TEMPO Interaktif, Jakarta - Dulu, menjalani puasa sering dilakukan pembatik supaya mendapat ilham pola batik yang akan dituangkan di atas kain.
Tapi sekarang, cukup dengan beberapa klik tetikus komputer saja, sebuah pola batik dapat segera dihasilkan. Inilah yang dilakukan oleh Batik Fractal, membuat pola batik melalui software khusus yang diciptakan oleh para alumni ITB, Bandung, Jawa Barat.
"Pola batik yang digunakan berasal dari berbagai motif batik tradisional yang ada, misalnya motif parang," ujar Nancy Margried, salah satu penggagas Batik Fractal dalam acara 'Warnai Hidupmu' yang digelar Intel Indonesia di Jakarta Selatan, Jum'at, 30 September 2011.
Ia mengatakan dengan software ini, motif batik tersebut dapat dipadukan dengan motif lainnya, atau diatur komposisinya, sehingga tercipta pola yang baru. "Karena membuat pola tidak gampang, kadang pola yang sama dipakai berulangkali. Akibatnya, konsumen tidak akan membeli kain dengan pola yang sama," ujarnya.
Saat ini, ujar Nancy, sudah ada ratusan pola berbeda yang dibuat Batik Fractal melalui softwarenya, sejak berdiri pada 2009.
Meski menggunakan teknologi komputer, Batik Fractal tetap mempertahankan proses pengerjaan batik tradisional. Setelah gambar dibuat melalui komputer, gambar tersebut dicetak kemudian dijiplak ke atas kain yang hendak dibatik. Selanjutnya batik ditulis atau dicap, dan melalui proses pewarnaan seperti biasa.
"Ini dilakukan untuk memberdayakan pembatik tradisional," ujar Nancy. Ada sekitar 200 pembatik di berbagai daerah seperti Yogyakarta, Cirebon, Pamulang, hingga Jawa Timur yang digandeng Batik Fractal.
Batik Fractal bermula dari obrolan beberapa alumni ITB seperti Yun Hariadi, Muhammad Lukman, serta Nancy, mengenai desain batik yang memiliki pola matematis sehingga membentuk pola yang geometris. Dari sini, pada 2007 mereka mencoba membangun sebuah software berdasarkan pola matematis tadi, diawali dengan riset terhadap 300 pola batik Indonesia.
Versi awal software ini kemudian dipresentasikan dalam The 10th Generative Art International Conference di Milan, Italia, pada tahun 2007. Dalam konferensi ini, Batik Fractal mendapat sambutan baik, dan didorong merealisasikan penemuan ini, karena pembuatan kain tradisional dengan bantuan teknologi seperti ini belum pernah dilakukan.
Akhirnya, pada 2009 Batik Fractal mulai berani terjun ke bisnis batik. "Awalnya hanya orang-orang terdekat yang membeli batik ini, tapi kemudian menyebar hingga ke Australia, Inggris, dan Swiss," ujar Nancy. Pembelian dapat dilakukan melalui situs http://www.batikfractal.com.
Nancy mengatakan, sesungguhnya kain tradisional Indonesia yang lain seperti tenun, songket maupun ikat juga memiliki pola geometris. Karena itu, ujar Nancy, sebenarnya kain-kain tradisional tersebut juga berpotensi untuk bisa diproduksi dengan bantuan teknologi. "Ini bisa membantu para pembuat kain tradisinal untuk meringankan pekerjaannya, sekaligus melestarikan budaya bangsa," ujarnya.[RATNANING ASIH]
• TEMPOInteraktif
0 comments:
Post a Comment