Jakarta (ANTARA) - Presiden Direktur PT Dirgantara Indonesia (DI) Budi Santoso berharap produksi pesawat perintis N219 menjadi jembatan alih teknologi antara para insinyur CN235 yang dicetak BJ Habibie pada tahun 1980-1990 dengan generasi baru.
"Generasi yang memiliki kesempatan mengembangkan pesawat CN235 dan N250 semakin tua dan tidak lama lagi pensiun. Generasi ini tak lama lagi akan hilang," kata Budi berbicara tentang pentingnya produksi pesawat N219 yang saat ini akan memasuki tahap desain struktur.
Menurut dia, hilangnya generasi aeronotika yang dibangun Habibie selama 20 tahun itu akan menjadi suatu kerugian besar bagi Indonesia, karena untuk mencetak generasi yang sama seperti masa tersebut Indonesia harus memulainya lagi dari nol.
Karena itu, menurut dia, produksi N219 harus menjadi momen penting untuk menghapus gap tersebut yakni dengan memaksa "generasi yang hampir hilang" itu segera menurunkan ilmunya kepada generasi pendatang baru.
Pencetakan SDM aeronotika saat ini diakuinya tidak semasif di masa mantan Menristek BJ Habibie, di mana setiap tahun hanya puluhan insinyur aeronotika yang lulus dari ITB dan beberapa universitas lainnya.
N219, lanjut Budi, memang dirancang untuk penerbangan jarak pendek yang dioperasikan pada daerah dengan kondisi alam dengan tingkat kesulitan yang tinggi seperti landasan tak beraspal di wilayah pegunungan dan kepulauan.
"Masalah kondisi negeri kita yang seperti ini harus dipecahkan sendiri oleh kita. N219 merupakan solusi transportasi untuk kondisi ini. Khususnya ketika pabrik-pabrik pesawat dunia sudah tak lagi memproduksi yang sekelas ini," katanya.
Pesawat dengan kapasitas 19 penumpang itu diharapkan dapat menggantikan pesawat Twin Otter dari sisi "performance" ditambah dengan beban yang lebih besar.
Disebutkan untuk 20 tahun ke depan kebutuhan pasar pesawat kelas 9-20 kursi di dunia mencapai 5.350 unit dan di Asia Pasifik 549 unit, baik untuk menjawab pertambahan kebutuhan maupun penggantian.
• Yahoo
0 comments:
Post a Comment