Prof Dr Ir H Muhammad Hattah Fattah MS
YUSRAN/FAJAR |
SAMPAH biasa hanya berakhir dengan pembakaran dengan meyisahkan bau. Tahukah Anda sampah kini sudah bisa menghasilkan energi listrik.
JUMAT, 8 Juni siang lalu, gerimis tengah mengguyur Kota Makassar. Dengan sedikit tergesah-gesah saya memasuki sebuah ruangan di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan di Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar.
Tak lama menunggu, tiba-tiba muncul sosok lelaki dengan tampilan penuh wibawa. Yah, dialah Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan UMI Makassar, Prof Muhammad Hattah Fattah. Di Sulsel, ia satu-satunya konsultan untuk penerapan teknologi pengolaan sampah dengan sistem incinerator.
Siang itu, dengan penuh semangat ia menceritakan teknologi pembakaran sampah tanpa sisa yang sudah dikembangkan di negara-negara Eropa seperti Prancis, Belanda dan negara lainnya. Selain tanpa sisa dan bau, uniknya hasil olahan sampah dengan teknologi incinerator ini bisa menghasilkan energi listrik.
"Kalau teknologi ini bisa dijalankan di Sulsel, maka di Indonesia daerah kita yang pertama menerapkannya," katanya.
Memang agak aneh, ahli perikanan dan ilmu kelautan kok bisa menjadi konsultan untuk pengolaan sampah. Ternyata itu semua berawal dari keikusertaanya pada Forum Perhutani Indonesia yang memang fokus memperhatikan masalah lingkungan hidup. Sehingga tak mengherankan kalau bapak empat anak itu ahli dalam sanitasi dan kelestarian lingkungan, termasuk pengolaan sampah.
Saat ini sampah masih menyisahkan masalah serius terutama di perkotaan. Tumpukan sampah di Tempat Pembuangan Sementara (TPS) permukiman penduduk, mencemari udara, tanah, air serta menjadi tempat berkembang biak binatang maupun bakteri pembawa penyakit.
Setelah berhari-hari menumpuk dan membusuk di TPS, sampah diangkut ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Puluhan truk pengangkut sampah melewati jalan umum, menebarkan bau tidak sedap dan bisa menyebarkan penyakit. Di TPA sampah juga hanya dibiarkan menumpuk, menggunung, mencemari udara, mencemari air tanah dalam skala lebih luas.
Incinerator atau alat pembakaran sampah hadir sebagai solusi dari semua masalah yang ditimbulkan sampah tersebut.
"Kami sudah melakukan sosialiasi ke pemprov namun kami masih menunggu kepastian karena memang perlu pengkajian lebih dalam. Untuk saat ini, kami sudah mendapat signal positif dari Bupati Gowa yang sangat ingin menerapkan teknologi ini. Kebetulan bupati ternyata sudah dari China mengunjungi pabriknya langsung," papar Hattah.
Menurut Hattah, teknologi yang coba ditawarkan di Sulsel ini merupakan teknologi yang dikembangkan oleh sebuah perusahaan yang berpusat di Kuala Lumpur Malaysia oleh Solid Waste Menegement (SWT).
Memang untuk teknisnya, Hattah tidak begitu tahu namun untuk kajian dampak lingkunggan boleh dikata sudah tuntas. Ia menjelaskan, penerapan teknologi ini bisa memecahkan sejumlah persoalan lingkungan akibat sampah yang dihasilkan setiap harinya.
"Teknologi ini sangat ramah lingkungan. Selain itu, output yang dihasilkan pun sangat bermanfaat karena menghasilkan energi listrik yang sangat bermanfaat. Begitupun dengan ampas berupa klek yang bisa digunakan sebagai bahan baku pembuatan paving block. Bahkan di negara maju sudah dikembangkan menjadi aspal," jelasnya panjang lebar.
Dalam kondisi normal suhu pembakaran incinerator mencapai 900 derajat celcius yaitu suhu yang aman untuk memusnahkan sampah infeksius dan menyebabkan senyawa beracun dapat terurai pada sistem pembakaran sempurna. Serta emisi gas buang Incinerator jauh lebih baik dari standar baku mutu yang ditetapkan Lingkungan Hidup. (iad/aci)
JUMAT, 8 Juni siang lalu, gerimis tengah mengguyur Kota Makassar. Dengan sedikit tergesah-gesah saya memasuki sebuah ruangan di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan di Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar.
Tak lama menunggu, tiba-tiba muncul sosok lelaki dengan tampilan penuh wibawa. Yah, dialah Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan UMI Makassar, Prof Muhammad Hattah Fattah. Di Sulsel, ia satu-satunya konsultan untuk penerapan teknologi pengolaan sampah dengan sistem incinerator.
Siang itu, dengan penuh semangat ia menceritakan teknologi pembakaran sampah tanpa sisa yang sudah dikembangkan di negara-negara Eropa seperti Prancis, Belanda dan negara lainnya. Selain tanpa sisa dan bau, uniknya hasil olahan sampah dengan teknologi incinerator ini bisa menghasilkan energi listrik.
"Kalau teknologi ini bisa dijalankan di Sulsel, maka di Indonesia daerah kita yang pertama menerapkannya," katanya.
Memang agak aneh, ahli perikanan dan ilmu kelautan kok bisa menjadi konsultan untuk pengolaan sampah. Ternyata itu semua berawal dari keikusertaanya pada Forum Perhutani Indonesia yang memang fokus memperhatikan masalah lingkungan hidup. Sehingga tak mengherankan kalau bapak empat anak itu ahli dalam sanitasi dan kelestarian lingkungan, termasuk pengolaan sampah.
Saat ini sampah masih menyisahkan masalah serius terutama di perkotaan. Tumpukan sampah di Tempat Pembuangan Sementara (TPS) permukiman penduduk, mencemari udara, tanah, air serta menjadi tempat berkembang biak binatang maupun bakteri pembawa penyakit.
Setelah berhari-hari menumpuk dan membusuk di TPS, sampah diangkut ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Puluhan truk pengangkut sampah melewati jalan umum, menebarkan bau tidak sedap dan bisa menyebarkan penyakit. Di TPA sampah juga hanya dibiarkan menumpuk, menggunung, mencemari udara, mencemari air tanah dalam skala lebih luas.
Incinerator atau alat pembakaran sampah hadir sebagai solusi dari semua masalah yang ditimbulkan sampah tersebut.
"Kami sudah melakukan sosialiasi ke pemprov namun kami masih menunggu kepastian karena memang perlu pengkajian lebih dalam. Untuk saat ini, kami sudah mendapat signal positif dari Bupati Gowa yang sangat ingin menerapkan teknologi ini. Kebetulan bupati ternyata sudah dari China mengunjungi pabriknya langsung," papar Hattah.
Menurut Hattah, teknologi yang coba ditawarkan di Sulsel ini merupakan teknologi yang dikembangkan oleh sebuah perusahaan yang berpusat di Kuala Lumpur Malaysia oleh Solid Waste Menegement (SWT).
Memang untuk teknisnya, Hattah tidak begitu tahu namun untuk kajian dampak lingkunggan boleh dikata sudah tuntas. Ia menjelaskan, penerapan teknologi ini bisa memecahkan sejumlah persoalan lingkungan akibat sampah yang dihasilkan setiap harinya.
"Teknologi ini sangat ramah lingkungan. Selain itu, output yang dihasilkan pun sangat bermanfaat karena menghasilkan energi listrik yang sangat bermanfaat. Begitupun dengan ampas berupa klek yang bisa digunakan sebagai bahan baku pembuatan paving block. Bahkan di negara maju sudah dikembangkan menjadi aspal," jelasnya panjang lebar.
Dalam kondisi normal suhu pembakaran incinerator mencapai 900 derajat celcius yaitu suhu yang aman untuk memusnahkan sampah infeksius dan menyebabkan senyawa beracun dapat terurai pada sistem pembakaran sempurna. Serta emisi gas buang Incinerator jauh lebih baik dari standar baku mutu yang ditetapkan Lingkungan Hidup. (iad/aci)
0 comments:
Post a Comment