri saat terjadi bencana gempa dan tsunami. Langkah ini bertujuan untuk meminimalisasi korban jiwa.
“Kesadaran daerah yang rawan terhadap gempa dan tsunami dari masyarakat sendiri akan mendorong masyarakat untuk tanggap lebih dini terhadap bencana yang mengancam sewaktu-waktu,” imbuhnya.
Di Bantul sendiri telah ada sekitar 8 titik yang dipasangkan alat peringatan dini yang ditempatkan disepanjang pantai selatan Bantul. Ketika terjadi gempa dan disusul dengan tsunami, alat tersebut dapat menyala. Ini dapat menjadi peringatan kepada masyarakat agar menjauh dari pantai.
“Setiap tanggal 26 kami mencoba alat peringatan dini tersebut sehingga dapat diketahui apakah alat tersebut berfungsi dengan baik atau tidak,” jelasnya (umi)
Kemendikbud telah mencanangkan pendidikan siaga bencana sejak tahun lalu.
VIVAnews - Indonesia terletak pada pertemuan empat lempeng dan memiliki gunung aktif terkaya di dunia sebanyak 129 buah. Sebagai negara yang menyimpan potensi bahaya, pengetahuan mengenai bencana sudah masuk dalam bahan ajar untuk siswa SD, SMP, dan SMA sejak 2011.Dari edukasi ini diharapkan murid sekolah siap setiap saat terjadi bencana alam seperti banjir, kebakaran, gempa, longsor, dan tsunami.
Pendidikan ini memiliki tujuan umum untuk memberikan gambaran dan acuan dalam proses pembelajaran siaga bencana. Guru dan kepala sekolah mendapat pendidikan dan pelatihan untuk dapat menerapkan pendidikan dan keterampilan siaga bencana.
Melalui pendidikan ini diharapkan siswa mampu berpikir dan bertindak cepat, tepat, dan akurat saat menghadapi bencana. Sikap empati terhadap korban bencana juga dibangun agar siswa dapat membantu orang lain.
Pendidikan yang diberikan tidak mencakup bencana sosial seperti kerusuhan dan tawuran. Hanya seputar bencana alam saja. Panduan materi yang disiapkan Kemendikbud bersama para pakar bencana alam ini diberikan dalam bentuk CD dan buku.
Edukasi bencana dapat dilaksanakan dengan tiga cara. Apabila kebutuhan sekolah hanya sekadar pengetahuan saja, maka bahan ajar akan berintegrasi dengan mata pelajaran. Bisa masuk dalam pelajaran yang memiliki kaitan seperti geografi dan pengetahuan alam.
Jika kebutuhan dirasa perlu mencakup pelatihan, maka dapat dimuat dalam muatan lokal dan Pendidikan Kecakapan Hidup (PKH). Panduan akan lebih dari sekedar sisipan informasi dalam pelajaran. Pelaksanaan pendidikan dapat pula meluas hingga kegiatan ekstrakulikuler.
Setiap kelas tentu memiliki materi yang telah disesuaikan. Sebagai contoh, untuk kelas 1 SD standar kompetensi diberikan untuk mengenal konsep dasar pengelolaan bencana, macam-macam bencana, cara penanggulangan bencana, dan dampak bencana.
Penerapan pada kelas 4 SD memiliki standar kompetensi yang lebih lanjut. Siswa diajarkan mengemukakan konsep pengelolaan risiko bencana, menjelaskan macam-macam bencana dan penyebabnya, menerapkan cara penanggulangan bencana, dan menyadari dampak dari bencana.
Waktu pelaksanaan pembelajaran pendidikan siaga bencana disampaikan dalam berbagai cara. Edukasi dapat diberikan dalam 2 semester dalam 1 tahun ajaran. Dalam satu minggu, muatan lokal dapat disampaikan 1 jam pelajaran atau lebih. Pembelajaran integrasi disampaikan sesuai mata pelajaran yang diintegrasikan. Dalam 1 tahun ajaran terdapat 2 kali simulasi bencana.
Kegiatan belajar-mengajar pun tidak harus di dalam kelas saja. Praktik bisa digelar di halaman, lingkungan sekitar sekolah, pantai, pegunungan, kunjungan ke pemadam kebakaran, museum, dan tempat umum lainnya.
Latihan dan Evaluasi
Program ini juga menyediakan Lembar Kerja Siswa (LKS) untuk mengukur kemampuan siswa. Struktur LKS pendidikan siaga bencana terdiri dari Lembar Apersepsi yang memuat pertanyaan untuk menguji pemahaman siswa, Aku Perlu Tahu berisi rangkuman materi, aktivitas yang terdapat contoh kasus untuk pencarian solusi, percobaan sebagai tugas eksperimen, dan kumpulan doa.
Evaluasi pendidikan diukur berdasarkan beberapa aspek yakni kognitif, afektif, dan psikomotor. Aspek kognitif mencakup pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi. Aspek afektif menilai penerimaan, tanggapan, penilaian, pengorganisasian, dan pembentukan watak. Aspek psikomotor terdiri dari meniru, menyusun, melakukan prosedur, melakukan dengan baik dan tepat, serta melakukan tindakan secara alami.
Soal latihan gempa bumi dapat berbentuk seperti, "Benda yang harus kita bawa untuk keadaan darurat adalah..." Untuk materi mengenai tsunami dapat berisi pertanyaan mengenai tanda-tanda tsunami hingga asal-usul namanya. Bencana banjir dapat membahas mengenai kebersihan lingkungan hingga penyakit pasca banjir.
Siaga bencana memuat pula muatan agama. Siswa diajarkan doa ketika mengalami bencana hingga kumpulan ayat suci terkait bencana alam dan cobaan.
"Semua pelaksanaan materi diserahkan kepada sekolah," ujar Kepala Pusat Kurikulum dan Perbukuan Kemendikbud, Diah Harianti.
Diah menyebutkan, setiap daerah memiliki kebutuhan berbeda terhadap edukasi siaga bencana. Sebagai wilayah yang rawan bencana, Aceh mengimplementasikan edukasi dalam muatan lokal karena dinilai sangat perlu. Jakarta justru lebih ringan menanggapi siaga bencana. Sebagai ibukota, pendidikan yang diberikan sebatas integrasi. (umi)
0 comments:
Post a Comment