TEMPO/Wahyu Setiawan
TEMPO.CO, Jakarta - Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) meminta pemerintah serius mengembangkan infrastruktur jaringan serat optik.
"Pembangunan fiber optik ini harus segera diselesaikan untuk mengatasi kesenjangan digital masyarakat Indonesia,” kata Pimpinan Mastel, Setyanto P. Santosa, saat pemaparan Indonesian ICT Outlook 2012 di Jakarta, Kamis, 15 Desember 2011.
Jangkauan fiber optik di Indonesia saat ini adalah yang paling rendah di kawasan Asia Tenggara. Berdasarkan data tahun 2010, penetrasi fiber optik di Indonesia hanya 2,8 persen.
Sedangkan Singapura sudah mencapai 82,9 persen. Adapun Malaysia dan Vietnam masing-masing 22,6 persen dan 16,5 persen. "Untuk produktivitas kita tidak bisa mengandalkan telepon seluler," katanya.
Pembangunan infrastruktur selama ini hanya diartikan dengan membangun jalan dan pelabuhan. Padahal, menurut Mastel, pengembangan jaringan kabel serat optik juga tidak kalah penting.
Setyanto mengungkapkan agenda pembangunan jaringan pita lebar ini baru masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2010–2014. Pemerintah, kata dia, kaget saat Mastel mengusulkan dimasukkannya pembangunan broadband dalam RPJM. “Waktu itu ada pro-kontra,” katanya.
Pemerintah selama ini dinilai hanya berpikir jangka pendek sehingga pembangunan fiber optik ini sedikit diabaikan. “Mereka beranggapan biar telekomunikasi diserahkan sepenuhnya ke swasta, pemerintah mengurus kemiskinan. Jadi, sangat sederhana cara berpikirnya,” katanya.
Akibatnya sampai saat ini pemerintah belum mempunyai cara untuk mengembangkan jaringan serat optik ini. Padahal, di saat yang sama pemerintah mengaku tidak mempunyai uang. Karena itu, solusinya, pemerintah harus menggunakan pola kerja sama pemerintah swasta atau public private partnership.
Namun, ternyata pemerintah belum punya model kerja sama pemerintah swasta untuk pembangunan jaringan serat optik. Pemerintah hanya punya model kerja sama untuk pembangunan pembangkit listrik. "Saya pernah ketemu Pak Gita sewaktu masih Kepala BKPM. Katanya pemerintah tidak punya model KPS untuk sektor teknologi informasi dan komunikasi," katanya.
Padahal, dalam RPJM 2010–2014 disebutkan peran swasta sebesar 82 persen, sedangkan pemerintah 18 persen. Sedangkan di Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia menyebutkan peran swasta bahkan 92 persen, peran pemerintah hanya 8 persen.
Mastel meminta pemerintah memberikan insentif kepada operator yang ingin mengembangkan jaringan serat optik ini. "Kalau pemerintah tidak bisa membangun, ya berikan insentif, misalnya ke Telkom," kata mantan Direktur Utama Telkom era 90-an ini.
Setyanto mengatakan pemerintah tidak bisa sepenuhnya menyerahkan pembangunan serat optik ini kepada para operator yang umumnya dimiliki oleh Asing. Investor asing, kata dia, tidak akan pernah berpikir jangka panjang. "Kalau ada kesempatan menjual perusahaan, ya dia jual, itu sudah nature-nya," katanya.
Pembangunan serat optik ini setidaknya membutuhkan investasi sebesar US$ 4,2 miliar. Menurut dia, kecil kemungkinannya para operator tersebut mengeluarkan belanja modal yang besar untuk membangun jaringan serat optik. "Telkom saja butuh triliunan untuk ini," katanya.
(IQBAL MUHTAROM)
• TEMPO.CO
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment