Pengguna internet Indonesia masih suka mengonsumsi media online dari luar negeri. Di Indonesia, juga konten yang disediakan untuk anak dan perempuan juga belum cukup.
VIVAnews - Pengguna internet di Indonesia mengalami pertumbuhan dramatis. Pada tahun 1999, pengguna internet di negeri ini baru sekitar satu juta orang, kini sudah berlipat menjadi 48 juta. Sementara pengguna telepon genggam Indonesia mencapai 180 juta.
Pada saat yang bersamaan, muncul revolusi media lewat medium baru. Media digital terus tumbuh secara menakjubkan dan perusahaan media online terus bertambah, baik di ibukota ataupun di daerah-daerah.
Sayangnya, di tengah dramatisnya penetrasi internet, telepon seluler dan media sosial, konten Indonesia tidak menjadi tuan rumah sendiri. Bangsa Indonesia baru menjadi 'bangsa pengguna', bukan bangsa pencipta.
Salah satu hal yang membuat situs dalam negeri tidak 'menjadi tuan di rumah sendiri' adalah tidak pesatnya pertumbuhan konten lokal. Penyedia konten dalam negeri tidak sanggup mengikuti pertumbuhan penetrasi internet dan telepon genggam. Industri konten tidak mampu bangkit walaupun infrastrukturnnya sudah disediakan oleh industri lain.
"Kalau ngomong 2G atau 3G kita mampu, tapi kalau ngomong konten, kita kurang," kata Sarwoto Atmosutarno, Direktur Utama Telkomsel dalam konferensi "Media Baru: Menjadi Tuan di Negeri Sendiri" di Hotel Nikko, Jakarta, 7 Juli 2011.
Menurut Sarwoto, Indonesia sebenarnya memiliki pengembang kreativitas bagi konten lokalnya. Sayang, banyak pengembang kreativitas di Indonesia yang melepas karyanya ke negara lain, seperti ke Korea dan Jepang. “Sebaliknya, pengembang kreativitas dari luar negeri justru menjual produknya ke dalam negeri," ujarnya.
Fenomena ini diakui oleh Sigit Widodo, pengembang game online asli Indonesia. Menurut Sigit, industri kreatif digital di dalam negeri masih terkendala oleh masalah finansial dan pemasaran.
Tak hanya itu, dukungan pemerintah juga hampir tidak pernah menyentuh pengembangan industri era internet media ini. Dalam hal pemasaran, konten Indonesia harus perang tarif dengan konten luar negeri yang jauh lebih rendah dari harga konten lokal sendiri. "Hampir 3 tahun ini kami tidak pernah mendapat support apapun dari pemerintah," ungkap Sigit.
Di sisi lain, media-media online juga harus menghadapi rendahnya pertumbuhan belanja iklan internet, sebagai alternatif pendanaan bagi kelangsungan hidupnya. Menurut Vice President Director PT MNC Handhi S Kentjono, media-media online memang belum menjadi prioritas bagi pihak pengiklan untuk memasang iklan produknya.
"Televisi masih dianggap sebagai media dengan pasar terluas, yang bisa diakses masyarakat dari Sabang sampai Merauke. Akhirnya pihak pengiklan pun masih lebih suka memasang iklan produknya via media ini ketimbang media internet,” ujar Handhi.
Handhi menambahkan, di media online, orang juga lebih suka melihat konten video. Dan pengguna internet dari Indonesia menduduki posisi kedua setelah Cina sebagai pendownload konten video.
"Para pengelola media online diharapkan dapat terus memperbaiki konten media,” kata Handhi. “Di Indonesia juga konten yang disediakan untuk anak dan perempuan juga belum cukup. Akibatnya pengguna internet masih suka mengonsumsi media online dari luar negeri," ucapnya.
Selain itu, pengelola media online juga dapat memanfaatkan televisi untuk mempromosikan kontennya.
• VIVAnews
0 comments:
Post a Comment