Padang � Setelah 25 tahun tertidur, industri panas bumi (geothermal) di Indonesia kembali bangkit. "Industri panas bumi kembali hidup. Jadi, untuk ke depan, energi nasional tak harus bergantung lagi ke minyak dan gas," ujar Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Rubi Rubiandini, Kamis, 13 September 2012, di Kabupaten Solok Selatan.
Menurut Rudi, proyek panas bumi yang dilakukan PT Supreme Energy di kawasan Liki Pinangawan Muaro Labuah Kecamatan Pauh II Kabupaten Solok Selatan ini diharapkan bisa menjadi cadangan energi nasional. Sebab, adanya sumber panas bumi yang cukup berguna untuk membangun pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP).
Selama ini, kata dia, industri panas bumi di Indonesia tidak berkembang karena harga BBM rendah dan harga tawar dari PLN juga rendah. Namun, saat ini pemerintah sudah menaikan tarif jual listrik atau feed in tariff panas bumi dari pengembang listrik swasta kepada PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) melalui Permen ESDM Nomor 2 Tahun 2011.
Sebelumnya, feed in tariff hanya 9,7 sen dollar AS per kWh. Saat ini tarif tersebut ditetapkan bervariasi berdasarkan daerah. Untuk regional Sumatera, sekitar 8-10 sen dollar AS per kWh, regional jawa sebesar 11-12 sen dollar AS per kWh, regional Sulawesi bagian sebesar 12-14 sen dollar AS per kWh, dan regional Nusa Tenggara (NTB dan NTT) sebesar 15-16 sen per kWh. Terakhir, untuk regional Maluku dan Papua sebesar 17-18 sen dollar AS per kWh.
"Kebangkitan industri panas bumi ini sangat penting. Sebab, ini merupakan energi baru dan terbarukan," ujar mantan Deputi Pengendalian Operasi BP Migas ini.
Di lokasi pengeboran eksplorasi panas bumi Maura Labuah ini, Rudi menyaksikan uji sumur eksplotasi pertama, untuk membuktikan adanya sumber panas bumi. "Itu, uap pertama yang keluar setelah adanya Undang-undang Panas Bumi," ujarnya.
Jika proyek ini berhasil, kata Rudi, Kabupaten Solok Selatan bisa menyumbang energi listrik sebesar 200 Mwe dari 40ribu Mwe kebutuhan listrik di Indonesia.
0 comments:
Post a Comment