Warsito, Ilmuwan Penemu Alat Pembunuh Kanker
Alat terapi kanker berbasis listrik statis temuan seorang peneliti Indonesia bernama, Warsito, sudah banyak pasien yang disembuhkannya, bahkan hingga ke luar negeri.
Dr. Warsito P. Taruno, M.Eng (55), merupakan salah seorang peneliti Indonesia yang pernah berkarier di Shizuoka University, Jepang, sebagai dosen.
Semula ia dikenal sebagai ahli tomografi yaitu, ilmu atau teknologi tentang cara “melihat” reaksi dalam reaktor baja atau bejana tak tembus cahaya.
Namun karena begitu kuatnya dorongan untuk membantu Suwarni, kakak perempuannya yang menderita kanker payudara stadium IV, Warsito kemudian berusaha membuat alat pembunuh sel kanker.
Alhasil, terciptalah alat terapi yang disebut, breast cancer electro capacitive therapy. Bentuk alat terapinya ini, kata Warsito, mirip bra yang di dalamnya mengandung aliran listrik statis dari baterai yang bisa di-charge.
“Alat ini menggunakan teknologi pemindai atau tomografi kapasitansi listrik berbasis medan listrik statis (electrical capacitance volume tomography/ECVT),” jelasnya kepada Beritasatu.com sembari menunjukkan beberapa bentuk alat terapi kanker temuannya itu.
Kakak Menderita Kanker Payudara
Alat tersebut, lanjut Warsito, digunakan sang kakak 24 jam selama sebulan. Minggu pertama memakai bra berwarna hitam tersebut, Suwarni mulai merasakan adanya efek samping, tapi tak sampai menyiksa seperti proses kemoterapi.
“Hanya saja kakak saya merasa gerah, keringatnya jadi berlendir dan sangat bau. Nggak cuma itu, urin dan fesesnya (kotoran) pun baunya lebih busuk. Tapi nggak perlu khawatir, karena ini menandakan sel-sel kanker yang sudah dihancurkan oleh alat terapinya itu sedang dikeluarkan atau detoksifikasi,” jelas doktor lulusan Universitas Shizuoka, Jepang ini.
Setelah satu bulan memakai alat tersebut, kata Warsito, tak disangka hasil tes laboratorium menyatakan bahwa Suwarni negatif kanker. Dan, sebulan kemudian dinyatakan bersih dari sel kanker. Betapa bahagianya Warsito, ternyata kerja kerasnya membuahkan hasil yang sangat menggembirakan.
Tak hanya sang kakak yang berhasil ditolongnya, seorang pemuda yang lumpuh total akibat menderita kanker otak stadium lanjut pun merasakan manfaat dari alat terapinya itu.
Alat terapi berbentuk helmet yang cara kerjanya sama seperti yang digunakan kakaknya itu dipakai pemuda tersebut selama sebulan, tahun lalu. “Pada tiga hari awal pemakaian alatnya, tingkat emosi pasien meningkat. Selanjutnya, muncul gejala seperti, keringat berlendir hingga feses yang baunya lebih busuk,” jelas Warsito yang berpraktik di Jln. Hartono Raya, R 28, Modernland Tangerang.
Syukurlah setelah seminggu menggunakan alat tersebut, pemuda itu sudah bisa bangun dari tempat tidur serta menggerakkan tangan dan kakinya. Dan, setelah dua bulan pemakaian alat terapi, pasiennya sudah dinyatakan sembuh total.
Dikenal Hingga ke Luar Negeri
Beranjak dari keberhasilan itulah Warsito kemudian didatangi begitu banyak penderita kanker. Tak hanya dari dalam negeri, tapi juga luar negeri. Bentuk alat terapinya pun kini bervariasi, disesuaikan dengal letak kanker yang diderita pasien. Ada yang berbentuk korset, rompi, celana, masker, selimut dan masih banyak lagi.
“Masker dipakai untuk kanker mulut. Sementara selimut dipakai bila sel kankernya sudah menyebar kemana-mana,” imbuh lelaki kelahiran Karanganyar, Jawa Tengah ini.
Keberhasilan Warsito tersebut ternyata juga menjadi perhatian dunia internasional. Salah satunya adalah The University of King Abdulaziz, Saudi Arabia. Universitas yang berlokasi di kota Jeddah itu sudah memesan breast activity scanner dan brain activity scanner.
Selain itu, sebuah rumah sakit besar di India pun memesan sejumlah alat terapi kanker payudara ciptaan Warsito setelah melakukan test clinical di negara tersebut, tahun lalu.
Tak hanya itu, sejumlah dokter dari Belgia juga sudah menyatakan keinginannya menggunakan alat pembunuh kanker temuan Warsito untuk pengobatan di salah satu negara Eropa itu.
Kemenkes Menyambut Positif
Warsito mengaku, alat terapi kankernya ini kini sedang dalam proses sertifikasi oleh Balitbang, Kementerian Kesehatan.
Dia mengatakan, metode radiasi listrik statis berbasis tomografi ini, sepenuhnya hasil karya anak bangsa yang bakal menjadi terobosan dalam dunia kedokteran.
Selain akan merevolusi pengobatan kanker secara medis, lanjut Warsito, alat terapinya itu juga akan meminimalisasi biaya yang harus dikeluarkan pasien atau keluarganya. “Yang pasti ini akan mengubah metode pengobatan yang selama ini menggunakan radiasi berisiko tinggi dan berbiaya mahal,” kata lelaki yang melakukan post doctoral di Ohio University, Amerika ini.
Menanggapi temuannya tersebut, dr Abidinsyah Siregar, DHSM, M.Kes, Direktur Bina Tradisional, Alternatif dan Komplementer dari Kemenkes, menyambut positif inisiatif atau terobosan yang dilakukan oleh Warsito.
“Saya sangat senang ada warga negara seperti Warsito yang melakukan inisiatif atau terobosan seperti ini. Bagaimanapun ia mempunyai hak yang sama untuk melakukan berbagai temuan yang terkait dengan upaya kesehatan, termasuk yang sifatnya non-konvensional,” jelasnya kepada Beritasatu.com, saat ditemui di Kemenkes, Jumat (14/12).
Namun, lanjut Abidinsyah, untuk bisa diakui atau mendapatkan izin edar, memang ada beberapa standar atau kriteria yang harus dipenuhi meliputi: keamanan, bermanfaat dan berkualitas, karena dibuat dengan cara yang benar.
“Saya pikir beliau (Warsito) bisa melakukan itu semua, apalagi sebagai seorang peneliti dia pasti tau teori-teorinya. Kita saja yang memang belum melakukan terobosan seperti cara dia,” jelas Abidinsyah.
Menjadi Ibu yang Kuat untuk Tisha Si "Survivor" Cilik
Menjadi sosok pendukung pasien penyakit berat bukan pekerjaan yang mudah. Emosi, tenaga, dan segala hal lainnya juga terkuras.
Dua hari sebelum Tisha E merayakan hari ulang tahun pertama, ibundanya, Toety Hartono menerima kabar tak menyenangkan. Sang putri mengidap penyakit langka, bernama Wilms' Tumor. Bersama putrinya yang belum bisa bicara, sang ibu harus turut berjuang melawan penyakit yang berpotensi tumbuh kembali dan membuat hidup anaknya tak bisa sama seperti kebanyakan anak seusianya.
Selain pengobatan, semangat juang, dan tenaga medis yang baik, salah satu aspek penting dalam penyembuhan penyakit adalah support dari orang-orang terkasih. Menjadi orang yang membantu mereka yang sedang mengidap penyakit berat bukan perkara mudah. Hal tersebut ditempuh dan masih dijalani Toety untuk anaknya.
Dituturkan Toety, anak keduanya, Tisha, mengidap penyakit Wilms' Tumor, tumor yang tumbuh di sekitar ginjal anak-anak. Menurut keterangan dokter yang didatangi Toety, penyakit ini hanya dialami 1000:1 anak di dunia. Kondisi ini mengakibatkan ginjal di sisi kanan Tisha tidak bisa bertumbuh seperti ginjal umumnya, sementara tumor yang ada di dekat ginjalnya terus bertumbuh. Hal ini terjadi karena kelainan pada tubuh, bukan keturunan/masalah genetik. Di dalam tubuh mungil Tisha, tumor itu bertumbuh hingga 500 gram, sebesar buah mangga, digambarkan Toety.
Bukan benjolan yang membuat Toety curiga dengan kondisi Tisha. Muntah berkali-kali setiap Tisha diberi makan yang membuat Toety khawatir. Meski dokter hanya mengatakan itu hal biasa, insting Toety berkata lain dan mencari pendapat kedua. Dokter kedualah yang memberitahu penyakit yang menggerogoti tubuh mungil putrinya.
"Sejak menjalani proses semua ini, masa paling berat yang saya lewati adalah setelah mendengar vonis dokter. Semua emosi bercampur aduk. Marah, denial (penyangkalan), kesal, takut, semua bercampur aduk. Sempat pula mencari kambing hitam. Saya sempat menuding suami yang membawa gen ini kepada anak, karena ada anggota keluarganya yang mengalami kanker. Saya juga bertanya-tanya mengapa Tuhan membiarkan kejadiain ini terjadi kepada keluarga kami," kata Toety kepada Beritasatu.com, di kediaman Toety di bilangan Karawaci.
Kondisi tubuh anaknya yang terus menurun dan sulit menerima makanan mengharuskan dilakukan tindakan cepat. Dokter yang ditemui di Jakarta menyarankan agar Tisha dirawat dan dioperasi di rumah sakit khusus di Singapura. Ke sanalah Toety bersama suami dan kedua anaknya berangkat. Berharap kesembuhan.
"Setelah operasi 8 jam, tumornya berhasil diangkat, bersama ginjal kanan Tisha," terang Toety.
Namun, ini bukan berarti perjuangan Tisha, Toety, dan keluarganya melawan penyakit ini selesai. Perjuangannya masih panjang. Menurut dokter, masih ada kemungkinan penyakit ini tumbuh, Tisha masih harus menjalani beragam tahap pengobatan, pemeriksaan, dan menjalani gaya hidup yang tak bisa sebebas anak lainnya.
Setelah operasi, terdapat sisa jahitan pada tubuh Tisha, cukup besar. Namun, dalam waktu dua hari, dengan kondisi luka masih basah, dokter meminta Tisha untuk melatih jalan. "Organ tubuh di dalamnya vakum selama 2 hari. Harus dilatih supaya terbiasa kembali. Kami melatih jalan Tisha di lorong rumah sakit. Dia jalan tertatih, perutnya masih sakit. Dia jalan sambil membungkuk menahan sakit. Sulit untuk menahan tangis. Kalau bisa, saya saja yang mengalami apa yang dia alami," tutur Toety.
Belum berhenti di situ, selama sebulan, dokter mengharuskan Tisha menjalani kemoterapi sebanyak 13 kali untuk memastikan tumornya tidak tumbuh lagi. Dengan jarak waktu yang sangat dekat. Tubuhnya yang masih kecil dan ringkih membuatnya tak bisa menerima jarum suntik kemoterapi berulang. Terpaksa, dipasang alat khusus sebagai jalur masuk cairan kemoterapi. Bentuknya bulat, dipasang dengan cara melubangi dada Tisha, dan ada selang kecil khusus yang menjadl saluran cairan kemoterapi menjalar ke tubuh Tisha.
Walau fungsinya untuk kesehatan, tetapi obat kemoterapi punya efek samping yang keras. "Menurut dokter, kemoterapi juga bisa merusak sel-sel yang sehat. Alhasil, ada sel-sel dalam tubuh Tisha yang juga terkena dampak, salah satu efek paling menyakitkan untuk saya lihat adalah rambutnya yang rontok begitu banyak. Karenanya saya putuskan untuk memangkas habis rambutnya," tutur Toety.
Selain terkuras daya emosi, Toety mengakui, pengobatan antara Jakarta-Singapura turut menguras dana. Dukungan keluarga memang mengalir, namun tetap butuh tambahan. Toety dan suaminya pun sempat mencari bantuan ke suatu lembaga amal untuk bantuan biaya rumah sakit di Singapura. Dalam keadaan sesak, bantuan yang diberikan serasa memberi napas bantuan.
Mengubah Hidup
Dua hari sebelum Tisha E merayakan hari ulang tahun pertama, ibundanya, Toety Hartono menerima kabar tak menyenangkan. Sang putri mengidap penyakit langka, bernama Wilms' Tumor. Bersama putrinya yang belum bisa bicara, sang ibu harus turut berjuang melawan penyakit yang berpotensi tumbuh kembali dan membuat hidup anaknya tak bisa sama seperti kebanyakan anak seusianya.
Selain pengobatan, semangat juang, dan tenaga medis yang baik, salah satu aspek penting dalam penyembuhan penyakit adalah support dari orang-orang terkasih. Menjadi orang yang membantu mereka yang sedang mengidap penyakit berat bukan perkara mudah. Hal tersebut ditempuh dan masih dijalani Toety untuk anaknya.
Dituturkan Toety, anak keduanya, Tisha, mengidap penyakit Wilms' Tumor, tumor yang tumbuh di sekitar ginjal anak-anak. Menurut keterangan dokter yang didatangi Toety, penyakit ini hanya dialami 1000:1 anak di dunia. Kondisi ini mengakibatkan ginjal di sisi kanan Tisha tidak bisa bertumbuh seperti ginjal umumnya, sementara tumor yang ada di dekat ginjalnya terus bertumbuh. Hal ini terjadi karena kelainan pada tubuh, bukan keturunan/masalah genetik. Di dalam tubuh mungil Tisha, tumor itu bertumbuh hingga 500 gram, sebesar buah mangga, digambarkan Toety.
Bukan benjolan yang membuat Toety curiga dengan kondisi Tisha. Muntah berkali-kali setiap Tisha diberi makan yang membuat Toety khawatir. Meski dokter hanya mengatakan itu hal biasa, insting Toety berkata lain dan mencari pendapat kedua. Dokter kedualah yang memberitahu penyakit yang menggerogoti tubuh mungil putrinya.
"Sejak menjalani proses semua ini, masa paling berat yang saya lewati adalah setelah mendengar vonis dokter. Semua emosi bercampur aduk. Marah, denial (penyangkalan), kesal, takut, semua bercampur aduk. Sempat pula mencari kambing hitam. Saya sempat menuding suami yang membawa gen ini kepada anak, karena ada anggota keluarganya yang mengalami kanker. Saya juga bertanya-tanya mengapa Tuhan membiarkan kejadiain ini terjadi kepada keluarga kami," kata Toety kepada Beritasatu.com, di kediaman Toety di bilangan Karawaci.
Kondisi tubuh anaknya yang terus menurun dan sulit menerima makanan mengharuskan dilakukan tindakan cepat. Dokter yang ditemui di Jakarta menyarankan agar Tisha dirawat dan dioperasi di rumah sakit khusus di Singapura. Ke sanalah Toety bersama suami dan kedua anaknya berangkat. Berharap kesembuhan.
"Setelah operasi 8 jam, tumornya berhasil diangkat, bersama ginjal kanan Tisha," terang Toety.
Namun, ini bukan berarti perjuangan Tisha, Toety, dan keluarganya melawan penyakit ini selesai. Perjuangannya masih panjang. Menurut dokter, masih ada kemungkinan penyakit ini tumbuh, Tisha masih harus menjalani beragam tahap pengobatan, pemeriksaan, dan menjalani gaya hidup yang tak bisa sebebas anak lainnya.
Setelah operasi, terdapat sisa jahitan pada tubuh Tisha, cukup besar. Namun, dalam waktu dua hari, dengan kondisi luka masih basah, dokter meminta Tisha untuk melatih jalan. "Organ tubuh di dalamnya vakum selama 2 hari. Harus dilatih supaya terbiasa kembali. Kami melatih jalan Tisha di lorong rumah sakit. Dia jalan tertatih, perutnya masih sakit. Dia jalan sambil membungkuk menahan sakit. Sulit untuk menahan tangis. Kalau bisa, saya saja yang mengalami apa yang dia alami," tutur Toety.
Belum berhenti di situ, selama sebulan, dokter mengharuskan Tisha menjalani kemoterapi sebanyak 13 kali untuk memastikan tumornya tidak tumbuh lagi. Dengan jarak waktu yang sangat dekat. Tubuhnya yang masih kecil dan ringkih membuatnya tak bisa menerima jarum suntik kemoterapi berulang. Terpaksa, dipasang alat khusus sebagai jalur masuk cairan kemoterapi. Bentuknya bulat, dipasang dengan cara melubangi dada Tisha, dan ada selang kecil khusus yang menjadl saluran cairan kemoterapi menjalar ke tubuh Tisha.
Walau fungsinya untuk kesehatan, tetapi obat kemoterapi punya efek samping yang keras. "Menurut dokter, kemoterapi juga bisa merusak sel-sel yang sehat. Alhasil, ada sel-sel dalam tubuh Tisha yang juga terkena dampak, salah satu efek paling menyakitkan untuk saya lihat adalah rambutnya yang rontok begitu banyak. Karenanya saya putuskan untuk memangkas habis rambutnya," tutur Toety.
Selain terkuras daya emosi, Toety mengakui, pengobatan antara Jakarta-Singapura turut menguras dana. Dukungan keluarga memang mengalir, namun tetap butuh tambahan. Toety dan suaminya pun sempat mencari bantuan ke suatu lembaga amal untuk bantuan biaya rumah sakit di Singapura. Dalam keadaan sesak, bantuan yang diberikan serasa memberi napas bantuan.
Mengubah Hidup
Tiga tahun sudah sejak Tisha dioperasi dan harus melewati masa-masa sulit itu. Berat badannya yang sempat turun drastis ketika berusia 2 tahun itu kini sudah jauh lebih berisi. Ia tumbuh menjadi gadis periang yang senang menyanyi, berdandan, juga balet. Meski sayangnya, minat yang terakhir, dan beberapa aktivitas terkait gerak fisik yang ekstra terpaksa ditangguhkan, karena hanya memiliki 1 ginjal, fisik Tisha tak boleh terlalu lelah. Ia harus menjaga kondisi badan tetap fit. Selain tak boleh lelah, makanan Tisha juga harus dijaga.
"Tisha harus makan makanan yang segar, tidak boleh berpemanis buatan, tidak boleh memakai penyedap rasa, dan harus yang baru dibuat. Air kemasan pun sebisa mungkin direbus lagi baru diberi ke Tisha," jelas Toety.
Semua makanan Tisha harus dipastikan aman dan steril. Hal ini kemudian menjadi pusat perhatian Toety, yang akhirnya mengadopsikan kebiasaan ini ke seluruh keluarga. "Saya masak yang diinginkan Tisha dan kakaknya (Marciano E), biasanya kukus, kalau pun digoreng, minyaknya sangat sedikit. Es krim pun Tisha tidak boleh. Kalau kakaknya mau, kita harus ngumpet-ngumpet, supaya Tisha tidak penasaran dan minta cicip. Gaya hidup di rumah, khususnya untuk urusan makanan, jadi berubah, lebih berupaya sehat demi Tisha," imbuh Toety.
Kondisi fisik Tisha sekarang membuatnya menjadi harus ekstrawaspada dengan segala hal, terutama yang berkait asupan, obat, serta aktivitas fisik. Setiap 4 bulan, kondisi tubuhnya harus selalu diperiksa, dengan mengirimkan hasil rontgen ke dokter di Singapura. Hal ini harus dilakukan hingga Tisha mencapai usia 5 tahun karena penyakit ini berpotensi kembali terjadi. Sejauh ini, menurut Toety, tak ada masalah berarti yang terjadi pada tubuh Tisha karena diupayakan selalu disiplin dan mengikuti saran dokter. Meski memang, perjuangan bersama anaknya ini masih terus berlanjut.
Toety dan keluarganya terus berupaya menjaga agar Tisha selalu dalam keadaan baik. Kakak Tisha pun diminta untuk selalu menjaga adiknya. Masih panjang perjalanan ke depan, karena penyakit ini membuat Tisha sedikit berbeda dari kebanyakan anak-anak. Perjalanan ini pun juga mengubah Toety, perjalanan emosi yang naik-turun sudah dilewatinya dengan suami dan keluarga. Meski sempat tegang dan mengakibatkan pergumulan di dalam batin, juga perselisihan dengan suami, keluarganya kini kian dekat dan mengambil pelajaran-pelajaran terbaik.
Bagi orangtua yang sedang mendampingi anaknya dalam menjalani pengobatan untuk penyakit, ada beberapa hal yang menurut Toety penting untuk dibagi;
- Jangan putus hubungan dengan Yang Kuasa. "Saya terus berdoa untuk kesembuhan Tisha. Selain ini juga menguatkan iman dan batin," kata Toety.
- Bangun kedekatan dengan semua orang, terutama yang berhubungan dengan Tisha. Saat ini, Toety bekerja di bagian administrasi rumah sakit di Jakarta. Hal ini memberinya akses ke dokter anak. Kesempatan ini ia gunakan untuk menjaga relasi dengan dokter anak yang bekerja di RS yang sama. Kedekatan ini mempermudah Toety untuk bertanya/konsultasi setiap saat untuk urusan kondisi Tisha.
- Terbuka dengan orang lain. "Kondisi ini sudah terjadi, tidak bisa diputarbalik. Yang ada hanya mengoptimalisasi keadaan. Saya mencoba menjaga Tisha dengan selalu lebih dulu bicara kepada orang-orang yang berkaitan dengan Tisha, seperti tetangga, guru, orangtua lain di playgroup, dan lainnya, bahwa kondisi Tisha berbeda dari anak kebanyakan. Ini otomatis membantu menjaga Tisha saat saya tidak ada di sekitarnya, selain Mbak yang menjaga Tisha," kata Toety sembari menambahkan, untuk juga menjaga komunikasi dan kedekatan dengan Mbak yang menjaga.
- Ikhlas dengan keadaan. Bertanya, marah, dan menyalahkan orang lain tak membantu banyak. Setelah sempat menuding gen tumor datang dari keluarga suami dan menyebabkan perselisihan, setelah tahu dari dokter bahwa bukan itu penyebabnya, disadari, perselisihan yang terjadi amat bisa dihindari. Ikhlas dengan keadaan dan jalani apa yang ada menjadi pilihan Toety dan keluarganya.
- Selalu berpikir positif dan tidak menelan omongan yang tidak sedap. Tak perlu tambahan beban dengan memikirkan pandangan/kata-kata miring orang lain. Daya dan tenaga yang ada malah bisa habis percuma.
- Coba untuk meriset dan menambah pengetahuan sendiri. Internet, buku, dokter lain, keluarga, teman, dan orang-orang lain bisa menjadi sumber bahan tambahan pengetahuan, namun jangan dilahap semuanya. "Saya pernah ditawari obat-obatan alternatif, tapi saya memilih jalur medis dan percaya dengan dokter. Khawatir terjadi komplikasi yang malah bisa membuat pengobatan kembali ke awal, saya tak mau ambil risiko. Jadi saya menjalani yang dianjurkan dokter," kata Toety. Hal ini juga termasuk dalam urusan menu makanan dan cara memasak yang sehat.
- Persiapkan diri untuk menjelaskan kepada Tisha mengenai kondisinya. Beritahu ia secara perlahan, beri pengertian mengenai kondisinya secara perlahan.
- Bila ingin, menangislah. Diakui Toety, selama menjalani hal ini, ia kerap menitikkan air mata. Melihat anak mengalami perjuangan berat melawan penyakit tentu bukan hal mudah bagi orangtua. Menangis bila ingin melegakan dada, bukan hal yang salah, tetapi harus kembali kuat untuk si kecil.
Bangkit dari Keterpurukan untuk Bantu Perempuan Waspada Kanker Payudara
Berangkat dari pengalaman kurang informasi, Rina berjanji untuk membantu orang lain dengan berbagi informasi yang ia miliki agar banyak orang aware dengan kanker payudara.
Marah, kesal, bingung, sedih, menyangkal, dan beragam emosi lain menumpuk di dalam Rina Susanti ketika ia mengetahui ada benjolan tumor di salah satu payudaranya. Dalam keadaan bingung, ia berusaha mencari informasi sebanyak-banyaknya untuk mendapat pengobatan terbaik. Masalahnya, tak semua informasi bisa dipercaya. Ingin semua perempuan bisa mendapat akses informasi yang benar dan komprehensif, Rina berbagi ide dan berusaha mewujudkan mimpinya agar makin banyak perempuan lebih aware dengan kondisi tubuhnya, terutama untuk kanker payudara.
Di tahun 2010, saat memanjakan diri di salon dengan pijat lulur, Rina diberitahu terapisnya bahwa ada benjolan di payudaranya. Meski dalam keadaan kaget, Rina mencoba mencari informasi dan mencari tahu bagaimana cara memeriksakan diri.
"Saat itu saya mengalami kesulitan untuk mendapatkan informasi yang tepat ke mana harus berobat, di mana rumah sakit atau tempat untuk memeriksakan diri, bagaimana cara memeriksa yang benar, berapa biaya yang harus dipersiapkan, adakah tempat yang dapat memeriksakan deteksi dini dengan harga terjangkau, dan sebagainya," kata Rina kepada Beritasatu.com pertengahan minggu ini saat dijumpai di Jakarta Barat.
Pada akhirnya Rina mendapat informasi untuk memeriksakan diri di Yayasan Kanker Indonesia (YKI). Ternyata benar, ada tumor dengan diameter 1 cm di payudaranya. Meski sempat takut dan ragu, juga merasa terpuruk namun dorongan keluarga dan keinginan untuk sembuh membuatnya yakin untuk menjalani operasi. Operasi pun berhasil berjalan lancar.
Dari sini Rina merasa, betapa informasi tentang penyakit yang ia alami masih minim dan belum menjangkau banyak orang. Seiring penyembuhannya, Rina yang juga adalah seorang farmasis/apoteker berlisensi berpikir mengenai perempuan-perempuan lain yang punya masalah mirip dengannya tetapi tidak punya akses informasi. Ia pun bermimpi untuk bisa membantu memberi informasi kepada orang banyak tentang informasi yang ia miliki lewat jalur yang semua orang miliki; ponsel.
"Mengetahui ada tumor di payudara saya merupakan titik terendah dalam hidup saya. Enggak ada yang lebih rendah, sehingga satu-satunya jalan hanya bangkit. Saya jadi berpikir untuk mengubah diri agar bisa lebih bermanfaat bagi orang lain. Bermanfaat bagi orang lain tidak harus dalam perkara besar, yang kecil juga bisa. Saya ingin ajak orang lebih tahu dan waspada dengan penyakit ini. Hidup sangat berarti ketika bisa berguna untuk orang lain," tutur Rina.
Saat lulus sekolah farmasi, Rina berjanji untuk memberi layanan terbaik kepada masyarakat. Janji itu menetap di dalam dirinya dan kemudian menjadi mimpi yang berwujud kenyataan.
"Saya berjanji untuk berbagi pengetahuan tentang obat seusai sekolah farmasi. Saya sebagai apoteker juga harus memberi pharmaceutical care untuk masyarakat yang membutuhkan layanan kesehatan. Yang saya pelajari, kita harus bermanfaat untuk orang lain dengan berbagai macam keadaan, agar berguna untuk orang lain. Saya kebetulan biasa menulis, jadi sejak beberapa tahun lalu saya sering berbagi tulisan seputar obat-obatan dan kesehatan lewat blog. Sampai satu hari, setelah operasi, saya menuliskan mimpi saya untuk berbagi informasi lebih banyak kepada masyarakat tentang waspada kanker payudara," jelas pemilik blog Tukangobatbersahaja.com ini.
Di tahun 2010, Rina mendengar mengenai lomba menulis ide seputar akses kepada kesehatan yang lebih baik untuk masyarakat yang digelar produsen alat-alat kesehatan, makanan, dan peralatan rumah, Philips. Ajang itu bernama The + Project.
Awalnya sekadar bertutur tentang pengalamannya dan mimpinya agar lebih banyak yang waspada terhadap kanker payudara, yakni dengan menciptakan aplikasi ponsel agar bisa langsung terhubung dengan informasi seputar itu, idenya pun disambut baik oleh Philips. Ide pembuatan aplikasi Spot It Yourself dari Rina menjadi juara pertama untuk kategori ide akses ke kesehatan.
Utamanya, ajang The + Project ini merupakan bentuk Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan tadi untuk membantu masyarakat. Karenanya, ide-ide dari para pemenang, dimodali 50 ribu dolar AS, harus diwujudkan. Akhirnya, setelah perjalanan panjang selama 2 tahun pembuatan aplikasi, akhir November lalu, terwujudlah mimpi Rina.
"Akhir bulan November lalu, ide Spot It Yourself itu terwujud. Aplikasi ini sebagai akses informasi seputar kanker payudara, seperti bagaimana cara melakukan SADARI (Pemeriksaan Payudara Sendiri), kapan saat yang tepat memeriksa, beda tumor dan kanker, konsultasi, dan sebagainya itu sudah bisa di-download di ponsel-ponsel touchscreen. Nanti, akhir bulan ini (Desember 2012), sudah bisa diunduh juga di ponsel jenis apa pun yang bisa terhubung ke internet. Jadi para perempuan maupun lelaki, bisa punya akses menuju informasi komprehensif tentang kanker payudara," jelas perempuan yang menjabat Business Unit Manager di sebuah perusahaan distribusi bahan kimia di Jakarta ini.
Untuk idenya ini, Rina mengaku ini bukan hanya program CSR dari Philips, tetapi juga CSR dari dirinya sendiri. "Saya tidak minta royalti atau uang atas ide yang terwujud ini. Uang hadiah itu sepenuhnya untuk perwujudan ide ini. Saya juga tidak mencari ketenaran. Saya hanya merasa senang bila ada orang yang terbantu dari informasi yang saya berikan. Saya merasakan itu dari tanggapan apresiasi pembaca di blog saya, terutama tulisan-tulisan tentang kesehatan. Semoga dari makin banyak orang yang mengunduh aplikasi ini, makin banyak yang mau aware dengan kondisi payudara mereka. Saya juga minta supaya bisa mengisi kolom di sana. Ini CSR dari saya pribadi," tutur Rina.
Proyek ini, kata Rina, adalah salah satu cara untuk meningkatkan kesadaran masyarakat betapa pentingnya deteksi dini terhadap kanker payudara di Indonesia. "Saya bersyukur mengetahui sejak dini adanya benjolan dipayudara yang ternyata tumor jinak dan segera dioperasi. Kalau saya sampai terlambat maka biaya yang saya keluarkan akan semakin besar dan peluang kesembuhan kecil. Bukan tidak mungkin kalo sampai terlambat tumor ini bisa menjadi kanker yang berbahaya. Untuk itu penting sekali untuk sebuah deteksi dini, lebih dini lebih baik," kata Rina.
Melengkapi kebahagiaan terwujudnya mimpi idenya ini kian lengkap dengan akan berakhirnya masa lajang Rina di akhir bulan ini. Di antara kesibukannya menjadi pemimpin unit kerja di perusahaan tempatnya bekerja, menyusun pernikahan, serta mengisi blog dan menjawab pertanyaan di blog tentang kesehatannya, Rina kini tetap menjaga kondisi tubuhnya sambil terus memantau kesehatannya.
Untuk mengunduh aplikasi ini di bisa dilakukan di http://bit.ly/spotityourself untuk ponsel-ponsel tertentu.
● Berita Satu
Marah, kesal, bingung, sedih, menyangkal, dan beragam emosi lain menumpuk di dalam Rina Susanti ketika ia mengetahui ada benjolan tumor di salah satu payudaranya. Dalam keadaan bingung, ia berusaha mencari informasi sebanyak-banyaknya untuk mendapat pengobatan terbaik. Masalahnya, tak semua informasi bisa dipercaya. Ingin semua perempuan bisa mendapat akses informasi yang benar dan komprehensif, Rina berbagi ide dan berusaha mewujudkan mimpinya agar makin banyak perempuan lebih aware dengan kondisi tubuhnya, terutama untuk kanker payudara.
Di tahun 2010, saat memanjakan diri di salon dengan pijat lulur, Rina diberitahu terapisnya bahwa ada benjolan di payudaranya. Meski dalam keadaan kaget, Rina mencoba mencari informasi dan mencari tahu bagaimana cara memeriksakan diri.
"Saat itu saya mengalami kesulitan untuk mendapatkan informasi yang tepat ke mana harus berobat, di mana rumah sakit atau tempat untuk memeriksakan diri, bagaimana cara memeriksa yang benar, berapa biaya yang harus dipersiapkan, adakah tempat yang dapat memeriksakan deteksi dini dengan harga terjangkau, dan sebagainya," kata Rina kepada Beritasatu.com pertengahan minggu ini saat dijumpai di Jakarta Barat.
Pada akhirnya Rina mendapat informasi untuk memeriksakan diri di Yayasan Kanker Indonesia (YKI). Ternyata benar, ada tumor dengan diameter 1 cm di payudaranya. Meski sempat takut dan ragu, juga merasa terpuruk namun dorongan keluarga dan keinginan untuk sembuh membuatnya yakin untuk menjalani operasi. Operasi pun berhasil berjalan lancar.
Dari sini Rina merasa, betapa informasi tentang penyakit yang ia alami masih minim dan belum menjangkau banyak orang. Seiring penyembuhannya, Rina yang juga adalah seorang farmasis/apoteker berlisensi berpikir mengenai perempuan-perempuan lain yang punya masalah mirip dengannya tetapi tidak punya akses informasi. Ia pun bermimpi untuk bisa membantu memberi informasi kepada orang banyak tentang informasi yang ia miliki lewat jalur yang semua orang miliki; ponsel.
"Mengetahui ada tumor di payudara saya merupakan titik terendah dalam hidup saya. Enggak ada yang lebih rendah, sehingga satu-satunya jalan hanya bangkit. Saya jadi berpikir untuk mengubah diri agar bisa lebih bermanfaat bagi orang lain. Bermanfaat bagi orang lain tidak harus dalam perkara besar, yang kecil juga bisa. Saya ingin ajak orang lebih tahu dan waspada dengan penyakit ini. Hidup sangat berarti ketika bisa berguna untuk orang lain," tutur Rina.
Saat lulus sekolah farmasi, Rina berjanji untuk memberi layanan terbaik kepada masyarakat. Janji itu menetap di dalam dirinya dan kemudian menjadi mimpi yang berwujud kenyataan.
"Saya berjanji untuk berbagi pengetahuan tentang obat seusai sekolah farmasi. Saya sebagai apoteker juga harus memberi pharmaceutical care untuk masyarakat yang membutuhkan layanan kesehatan. Yang saya pelajari, kita harus bermanfaat untuk orang lain dengan berbagai macam keadaan, agar berguna untuk orang lain. Saya kebetulan biasa menulis, jadi sejak beberapa tahun lalu saya sering berbagi tulisan seputar obat-obatan dan kesehatan lewat blog. Sampai satu hari, setelah operasi, saya menuliskan mimpi saya untuk berbagi informasi lebih banyak kepada masyarakat tentang waspada kanker payudara," jelas pemilik blog Tukangobatbersahaja.com ini.
Di tahun 2010, Rina mendengar mengenai lomba menulis ide seputar akses kepada kesehatan yang lebih baik untuk masyarakat yang digelar produsen alat-alat kesehatan, makanan, dan peralatan rumah, Philips. Ajang itu bernama The + Project.
Awalnya sekadar bertutur tentang pengalamannya dan mimpinya agar lebih banyak yang waspada terhadap kanker payudara, yakni dengan menciptakan aplikasi ponsel agar bisa langsung terhubung dengan informasi seputar itu, idenya pun disambut baik oleh Philips. Ide pembuatan aplikasi Spot It Yourself dari Rina menjadi juara pertama untuk kategori ide akses ke kesehatan.
Utamanya, ajang The + Project ini merupakan bentuk Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan tadi untuk membantu masyarakat. Karenanya, ide-ide dari para pemenang, dimodali 50 ribu dolar AS, harus diwujudkan. Akhirnya, setelah perjalanan panjang selama 2 tahun pembuatan aplikasi, akhir November lalu, terwujudlah mimpi Rina.
"Akhir bulan November lalu, ide Spot It Yourself itu terwujud. Aplikasi ini sebagai akses informasi seputar kanker payudara, seperti bagaimana cara melakukan SADARI (Pemeriksaan Payudara Sendiri), kapan saat yang tepat memeriksa, beda tumor dan kanker, konsultasi, dan sebagainya itu sudah bisa di-download di ponsel-ponsel touchscreen. Nanti, akhir bulan ini (Desember 2012), sudah bisa diunduh juga di ponsel jenis apa pun yang bisa terhubung ke internet. Jadi para perempuan maupun lelaki, bisa punya akses menuju informasi komprehensif tentang kanker payudara," jelas perempuan yang menjabat Business Unit Manager di sebuah perusahaan distribusi bahan kimia di Jakarta ini.
Untuk idenya ini, Rina mengaku ini bukan hanya program CSR dari Philips, tetapi juga CSR dari dirinya sendiri. "Saya tidak minta royalti atau uang atas ide yang terwujud ini. Uang hadiah itu sepenuhnya untuk perwujudan ide ini. Saya juga tidak mencari ketenaran. Saya hanya merasa senang bila ada orang yang terbantu dari informasi yang saya berikan. Saya merasakan itu dari tanggapan apresiasi pembaca di blog saya, terutama tulisan-tulisan tentang kesehatan. Semoga dari makin banyak orang yang mengunduh aplikasi ini, makin banyak yang mau aware dengan kondisi payudara mereka. Saya juga minta supaya bisa mengisi kolom di sana. Ini CSR dari saya pribadi," tutur Rina.
Proyek ini, kata Rina, adalah salah satu cara untuk meningkatkan kesadaran masyarakat betapa pentingnya deteksi dini terhadap kanker payudara di Indonesia. "Saya bersyukur mengetahui sejak dini adanya benjolan dipayudara yang ternyata tumor jinak dan segera dioperasi. Kalau saya sampai terlambat maka biaya yang saya keluarkan akan semakin besar dan peluang kesembuhan kecil. Bukan tidak mungkin kalo sampai terlambat tumor ini bisa menjadi kanker yang berbahaya. Untuk itu penting sekali untuk sebuah deteksi dini, lebih dini lebih baik," kata Rina.
Melengkapi kebahagiaan terwujudnya mimpi idenya ini kian lengkap dengan akan berakhirnya masa lajang Rina di akhir bulan ini. Di antara kesibukannya menjadi pemimpin unit kerja di perusahaan tempatnya bekerja, menyusun pernikahan, serta mengisi blog dan menjawab pertanyaan di blog tentang kesehatannya, Rina kini tetap menjaga kondisi tubuhnya sambil terus memantau kesehatannya.
Untuk mengunduh aplikasi ini di bisa dilakukan di http://bit.ly/spotityourself untuk ponsel-ponsel tertentu.
● Berita Satu
0 comments:
Post a Comment