Jakarta (ANTARA News) - Lahan marjinal bersifat masam (pH rendah) yang sulit untuk ditanami di Indonesia sangat luas, namun bisa diatasi dengan teknologi Konsorsia Mikroba yang sedang diujicobakan oleh Badan Pengkajian Dan Penerapan Teknologi.
"Kami telah mengembangkan konsorsia mikroba tertentu yang dapat meningkatkan pH dan memperbaiki karakteristik tanah," kata Perekayasa dari Pusat Teknologi Bioindustri BPPT Koesnandar, usai Penandatanganan Kerja Sama BPPT dengan PT Astra Agro Lestari Tbk dalam pengembangan industri kelapa sawit, di Jakarta, Kamis.
Rendahnya pH (3,0-3,5) tanah menyebabkan biaya produksi lebih tinggi karena penyerapan hara tanah oleh tanaman terhambat dan meningkatkan konsumsi pupuk anorganik, selain itu juga menyebabkan terjadinya toksisitas beberapa mineral dan unsur organik, ujarnya.
Aktivitas yang dilakukan mikroba terpilih tersebut menyebabkan terlepasnya mineral dan meningkatkan ketersediaan hara bagi tanaman, sehingga produktivitas tanaman dapat meningkat.
Konsorsia mikrob tersebut, urainya, adalah fungi berkemampuan menaikkan pH jika pH awal tanah rendah, yang berasal dari tanah masam milik PT Astra Agro Lestari di Sulawesi Barat dan Riau yang kemudian diisolasi.
Saat ini ada 29 fungi yang sudah diisolasi, yang karakternya berbeda-beda tergantung dari tanah masing-masing, tambahnya.
Setelah fungi yang diambil itu diisolasi, diuji kapasitasnya di laboratorium, kemudian tanah yang akan ditanami juga diteliti dan dicocokkan dengan mikroba tersebut.
"Setelah itu dilakukan produksi dengan fermentasi dan disebar di setiap lubang tanah yang akan ditanami," katanya sambil mengatakan penyebab tanah masam adalah pelapukan dan kandungan asam organik di tanahnya.
Sebelumnya berbagai kajian untuk meningkatkan pH lahan asam telah dilakukan di antaranya secara konvensional dengan menambah abu pembakaran, kapur, dolomit, lumpur sedimen sungai maupun abu vulkanik, namun dalam penerapan skala luas terhambat faktor ketersediaan dan teknis lainnya.
Menurut Kepala Divisi Riset Agronomi PT Astra Agro, Satyoso Harjotedjo, dari 265 ribu ha lahan perkebunan sawitnya, di Sumatera, Sulawesi dan Kalimantan, 20 persen di antaranya merupakan lahan masam dan memerlukan teknologi tertentu.
Sementara itu Kepala BPPT Marzan A Iskandar mengatakan, Indonesia harus mulai mengurangi ekspor minyak sawitnya ke pasar dunia dan mengolah turunannya di dalam negeri untuk mendapatkan nilai tambah yang lebih banyak.
Saat ini Indonesia menguasai pasar Crude Palm Oil (CPO) terbesar dunia sebesar 64,53 persen sementara Malaysia menguasai pasar ekspor produksi turunan CPO sebesar 52,35 persen.
(T.D009/A025/P003)
• ANTARAnews
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment