Bikin sewot masyarakat adat
Konflik antara PT Freeport Indonesia dengan masyarakat adat setempat meletup tujuh tahun setelah penambangan dimulai. Masyarakat empat wilayah adat Suku Amungme (Waa/Banti, Tsinga, Arwanop dan Kwamki), Lemasa, Lemasko, merasa terganggu karena lahan ulayat mereka digarap oleh perusahaan asal Amerika Serikat itu.
Pada 1974, akhirnya warga empat wilayah adat itu menuntut ganti rugi atas pembabatan hutan di atas lahan ulayat mereka. Di tahun sama, dibuatlah perjanjian disebut January Agreement 1974. Sayang, sejak perjanjian dibuat hingga 2000-an, konflik rupanya belum reda. Gangguan keamanan masih terjadi.
Ketua Ketua Komite Penyelamat Kekayaan Negara Marwan Batubara dalam buku berjudul Menggugat Pengelolaan Sumber Daya Alam Menuju Negara Berdaulat menyebut pada Februari 1978 terjadi penembakan terhadap seorang polisi. "Insiden ini disebabkan tak dipenuhinya seluruh janji Freeport tertuang dalam January Agreement."
Berikutnya pada Agustus 2002, terjadi penyerangan terhadap sejumlah karyawan pertambangan Freeport di Timika, Tembagapura, di jalur Mil 62-63. Peristiwa ini menewaskan dua warga Amerika, Ted Bargon dan Ricky Saipar, serta satu warga Indonesia bernama S.S. Bambang Riwanto.
Tahun itu juga Freeport akhirnya berunding dengan warga empat wilayah adat ditengahi oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Warga tetap menuntut ganti rugi atas pembukaan hutan di atas lahan ulayat. Konflik antara warga dan Freeport hingga kini belum selesai.
Ketua Koordinasi Nasional Papua Solidarity (NAPAS) Martaen Goo, beberapa waktu lalu mengatakan akar konflik Papua adalah kehadiran PT Freeport. Aparat keamanan diduga memanfaatkan Freeport untuk menarik uang keamanan, sedangkan warga Papua tidak mendapat kesejahteraan apa-apa. "Freeport juga membuat tanah Papua kotor. Alam rusak," kata dia.
Hubungan antara Freeport dengan pemerintah Indonesia juga meriang. Pemerintah menuntut renegosiasi kontrak karya penambangan. Namun Freeport McMoran sempat menolak renegosiasi. Bahkan mereka sempat mengancam membawa kasus ini ke Pengadilan Arbitrase Internasional.
Belakangan, perusahaan tambang terbesar di dunia itu melunak. Freeport mengaku siap melakukan renegosiasi dengan pemerintah. Namun mereka masih mencari formula cocok agar tercipta kesepakatan yang baik. "Perusahaan juga memahami itu dan mendukung," kata Direktur Utama Freeport Rozik Soetjipto.
Komisaris Independen PT Freeport Indonesia Marzuki Darusman mengatakan renegosiasi berjalan baik. Freeport juga masih mempelajari tuntutan pemerintah soal royalti sepuluh persen. "Pajak badan yang diwajibkan, ini semua dalam proses perundingan. Angka beredar harus dirundingkan, enggak ada target spesifik."
Menurut Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Rudi Rubiandini, besaran itu berdasarkan permintaan Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa. Dia mengakui angka itu terlalu tinggi. "Namanya juga usaha. tawar menawar. Tetapi tidak hanya untuk Freeport, ini berlaku buat semua," ujarnya.(mdk/fas)
Talak buat Freeport congkak
Sejak 1967 hingga kini PT Freeport Indonesia (PTFI) masih menggangsir bumi Papua, menambang emas, perak, dan tembaga. Selama hampir setengah abad itu telah muncul pelbagai masalah, terutama menyangkut jatah penerimaan negara karena kurang optimal. Masalah lain ihwal minimnya peran negara, terutama Badan Usaha Milik Negara, untuk ikut mengelola tambang dikuasai Freeport McMoran di daerah Mimika, Papua, itu.
Rupa-rupa persoalan itu mengakibatkan desakan terhadap pemerintah melakukan renegosiasi kontrak karya agar lebih menguntungkan negara dan rakyat Papua. Menurut Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (Iress) Marwan Batubara, Freeport merasa dirinya digdaya karena di bawah bendera Amerika Serikat. "Karena merasa adidaya tidak mau mengubah kontrak," kata Marwan ketika dihubungi merdeka.com lewat telepon seluler, Kamis pekan lalu.
Dia menjelaskan setelah Freeport McMoran menikmati keuntungan besar, mereka seperti emoh membagi keuntungan lebih banyak dengan pemerintah. Kontrak karya itu pertama kali ditandatangani pada 1967 berdasarkan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pertambangan. Berikutnya pada 1991 kontrak karya kedua kembali diteken dan berlaku 30 tahun mendatang, dengan opsi perpanjangan dua kali, masing-masing 10 tahun.
Pemerintah meminta renegosiasi kontrak karya itu. Sebab beleid baru tentang pertambangan sudah lahir, yakni Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentan Minerba. Namun Freeport tidak mau mengubah kontrak sesuai akta itu. "Mereka mengancam bakal memperkarakan ke pengadilan arbitrase internasional. Jadi persoalannya lebih pada arogansi kekuasaan. Di sisi lain, pemimpin kita pengecut," Marwan menegaskan.
Padahal dampak penambangan terhadap lingkungan juga signifikan. Misal, rusaknya bentang alam pegunungan Grasberg dan Erstberg. Kerusakan lingkungan akibat pertambangan telah mengubah bentang alam seluas 166 kilometer persegi di daerah aliran sungai Ajkwa. Freeport telah membuang tailing dengan kategori limbah B3 (Bahan Beracun Berbahaya) melalui sungai itu. Limbah ini telah mencapai pesisir laut Arafura.
Marwan pernah melaporkan kerusakan lingkungan ini semasa dia menjabat Ketua Komite Penyelamat Kekayaan Negara. Laporan itu dibukukan dan diberi judul Menggugat Pengelolaan Sumber Daya Alam Menuju Negara Berdaulat. Menurut dia, Freeport mengelola tambang terbesar di dunia di berbagai negara, didalamnya termasuk 50 persen cadangan emas di kepulauan Indonesia.
Namun, dari hasil eksploitasi itu, hanya sebagian kecil pendapatan masuk ke kas negara dibanding keuntungan diperoleh perusahaan. Kehadiran Freeport pun tidak mampu menyejahterakan masyarakat di sekitar wilayah pertambangan. Apalagi sejak 1967 hingga 1994 Freeport hanya melapor sebagai penambang tembaga. Baru pada 1995 mereka mengaku menambang emas di Papua.
Celakanya, volume emas ditambang selama 21 tahun itu tidak pernah diketahui publik, bahkan oleh orang Papua sendiri. Panitia kerja Freeport dan beberapa anggota DPR Komisi VII bidang Pertambangan sempat mencurigai telah terjadi manipulasi dana atas potensi produksi emas Freeport. Dewan curiga jumlah emas diperkirakan 2,16-2,5 miliar ton.
DPR juga tidak percaya data kandungan konsentrat diinformasikan sepihak oleh Freeport. Dewan berkesimpulan negara telah dirugikan lebih dari 30 tahun akibat tidak adanya pengawasan serius. Lalu bagaimana sekarang? "Pemerintah didukung DPR mestinya punya sikap tegas, berani memberikan sanksi. Misalnya, kalau Freport tidak mau renegosiasi, sanksinya mohon maaf, anda (Freeport) silakan pergi dulu."
Dampak sanksi pengusiran terhadap Freeport pasti akan besar. Misalnya, akan ada ratusan bahkan ribuan orang kehilangan pekerjaan, kemudian pendapatan negara berkurang. Tetapi tidak apa-apa kalau memang negara mau berdaulat. Sebagai pilihan terakhir, sanksi tegas memang harus diberikan. Namun sebelum memberikan sanksi pemerintah harus membuat langkah antisipatif lebih dulu.
"Sebelum sanksi pengusiran, masih ada negosiasi intensif. Masalahnya sekarang yang didorong hanya dirjen, kenapa tidak menteri atau presiden. Soalnya Freeport ini Amerika, butuh presiden langsung bernegosiasi, kita butuh pemimpin tegas," kata Marwan, yang juga mantan Anggota DPR periode 2004-2009.(mdk/fas)
Rupa-rupa persoalan itu mengakibatkan desakan terhadap pemerintah melakukan renegosiasi kontrak karya agar lebih menguntungkan negara dan rakyat Papua. Menurut Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (Iress) Marwan Batubara, Freeport merasa dirinya digdaya karena di bawah bendera Amerika Serikat. "Karena merasa adidaya tidak mau mengubah kontrak," kata Marwan ketika dihubungi merdeka.com lewat telepon seluler, Kamis pekan lalu.
Dia menjelaskan setelah Freeport McMoran menikmati keuntungan besar, mereka seperti emoh membagi keuntungan lebih banyak dengan pemerintah. Kontrak karya itu pertama kali ditandatangani pada 1967 berdasarkan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pertambangan. Berikutnya pada 1991 kontrak karya kedua kembali diteken dan berlaku 30 tahun mendatang, dengan opsi perpanjangan dua kali, masing-masing 10 tahun.
Pemerintah meminta renegosiasi kontrak karya itu. Sebab beleid baru tentang pertambangan sudah lahir, yakni Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentan Minerba. Namun Freeport tidak mau mengubah kontrak sesuai akta itu. "Mereka mengancam bakal memperkarakan ke pengadilan arbitrase internasional. Jadi persoalannya lebih pada arogansi kekuasaan. Di sisi lain, pemimpin kita pengecut," Marwan menegaskan.
Padahal dampak penambangan terhadap lingkungan juga signifikan. Misal, rusaknya bentang alam pegunungan Grasberg dan Erstberg. Kerusakan lingkungan akibat pertambangan telah mengubah bentang alam seluas 166 kilometer persegi di daerah aliran sungai Ajkwa. Freeport telah membuang tailing dengan kategori limbah B3 (Bahan Beracun Berbahaya) melalui sungai itu. Limbah ini telah mencapai pesisir laut Arafura.
Marwan pernah melaporkan kerusakan lingkungan ini semasa dia menjabat Ketua Komite Penyelamat Kekayaan Negara. Laporan itu dibukukan dan diberi judul Menggugat Pengelolaan Sumber Daya Alam Menuju Negara Berdaulat. Menurut dia, Freeport mengelola tambang terbesar di dunia di berbagai negara, didalamnya termasuk 50 persen cadangan emas di kepulauan Indonesia.
Namun, dari hasil eksploitasi itu, hanya sebagian kecil pendapatan masuk ke kas negara dibanding keuntungan diperoleh perusahaan. Kehadiran Freeport pun tidak mampu menyejahterakan masyarakat di sekitar wilayah pertambangan. Apalagi sejak 1967 hingga 1994 Freeport hanya melapor sebagai penambang tembaga. Baru pada 1995 mereka mengaku menambang emas di Papua.
Celakanya, volume emas ditambang selama 21 tahun itu tidak pernah diketahui publik, bahkan oleh orang Papua sendiri. Panitia kerja Freeport dan beberapa anggota DPR Komisi VII bidang Pertambangan sempat mencurigai telah terjadi manipulasi dana atas potensi produksi emas Freeport. Dewan curiga jumlah emas diperkirakan 2,16-2,5 miliar ton.
DPR juga tidak percaya data kandungan konsentrat diinformasikan sepihak oleh Freeport. Dewan berkesimpulan negara telah dirugikan lebih dari 30 tahun akibat tidak adanya pengawasan serius. Lalu bagaimana sekarang? "Pemerintah didukung DPR mestinya punya sikap tegas, berani memberikan sanksi. Misalnya, kalau Freport tidak mau renegosiasi, sanksinya mohon maaf, anda (Freeport) silakan pergi dulu."
Dampak sanksi pengusiran terhadap Freeport pasti akan besar. Misalnya, akan ada ratusan bahkan ribuan orang kehilangan pekerjaan, kemudian pendapatan negara berkurang. Tetapi tidak apa-apa kalau memang negara mau berdaulat. Sebagai pilihan terakhir, sanksi tegas memang harus diberikan. Namun sebelum memberikan sanksi pemerintah harus membuat langkah antisipatif lebih dulu.
"Sebelum sanksi pengusiran, masih ada negosiasi intensif. Masalahnya sekarang yang didorong hanya dirjen, kenapa tidak menteri atau presiden. Soalnya Freeport ini Amerika, butuh presiden langsung bernegosiasi, kita butuh pemimpin tegas," kata Marwan, yang juga mantan Anggota DPR periode 2004-2009.(mdk/fas)
0 comments:
Post a Comment