Solo � Fakultas Teknik Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta berhasil mengembangkan pengolah limbah batik yang bisa dipindahkan (mobile) yang mereka namakan Upal-RE. Dengan teknologi ini, air limbah pewarnaan batik bisa diolah sehingga menjadi air baku.
Teknologi tersebut cocok digunakan untuk sentra batik yang berada di perkampungan karena simpel dan mudah dipindahkan. Selain itu, biaya operasionalnya juga sangat murah yakni Rp 3.000 untuk sekali pengolahan 250 liter.
''Limbah pewarnaan batik adalah yang paling sulit untuk dinetralkan jika menggunakan pengolahan secara biologis, fisika maupun kimiawi. Namun dengan reaktor elektrokimia, limbah bisa diproses sehingga menjadi air baku yang aman,'' kata peneliti Upal-RE Ir Budi Utomo MT.
Budi memaparkan, alat yang bentuknya sangat ringkas, dilengkapi dengan genset dan kereta dorong tersebut terdiri atas bak dari bahan fiber yang dilengkapi peralatan elektrokimia dari logam dan besi untuk memproses limbah pewarnaan batik. Untuk menggunakannya juga sangat mudah yakni limbah batik dimasukkan ke dalam bak berkapasitas 250 liter tersebut lalu tinggal menekan tombol on. Setelah menyala, larutan elektrolit akan menimbulkan gelembung udara (flok) sehingga membawa partikel mengambang.
Dalam waktu 40 menit, reaktor elektrokimia tersebut akan mengurai zat pewarna yang mengambang di bagian atas dan air yang ada bagian bawah. Air yang sudah terurai dari zat pewarna sudah berubah warna menjadi lebih bening dan tinggal dialirkan dari katup di bagian bawah.
Penemuan teknologi ini tak hanya menghasilkan air yang lebih jernih tetapi juga mengurangi kandungan bahan berbahaya yang terkandung dalam limbah. ''Air tersebut sudah memenuhi standar untuk disebut air baku karena sudah memenuhi batas baku mutu air,'' kata Budi.
Setelah air dilirkan ke katup, endapan yang mengambang di atas air akan menjadi keras, menjadi seperti lempeng berwarna gelap. Lempeng tersebut bisa dimanfaatkan untuk campuran bahan bangunan dan lainnya, namun memerlukan proses lebih lanjut.
Budi mengemukakan, pemrosesan air limbah pewarna yang sintetis maupun warna alami prosesnya sama. Perbedaannya pada hasilnya dimana untuk zat pewarna alami efisiensinya mencapai 85 persen, sedangkan zat pewarna sintetis hanya 75 persen.
Dengan kata lain, pewarna alami lebih mudah proses penguraiannya. Alat ini menggunakan sumber listrik bertegangan litrik 220 volt dan membutuhkan daya sekitar 4.000 watt. Untuk mengantisipasi supaya tidak menyulitkan untuk pasokan daya listriknya, alat ini juga sudah dilengkapi genset bertenaga 50.000 watt.
Untuk prototipe alat tersebut, Budi mengaku menghabislan dana sebesar Rp 35 juta. Ia berharap bisa menekan biaya produksi dan meningkatkan kapasitas pengolahan limbah sehingga pelaku industri kecil seperti perajin batik mampu membeli alat pengolah limbah tersebut, minimal secara berkelompok.(Evie Kusnindya / CN34 / JBSM )
0 comments:
Post a Comment