Wednesday, 22 February 2012

Limbah untuk Bata Tahan Gempa

Indonesia terletak di antara empat lempeng tektonik, yakni lempeng Eurasia, Australia, Filipina, dan Carolina, lempeng tektonik muda yang aktif bergerak sepanjang tahun. Kondisi ini membuat Indonesia akrab dengan gempa berskala di atas 5 skala Richter.

Gempa besar sering kali menimbulkan kerusakan infrastruktur dan memakan korban jiwa. Korban yang timbul sebagian besar akibat tertimpa dinding yang runtuh.

Dampak destruktif gempa berupa puing-puing bangunan, termasuk pecahan genting, memicu ide tiga mahasiswa Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo. Ketiga mahasiswa itu, Selvie Agustina, Qori Putri Dewanti, dan Arum Dwicahyani, lantas memanfaatkan pecahan genting sebagai material agregat penyusun bata. Mereka kemudian menamakan produk itu smart H-Brick.

Agar lebih tahan terhadap guncangan gempa saat digunakan sebagai material pembangun dinding, bata itu dibuat dalam bentuk huruf H. Bata H ini merupakan pengembangan dari karya rekan-rekan mereka sebelumnya, yakni bata H dengan bahan kerikil.

Bata H diinspirasi dari interlock block (bata kait) yang banyak digunakan di luar negeri. Bata kait adalah material penyusun dinding yang mempunyai pengait untuk mengunci pergerakan akibat gaya. Bata ini merupakan pengembangan dari batako dengan menambahkan lips (pinggiran) pada sisi-sisi tertentu sebagai pengunci. Batako hanya mampu menahan goyangan gempa dari satu arah.

”Pada bata H sebelumnya, yang digunakan sebagai agregat adalah kerikil. Kami mengganti dengan pecahan genting yang ditambahkan serat limbah bubut baja agar dinding nantinya semakin kaku dan solid sehingga tahan guncangan,” kata Selvie beberapa waktu lalu.

Saling mengunci

Qori menambahkan, bentuk H dipilih karena bisa saling mengunci sehingga bentuk dinding tidak berubah saat menahan guncangan gempa dari dua arah, yakni sejajar dinding dan tegak lurus dinding. Adapun serat limbah bubut baja mempunyai kuat tarik yang besar sehingga dapat meningkatkan kuat tarik beton. Dengan demikian, jika terjadi gempa, dinding tidak langsung runtuh dan penghuni punya waktu untuk menyelamatkan diri.

Dosen pembimbing ketiga mahasiswa, Sholihin As’ad, mengatakan, batu bata yang membentuk huruf H membuat antarbata bisa saling mengunci. Ini mengingatkan pada konstruksi candi dengan penyusun batu-batu yang juga saling mengunci meski tidak menggunakan perekat atau semen.

Arum memaparkan, untuk membuat batu bata H, dibutuhkan semen, pasir, dan agregat (campuran pecahan genting dan limbah bubut baja) dengan perbandingan 1 : 2 : 3, lalu ditambah air.

Bata H terdiri atas tiga lapisan. Lapisan pertama dan ketiga berukuran 20 cm x 40 cm dengan tebal 3 cm. Lapis kedua berada di antara lapis pertama dan ketiga berbentuk huruf H berukuran 40 cm x 25 cm dengan tebal 4 cm. Lapis pertama dan ketiga dipasang sejajar, sedangkan lapisan kedua diletakkan 2,5 cm lebih tinggi dan 5 cm lebih menyamping untuk menciptakan lips.

Selain lebih tahan gempa, bata H juga memberi tampilan bangunan yang lebih baik. Pemasangannya pun tidak memerlukan semen. Dengan karya itu, ketiga mahasiswa menyabet Juara I Kompetisi Rancang Bangun yang digelar Universitas Udayana, Bali, akhir tahun 2011.

Ketiga mahasiswa berharap, bata H bisa diproduksi massal agar dapat dimanfaatkan masyarakat luas untuk membangun rumah tahan gempa. (Kompas, 22 Februari 2012/ humasristek)


Ristek

0 comments:

Post a Comment

 
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...