0

Biota Laut Berpotensi Jadi Sumber Pangan

Pola pikir masyarakat terlanjur menganggap karbohidrat sebagai sumber pangan.

Ikan segar (Corbis)

VIVAnews
- Isu ketahanan pangan kini tidak harus mengandalkan dari daratan. Banyak sumber pangan dari dalam laut yang belum dimaksimalkan. Padahal biota laut juga potensial menjadi pengganti sumber pangan.

"Alternatif pangan juga bisa dari protein yang terkandung dalam biota laut, misalnya rumput laut," kata Deputi Ilmu Pengetahuan Kebumian LIPI, Iskandar Zulkarnaen, di sela-sela Rakornas The Cencus of Marine Life (CoML) di Kantor LIPI, Jakarta, Rabu, 25 Januari 2012.

Menurut Iskandar, masih banyak biota laut yang dapat menjadi sumber protein dan karbohidrat. Meski biota laut dapat menjadi sumber pangan baru, hal yang sulit memang mengubah pola pikir masyarakat yang masih terpengaruh dengan kultur.

"Misalnya tripang yang sudah ada, dianggap bukan sebagai sumber pangan," katanya. Masyarakat, soal pangan porsinya lebih ke karbohidrat.

Untuk itu, ke depan ia berharap hasil riset tentang sumber pangan biota laut dapat disampaikan ke masyarakat agar dapat segera dimanfaatkan. "Jangan berhenti pada identifikasi, perlu juga disosialisasikan juga," tuturnya.

Sebelumnya CoML telah mengidentifikasi bahwa 200 ribu spesies biota laut di lautan dunia, selebihnya 750 ribu biota lain potensial untuk diidentifikasi.

Ia juga menekankan biota laut perlu dijaga dengan ekosistem yang sehat untuk mencegah kepunahan biota laut. Selain itu jangan sampai terjadi degradasi ekosistem laut.

"Degradasi banyak disebabkan oleh faktor manusia, baik karena pertambangan di lautan ataupun yang lain," ujarnya. Apalagi saat ini, ground fishing saat ini sudah menjauh dari wilayah pantai.

Sementara itu, Kepala Pusat Penelitian Oceanografi LIPI, Zainal Arifin, mengatakan bahwa riset yang dikembangkan oleh LIPI dimanfaatkan untuk mendukung ketersediaan pangan. Ia mengatakan biota laut yang potensial untuk sumber pangan yakni abalon atau tripang dikenal dengan siput mata tujuh.

"Di sini (abalon) kurang dimanfaatkan. Tapi sudah dimanfaatkan di Malaysia," katanya.

Saat ini, LIPI mengaku sudah melakukan budi daya abalon dan rumput laut. (umi)



VIVAnews
0

Kominfo: IM2 Selama Ini Sesuai Ketentuan

Kominfo, kata Gatot, belum pernah menerima pengaduan soal IM2.

VIVAnews - Mantan Direktur Utama PT Indosat Mega Media (IM2) ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung. Mantan Bos IM2 berinisial IA ini dinilai melakukan penyalahgunaan jaringan frekuensi 2,1 Ghz IM2 atau generasi ke tiga (3G).

Menanggapi ini, Kementerian Komunikasi dan Informatika mengatakan telah melakukan monitoring dan evaluasi terhadap jaringan IM2.

“Selama ini mereka sudah menjalankan sesuai peraturan. Apa yang dilakukan mereka sudah sesuai ketentuan,” kata Kepala Humas Kominfo, Gatot Dewa S Broto, kepada VIVAnews, Selasa, 24 Januari 2012.

Sejauh ini, Gatot mengatakan bahwa IM2 menggunakan jaringan Indosat berdasarkan perjanjian. Adapun, terhadap proses hukum di Kejagung, pihaknya mempersilakan penegak hukum untuk memprosesnya.

“Penegak hukum mungkin lebih jeli dan mungkin punya celah. Kami menghormati dan tidak mengintervensi,” ucap Gatot.

Jika nantinya tidak terdapat pelanggaran hukum, ia mengimbau kepada penegak hukum untuk secepatnya memberikan klarifikasi. “Karena ini terkait dengan industri kita, mereka menunggu soal ini,” kata Gatot.

Masalah proses seleksi penyelenggara layanan 3G mengacu pada PP No. 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi dan Keputusan Menteri Perhubungan No. KM 21 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi.

Sebelumnya, persoalan dugaan tindak pidana korupsi oleh IM2 ini mencuat setelah diadukan oleh sebuah lembaga bernama Konsumen Telekomunikasi Indonesia (KTI), ke Kejaksaan Tinggi Jawa Barat.

KTI, kata Gatot belum pernah menyampaikan pengaduaannya kepada Kementerian Kominfo dan BRTI.

Kejaksaan Agung dalam keterangan persnya pada tanggal 18 Januari 2012 telah menetapkan seorang tersangka dari PT Indosat Mega Media atas dugaan penyalahgunaan pita frekuensi radio 2.1 GHz untuk layanan 3G.

Menurut keterangan dari pihak Kejaksaan Agung, PT Indosat Mega Media dianggap bersalah, karena tidak pernah mengikuti seleksi pelelangan pita jaringan bergerak seluler IM2-2000 pada pita frekuensi 2,1 GHz, namun telah menyelenggarakan jaringan itu melalui kerjasama yang dibuat antara PT Indosat Mega Media dengan PT Indosat. (umi)


VIVAnews
0

Blaast Gelar Kompetisi Bikin Aplikasi Dalam 8 Jam

INILAH.COM, Jakarta - Blaast, perusahaan content-developer (CP) asal Finlandia, menggelar kompetisi membuat aplikasi lokal hanya dalam waktu delapan jam saja.

Kompetisi membuat aplikasi secara singkat ini merupakan salah satu upaya Blaast untuk mendukung para pengembang lokal, terlebih setelah mereka bekerjasama dengan XL untuk meluncurkan layanan XL Blaast.

Kompetisi bernama Blaast HackDay Team ini diikuti oleh sekira 20 orang pengembang.

"Para pengembang berasal dari berbagai kampus dari kota-kota seperti Jakarta, Yogyakarta, Bandung, dan lain-lain," jelas Daniel Bergovist, Head of Developer Relation, Blaast, di Jakarta, Selasa (24/11/2012).

"Nantinya ke-20 orang tersebut akan dijadikan tujuh tim yang harus membuat tujuh aplikasi dalam waktu delapan jam saja. Yang tercepatlah yang akan menjadi juara," tambah Daniel. [mor]


Inilah.com

0

CP Finlandia Dukung Pengembang Muda Lokal

INILAH.COM, Jakarta - Blaast, perusahaan platform penyedia aplikasi asal Finlandia, mendukung penuh para developer muda lokal Indonesia. Seperti apa?

Salah satu bentuk dukungan Blaast kepada para pengembang muda lokal adalah dengan memberi semacam workshop berkesinambungan, yang bernama #BlaastClass. "#BlaastClass memberikan kelas terbuka bagi para orang berminat untuk membuat aplikasi mobile," ujar Putra dari Blaast Learning Centre, Selasa (24/1).

"Sejauh ini Blaast Learning Centre sudah memiliki 25 peserta yang berasal dari fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia," tambah Putra.

Putra juga menjelaskan bahwa Blaast Learning Centre menargetkan para peserta harus lulus dalam waktu 3 bulan dan sudah mampu membuat aplikasi sendiri, untuk mendapatkan sertifikasi dari Blaast dan kampus. Nantinya para peserta yang sudah lulus, aplikasinya bisa dijual di XL Blaast.

Dian Siswarini, Director of Technology & New Business of XL, mengatakan bahwa sudah ada 100 lebih aplikasi lokal yang sudah ada di XL Blaast dan akan terus bertambah. [mdr]


Inilah.com

0

Komunitas TI: Pemerintah Jangan Cuma Tarik Pajak!

Ilustrasi (Ist.)

Jakarta - Alih-alih mendukung perkembangan industri TI, pemerintah justru dianggap menghambat para pelaku industri TI di Indonesia. Penarikan pajak yang main pukul rata dirasa memberatkan komunitas-komunitas yang saat ini tengah mengeliat.

Demikian yang dirasakan Firstman Marpaung, salah satu penggiat komunitas IT saat berbincang dengan detikINET, Sabtu (21/1/2012) malam. Firstman mengaku, kerap kali terganjal regulasi, khususnya terkait dengan pajak, selama dirinya mengelola beberapa komunitas.

Menurutnya, selama dua tahun mengelola Microsoft User Group Indonesia (MUGI), pihaknya mendapatkan 10 paket modul pembelajaran lengkap dengan CD software trial. Tapi ternyata seluruh modul tersebut tidak bisa dikirim karena tertahan di Bea Cukai.

"Sisanya ditahan Bea Cukai karena dianggap barang komersil, harus ada invoice dan dikenakan pajak. Padahal itu pemberian, gratis dari principal Microsoft langsung. Jelas-jelas tertulis itu adalah pemberian. Gratis," ungkapnya.

Tidak hanya itu, ganjalan terbaru yang dia alami juga sama tidak mengenakkan. Dirinya diharuskan membayar pajak yang mencapai 30% dari nilai barang yang sebenarnya diberikan gratis oleh salah satu vendor ponsel.

Barang tersebut sengaja diberikan agar developer-developer di Indonesia bisa mempelajari sehingga saat produk smartphone tersebut diluncurkan, sudah ada karya developer lokal.

"Padahal dari seluruh dunia, Indonesia cuma 5 developer yang dapat. Ini bukan buat pribadi, tapi memang sengaja ditujukan ke komunitas agar developer bisa mempelajari produknya," kata pria yang juga menjabat sebagai President of Nokia Indonesia Community Enthusiast (NICE) ini.

Enggan Bayar Pajak?

Mendapati kenyataan di lapangan yang seringkali tidak sesuai dengan regulasinya, Firstman mengaku maklum jika ada beberapa developer yang merasa enggan untuk membayar pajak.

"Bukan masalah kita tidak mau bayar pajak, tapi buatlah kita merasakan dan dapat menikmati pajak yang kita bayar. Tidak perlu muluk-muluk, kita cuma ingin sedikit perhatian dari pemerintah. Toh, tanpa dukungan pemerintah selama ini kita masih bisa hidup kok," sindirnya.

Ia menambahkan, pemerintah sering kali tidak mau melihat dan membantu prosesnya. Tapi begitu muncul di media, serta merta developer langsung didatangi petugas pajak.

"Ada beberapa developer kita yang sukses dan kemudian begitu muncul media, langsung didatangi petugas pajak. Ini yang kemudian membuat para developer enggan mempublikasikan karyanya. Padahal banyak loh produk-produk lokal yang bagus dan berkualitas malah populer di luar ketimbang di sini," jelasnya.

Jika kondisi ini tidak segera dicari solusinya, Firstman khawatir Indonesia selamanya hanya akan menjadi pasar bagi produk-produk luar karena developernya enggan membuat produk.

"Itu jangan sampai terjadi. Ajaklah kami, komunitas untuk duduk bareng saat pemerintah mau membuat regulasi. Sehingga tidak berat sebelah dan justru merugikan salah satu pihak," pungkasnya.( afz / ash )


detik
0

UKM di Indonesia Belum Siap Gunakan Komputasi Awan

Cloud Computing

BANDUNG, KOMPAS.com - Perusahaan-perusahaan global sudah menganggap cloud computing atau komputasi awan sebagai model teknologi informasi (TI) masa depan. Namun, di Indonesia, perkembangannya diprediksi masih lambat. Terlebih di sektor usaha kecil menengah atau UKM.

Lembaga riset telematika Sharing Vision, memprediksi sektor UKM di Indonesia belum siap untuk beralih ke komputasi awan. "Ini dikarenakan masih banyak UKM yang keberatan untuk membayar software," ujar Chief Lembaga Riset Telematika Sharing Vision Dimitri Mahayana, di Bandung, Sabtu (21/1/2012).

Dimitri menambahkan, budaya masyarakat yang enggan membeli software berlisensi, menjadi pemicu ketidaksiapan UKM beralih ke komputasi awan. Padahal, komputasi awan dapat menghemat biaya TI dan meningkatkan produktivitas UKM.

Contoh kecil kemudahan yang diberikan dari komputasi awan, adalah UKM tak perlu lagi mengurus server mereka dan menyediakan ruangan khusus untuk server dengan suhu dingin yang tinggi. Server UKM akan diurus oleh perusahaan-perusahaan besar pemberi layanan komputasi awan.

Komputasi awan memberi kemudahan para karyawan UKM untuk mengakses data pekerjaan di mana saja, melalui komputer atau smartphone yang terkoneksi jaringan internet.

Kebanyakan UKM masih sangat terkonsentrasi pada core business mereka, sehingga melupakan sarana TI yang sebenarnya mampu menunjang bisnis. Kebanyakan UKM di Indonesia lebih memilih untuk mencatat transaksi bisnis secara manual.


KOMPAS.com

0

Indonesia Mau Jadi Kiblat Pameran Komputer Asia

Pengunjung memadati hari pembukaan Consumer Electronics Show di Las Vegas, AS, Selasa (10/1). REUTERS/Rick Wilking

TEMPO.CO
, Jakarta
- Consumer Electronics Show (CES) adalah wadah para penggiat teknologi untuk memamerkan produk teranyar mereka. Sejak 1970, Consumer Electronics Association tak pernah absen menggelar ajang tahunan yang berlangsung di Las Vegas, Nevada, Amerika Serikat, ini. Pameran digelar di dua lokasi, The Venetian dan Las Vegas Convention Center. Luasnya 518 ribu meter persegi atau setara 35 kali lapangan sepak bola.

Selama tiga hari, pameran yang diikuti lebih dari 3.100 perusahaan dari 140 negara ini mampu menyedot perhatian 140 ribu pengunjung. Lokasi CES di The Venetian digunakan sebagai tempat bagi orang-orang penting di dunia teknologi untuk memberikan sambutan dan kegiatan seminar.

Adapun pameran produk terkonsentrasi di Las Vegas Convention Center. Di sini terdapat tiga aula utama, yakni Central Hall, South Hall, dan North Hall. Tak cukup tiga hari untuk berkeliling ke seluruh stan. Selain tempatnya begitu luas, pengunjung juga perlu waktu untuk memahami produk yang dipajang.

Uniknya, tidak ada transaksi jual-beli di pameran ini. Hanya pertukaran informasi dan kesepakatan bisnis di balik riuhnya musik dan sorot lampu yang bertebaran. Pemandangan ini berbeda dengan ajang pameran teknologi di Tanah Air, yang seolah memindahkan pusat belanja elektronik ke lokasi pameran.

Di sini semua peserta bebas menjual produk mereka langsung ke konsumen dan berlomba-lomba memperoleh keuntungan.

Dyandra Promosindo, penyelenggara pameran teknologi seperti Mega Bazaar Computer atau Indocomtech, mengakui kecenderungan pameran di Indonesia adalah pameran retail.

“Tahun depan kami merencanakan mengubah level pameran komputer dari Business to Consumer menjadi Business to Business dan menjadi kiblat pameran komputer di Asia,” kata Bambang Setiawan, Chief Operating Officer Dyandra Promosindo, kepada Tempo, Kamis lalu.

Menurut Bambang, pameran Business to Business memiliki nilai transaksi yang lebih besar ketimbang pameran Business to Consumer.

Meski pameran di Indonesia menjadi wadah transaksi jual-beli, Bambang optimistis antusiasme masyarakat untuk datang ke ajang seperti ini akan terus meningkat selama masih ada inovasi dan pengembang teknologi informasi.

Lagi pula, lanjut dia, teknologi kini menjadi suatu hal yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan sehari-hari. Buktinya, dari tiga pameran teknologi informasi yang diselenggarakan setiap tahunnya, Dyandra mencatat terjadi kenaikan jumlah pengunjung 5-10 persen.

Dalam Indocomtech tahun lalu, misalnya, jumlah pengunjung selama 5 hari mencapai lebih dari 210 ribu orang dengan total transaksi Rp 630 miliar.
RINI KUSTIANI (LAS VEGAS)


TEMPO.CO

0

Gong Xi Fa Cai

Selamat Tahun Baru Imlek