0

Blaast Gelar Kompetisi Bikin Aplikasi Dalam 8 Jam

INILAH.COM, Jakarta - Blaast, perusahaan content-developer (CP) asal Finlandia, menggelar kompetisi membuat aplikasi lokal hanya dalam waktu delapan jam saja.

Kompetisi membuat aplikasi secara singkat ini merupakan salah satu upaya Blaast untuk mendukung para pengembang lokal, terlebih setelah mereka bekerjasama dengan XL untuk meluncurkan layanan XL Blaast.

Kompetisi bernama Blaast HackDay Team ini diikuti oleh sekira 20 orang pengembang.

"Para pengembang berasal dari berbagai kampus dari kota-kota seperti Jakarta, Yogyakarta, Bandung, dan lain-lain," jelas Daniel Bergovist, Head of Developer Relation, Blaast, di Jakarta, Selasa (24/11/2012).

"Nantinya ke-20 orang tersebut akan dijadikan tujuh tim yang harus membuat tujuh aplikasi dalam waktu delapan jam saja. Yang tercepatlah yang akan menjadi juara," tambah Daniel. [mor]


Inilah.com

0

CP Finlandia Dukung Pengembang Muda Lokal

INILAH.COM, Jakarta - Blaast, perusahaan platform penyedia aplikasi asal Finlandia, mendukung penuh para developer muda lokal Indonesia. Seperti apa?

Salah satu bentuk dukungan Blaast kepada para pengembang muda lokal adalah dengan memberi semacam workshop berkesinambungan, yang bernama #BlaastClass. "#BlaastClass memberikan kelas terbuka bagi para orang berminat untuk membuat aplikasi mobile," ujar Putra dari Blaast Learning Centre, Selasa (24/1).

"Sejauh ini Blaast Learning Centre sudah memiliki 25 peserta yang berasal dari fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia," tambah Putra.

Putra juga menjelaskan bahwa Blaast Learning Centre menargetkan para peserta harus lulus dalam waktu 3 bulan dan sudah mampu membuat aplikasi sendiri, untuk mendapatkan sertifikasi dari Blaast dan kampus. Nantinya para peserta yang sudah lulus, aplikasinya bisa dijual di XL Blaast.

Dian Siswarini, Director of Technology & New Business of XL, mengatakan bahwa sudah ada 100 lebih aplikasi lokal yang sudah ada di XL Blaast dan akan terus bertambah. [mdr]


Inilah.com

0

Komunitas TI: Pemerintah Jangan Cuma Tarik Pajak!

Ilustrasi (Ist.)

Jakarta - Alih-alih mendukung perkembangan industri TI, pemerintah justru dianggap menghambat para pelaku industri TI di Indonesia. Penarikan pajak yang main pukul rata dirasa memberatkan komunitas-komunitas yang saat ini tengah mengeliat.

Demikian yang dirasakan Firstman Marpaung, salah satu penggiat komunitas IT saat berbincang dengan detikINET, Sabtu (21/1/2012) malam. Firstman mengaku, kerap kali terganjal regulasi, khususnya terkait dengan pajak, selama dirinya mengelola beberapa komunitas.

Menurutnya, selama dua tahun mengelola Microsoft User Group Indonesia (MUGI), pihaknya mendapatkan 10 paket modul pembelajaran lengkap dengan CD software trial. Tapi ternyata seluruh modul tersebut tidak bisa dikirim karena tertahan di Bea Cukai.

"Sisanya ditahan Bea Cukai karena dianggap barang komersil, harus ada invoice dan dikenakan pajak. Padahal itu pemberian, gratis dari principal Microsoft langsung. Jelas-jelas tertulis itu adalah pemberian. Gratis," ungkapnya.

Tidak hanya itu, ganjalan terbaru yang dia alami juga sama tidak mengenakkan. Dirinya diharuskan membayar pajak yang mencapai 30% dari nilai barang yang sebenarnya diberikan gratis oleh salah satu vendor ponsel.

Barang tersebut sengaja diberikan agar developer-developer di Indonesia bisa mempelajari sehingga saat produk smartphone tersebut diluncurkan, sudah ada karya developer lokal.

"Padahal dari seluruh dunia, Indonesia cuma 5 developer yang dapat. Ini bukan buat pribadi, tapi memang sengaja ditujukan ke komunitas agar developer bisa mempelajari produknya," kata pria yang juga menjabat sebagai President of Nokia Indonesia Community Enthusiast (NICE) ini.

Enggan Bayar Pajak?

Mendapati kenyataan di lapangan yang seringkali tidak sesuai dengan regulasinya, Firstman mengaku maklum jika ada beberapa developer yang merasa enggan untuk membayar pajak.

"Bukan masalah kita tidak mau bayar pajak, tapi buatlah kita merasakan dan dapat menikmati pajak yang kita bayar. Tidak perlu muluk-muluk, kita cuma ingin sedikit perhatian dari pemerintah. Toh, tanpa dukungan pemerintah selama ini kita masih bisa hidup kok," sindirnya.

Ia menambahkan, pemerintah sering kali tidak mau melihat dan membantu prosesnya. Tapi begitu muncul di media, serta merta developer langsung didatangi petugas pajak.

"Ada beberapa developer kita yang sukses dan kemudian begitu muncul media, langsung didatangi petugas pajak. Ini yang kemudian membuat para developer enggan mempublikasikan karyanya. Padahal banyak loh produk-produk lokal yang bagus dan berkualitas malah populer di luar ketimbang di sini," jelasnya.

Jika kondisi ini tidak segera dicari solusinya, Firstman khawatir Indonesia selamanya hanya akan menjadi pasar bagi produk-produk luar karena developernya enggan membuat produk.

"Itu jangan sampai terjadi. Ajaklah kami, komunitas untuk duduk bareng saat pemerintah mau membuat regulasi. Sehingga tidak berat sebelah dan justru merugikan salah satu pihak," pungkasnya.( afz / ash )


detik
0

UKM di Indonesia Belum Siap Gunakan Komputasi Awan

Cloud Computing

BANDUNG, KOMPAS.com - Perusahaan-perusahaan global sudah menganggap cloud computing atau komputasi awan sebagai model teknologi informasi (TI) masa depan. Namun, di Indonesia, perkembangannya diprediksi masih lambat. Terlebih di sektor usaha kecil menengah atau UKM.

Lembaga riset telematika Sharing Vision, memprediksi sektor UKM di Indonesia belum siap untuk beralih ke komputasi awan. "Ini dikarenakan masih banyak UKM yang keberatan untuk membayar software," ujar Chief Lembaga Riset Telematika Sharing Vision Dimitri Mahayana, di Bandung, Sabtu (21/1/2012).

Dimitri menambahkan, budaya masyarakat yang enggan membeli software berlisensi, menjadi pemicu ketidaksiapan UKM beralih ke komputasi awan. Padahal, komputasi awan dapat menghemat biaya TI dan meningkatkan produktivitas UKM.

Contoh kecil kemudahan yang diberikan dari komputasi awan, adalah UKM tak perlu lagi mengurus server mereka dan menyediakan ruangan khusus untuk server dengan suhu dingin yang tinggi. Server UKM akan diurus oleh perusahaan-perusahaan besar pemberi layanan komputasi awan.

Komputasi awan memberi kemudahan para karyawan UKM untuk mengakses data pekerjaan di mana saja, melalui komputer atau smartphone yang terkoneksi jaringan internet.

Kebanyakan UKM masih sangat terkonsentrasi pada core business mereka, sehingga melupakan sarana TI yang sebenarnya mampu menunjang bisnis. Kebanyakan UKM di Indonesia lebih memilih untuk mencatat transaksi bisnis secara manual.


KOMPAS.com

0

Indonesia Mau Jadi Kiblat Pameran Komputer Asia

Pengunjung memadati hari pembukaan Consumer Electronics Show di Las Vegas, AS, Selasa (10/1). REUTERS/Rick Wilking

TEMPO.CO
, Jakarta
- Consumer Electronics Show (CES) adalah wadah para penggiat teknologi untuk memamerkan produk teranyar mereka. Sejak 1970, Consumer Electronics Association tak pernah absen menggelar ajang tahunan yang berlangsung di Las Vegas, Nevada, Amerika Serikat, ini. Pameran digelar di dua lokasi, The Venetian dan Las Vegas Convention Center. Luasnya 518 ribu meter persegi atau setara 35 kali lapangan sepak bola.

Selama tiga hari, pameran yang diikuti lebih dari 3.100 perusahaan dari 140 negara ini mampu menyedot perhatian 140 ribu pengunjung. Lokasi CES di The Venetian digunakan sebagai tempat bagi orang-orang penting di dunia teknologi untuk memberikan sambutan dan kegiatan seminar.

Adapun pameran produk terkonsentrasi di Las Vegas Convention Center. Di sini terdapat tiga aula utama, yakni Central Hall, South Hall, dan North Hall. Tak cukup tiga hari untuk berkeliling ke seluruh stan. Selain tempatnya begitu luas, pengunjung juga perlu waktu untuk memahami produk yang dipajang.

Uniknya, tidak ada transaksi jual-beli di pameran ini. Hanya pertukaran informasi dan kesepakatan bisnis di balik riuhnya musik dan sorot lampu yang bertebaran. Pemandangan ini berbeda dengan ajang pameran teknologi di Tanah Air, yang seolah memindahkan pusat belanja elektronik ke lokasi pameran.

Di sini semua peserta bebas menjual produk mereka langsung ke konsumen dan berlomba-lomba memperoleh keuntungan.

Dyandra Promosindo, penyelenggara pameran teknologi seperti Mega Bazaar Computer atau Indocomtech, mengakui kecenderungan pameran di Indonesia adalah pameran retail.

“Tahun depan kami merencanakan mengubah level pameran komputer dari Business to Consumer menjadi Business to Business dan menjadi kiblat pameran komputer di Asia,” kata Bambang Setiawan, Chief Operating Officer Dyandra Promosindo, kepada Tempo, Kamis lalu.

Menurut Bambang, pameran Business to Business memiliki nilai transaksi yang lebih besar ketimbang pameran Business to Consumer.

Meski pameran di Indonesia menjadi wadah transaksi jual-beli, Bambang optimistis antusiasme masyarakat untuk datang ke ajang seperti ini akan terus meningkat selama masih ada inovasi dan pengembang teknologi informasi.

Lagi pula, lanjut dia, teknologi kini menjadi suatu hal yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan sehari-hari. Buktinya, dari tiga pameran teknologi informasi yang diselenggarakan setiap tahunnya, Dyandra mencatat terjadi kenaikan jumlah pengunjung 5-10 persen.

Dalam Indocomtech tahun lalu, misalnya, jumlah pengunjung selama 5 hari mencapai lebih dari 210 ribu orang dengan total transaksi Rp 630 miliar.
RINI KUSTIANI (LAS VEGAS)


TEMPO.CO

0

Gong Xi Fa Cai

Selamat Tahun Baru Imlek
0

Dari Udara Pantau Gunung Api

KOMPAS.com, Letusan gunung api menimbulkan ancaman bagi penduduk di sekitarnya. Selain terjangan lava dan awan panas, muncul juga ancaman berikutnya, banjir lahar dingin. Potensi bencana ini dapat diantisipasi berdasarkan pantauan lava di puncaknya. Pantauan dari udara dilakukan dengan satelit dan foto udara.

Dari rentetan gunung api yang meletus di beberapa wilayah di Indonesia beberapa tahun terakhir, Gunung Merapi di Jawa Tengah tergolong memiliki ancaman bahaya banjir lahar dingin terbesar. Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian Yogyakarta melaporkan, letusan Gunung Merapi tahun 2010 memuntahkan 130 juta meter kubik material vulkanik.

Menurut Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Sutopo Purwo Nugroho, material di puncak Merapi masih 70 persen. Hanya sebagian kecil yang turun menjadi lahar setelah diguyur hujan selama dua kali musim hujan sejak dua tahun lalu. Diperkirakan daerah Yogyakarta dan sekitarnya berpotensi terkena dampak lahar dingin hingga tahun 2014.

Melihat ancaman itu, peneliti geodesi dari Universitas Gadjah Mada mengembangkan sistem pemantau dari udara. Selain menggunakan pesawat terbang kecil jenis Cessna, juga menggunakan pesawat tanpa awak (unmanned aerial vehicle/UAV) jenis pesawat terbang dan helikopter, yang dikendalikan alat sistem kendali jarak jauh lewat gelombang radio.

Rancang bangun dan rekayasa wahana tanpa awak jenis model helikopter berbaling-baling empat itu disebut quadcopter. Wahana ini dikembangkan tim Fakultas Teknik UGM yang dipimpin Ruli Andaru, pakar fotogrametri.

Metode yang dikembangkan adalah pemodelan citra berbasis fotogrametri. Quadcopter memiliki kelebihan mampu terbang ke segala arah, mengudara tanpa landasan, serta bergerak secara vertikal dan horizontal.

Dengan kemampuan autonomouse, pesawat bergerak menjaga keseimbangannya sendiri sehingga mudah dioperasikan dan bisa terbang menjangkau ke berbagai sudut obyek. Penggunaan teknologi UAV dengan quadcopter mampu menghasilkan foto dengan resolusi 10-30 cm.

Wahana UAV dikembangkan karena berbiaya rendah dibandingkan satelit dan pesawat terbang berawak. Kelebihan lain adalah mudah digunakan, akuisisi data cepat dan efisien, serta hasil foto udara beresolusi tinggi.

Dengan UAV, dapat dilakukan pemetaan pada areal 50-100 hektar per hari dengan resolusi 10-30 cm. Artinya, benda berukuran 10 cm terekam oleh sensor. Sedangkan penginderaan jauh dengan satelit, obyek yang terekam hanya sampai 80 cm.

Untuk mengatasi risiko UAV jatuh atau keluar dari jangkauan alat kendali jarak jauh, Ruli dan tim menerapkan sistem pemrograman algoritma otopilot yang dapat mengendalikan UAV kembali ke landasan secara otomatis setelah 15 menit bermanuver.

Adapun kelemahan UAV adalah daya jangkau ketinggiannya terbatas. Karena itu, tim survei dari UGM tetap menerapkan foto udara menggunakan pesawat terbang kecil berawak. Selain foto udara untuk pemetaan kawasan Merapi, mereka juga menggunakan sensor laser untuk menghasilkan citra tiga dimensi.

Pesawat terbang untuk foto udara digunakan di areal seluas 53.000 hektar, yang mencakup seluruh kawasan Merapi, meliputi Magelang, Yogyakarta, dan Prambanan. Pesawat akan terbang pada ketinggian hingga 4.000 meter.

Tujuan pemotretan udara adalah untuk memodelkan dampak lahar dingin di daerah terdampak. Untuk memetakan, mengolah data, dan menghasilkan simulasi, diperlukan waktu sekitar dua bulan. Diperkirakan, pada awal Maret, peta tiga dimensi Merapi selesai.

Peta Merapi

Pemantauan dengan pesawat tanpa awak juga dilakukan di kawasan sekitar Merapi, yaitu untuk memantau kawasan Candi Borobudur, Magelang. Candi yang menjadi cagar budaya ini termasuk yang parah kena guyuran abu vulkanik akibat letusan Gunung Merapi.

Di beberapa lokasi candi tebalnya 5 cm. Pekerjaan pembersihan terus dilakukan Balai Konservasi dan Peninggalan Borobudur (BKPB).

Abu vulkanik yang bersifat asam dapat merapuhkan permukaan batu candi serta mengikis relief dinding candi dan detail arca. Menurut perkiraan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, perlu 2-3 tahun untuk pemulihan dan revitalisasi candi pascaerupsi.

Untuk mendukung, pihak BKPB perlu pemantauan dan pemutakhiran data kondisi terkini permukaan candi secara rutin dan berkala, bahkan periode mingguan untuk identifikasi kondisi permukaan candi.

UAV quadcopter, menurut Ruli, tepat untuk keperluan pemantauan Candi Borobudur. Untuk seluruh candi, dihasilkan 4-6 foto yang bertumpang tindih. Hasil visualisasi 3D mampu memodelkan kondisi terkini permukaan batuan dengan kelebihan utama meliputi seluruh areal candi dan memberikan tingkat kedetailan tinggi. (Kompas, 17 Januari 2012)


KOMPAS.com
0

Dosen Unsoed Ciptakan Obat Kanker dari Cabai & Jahe Merah

Kanker adalah jenis penyakit yang sangat ditakuti oleh semua orang karena hingga kini belum ditemukan obat untuk menyebuhkannya. Proses pengobatan yang sangat mahal, dan rasa sakit pasien yang luar biasa menyebabkan penderitaan pasien kanker terus bertambah.

Berawal dari keprihatinan terhadap kondisi tersebut, Peneliti dan Dosen Farmasi Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Heny Ekowati berusaha meneliti untuk menemukan tanaman obat untuk kanker. Akhirnya, penelitian yang dilakukan sejak 2009 tersebut mulai membuahkan hasil.

Heny menuturkan, fokus penelitian yang dilakukannya meliputi dua hal, yaitu menemukan tanaman obat untuk menyembuhkan kanker dan obat untuk menekan efek samping dari pengobatan kanker yang dijalani pasien kanker.

“Kanker itu penyakit yang menimbulkan rasa sakit yang luar biasa bagi penderitanya. Saat pasien kanker menjalani pengobatan seperti yang selama ini dilakukan, obat dan proses pengobatan itu juga menambah rasa sakit yang diderita pasien," kata Heny.

Sejauh ini penelitian Heny yang cukup membuahkan hasil adalah jintan hitam (Nigella sativa) sebagai anti kanker. Penemuan terbarunya, yakni Campuran Ekstrak Etanol Rimpang Jahe Merah (Zingiber officinale cv Rubrum) sebagai anti kanker payudara dan Buah Cabe Jawa (Piper retrofractum) sebagai anti kanker serviks.

Keputusan Heny memilih Rimpang Jahe Merah dan Buah Cabe Jawa sebagai objek penelitiannya adalah karena kedua tanaman tersebut asli tanaman Indonesia. “Saya ingin menemukan obat kanker dari tanaman asli Indonesia dan yang bisa di tanam dengan mudah oleh siapa saja, bahkan di halaman rumah. Lagipula, tanaman ini juga direkomendasikan oleh Badan POM karena dapat berfungsi kemopreventif dan kemoterapi," ujarnya.

Penelitian Rimpang Jahe Merah dan Buah Cabe Jawa tersebut telah sampai tahap uji coba terhadap binatang, yaitu tikus putih. Hasilnya, kedua tanaman ini sangat potensial sebagai tanaman obat untuk mengobati kanker maupun untuk mengurangi efek samping pengobatan kanker.

Dengan keberhasilan uji coba terhadap binatang ini maka kedua tanaman tersebut bukan lagi sekadar jamu, akan tetapi sebagai herbal terstandar. Kemudian, kedua tanaman tersebut dapat menjadi fitofarmaka (herbal telah dilakukan standarisasi terhadap bahan baku yang dipergunakan, dan memenuhi persyaratan mutu yang berlaku) jika sudah diujikan secara klinis terhadap pasien kanker.

Untuk mengembangkan terus penelitiannya dalam menemukan obat untuk kanker ini, Heny turut tergabung dalam Indonesian Society for Cancer Chemoprevention (ISCC). Heny juga membentuk Center of Exellence for Translasional Recearh in Oncology (CENTRO) pada Desember 2011. Kelompok ini beranggotakan 31 orang, di antaranya mahasiswa S-2 dan S-1. (kampus.okezone.com/ humasristek)


ristek.go.id