Ramalan itu membuat warga Jakarta dihantui kekhawatiran terjadinya banjir besar. Namun bagi Edi Prasetyo Utomo, musim hujan ini adalah waktu untuk menabung air tanah.
Peneliti dari Pusat Penelitian Geoteknologi di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) itu telah mulai menabung sejak empat tahun lalu. Pada puncak musim kering, Juni 2008, Edi dan empat peneliti lain mengawasi proses penggalian parit sepanjang 21 meter sedalam 1 meter di dasar kolam yang telah dikeringkan sebelumnya di kantor pusat LIPI di Jalan Gatot Subroto, Jakarta. Parit dan kolam itulah yang menjadi alat menabung Edi.
Edi adalah orang yang berpengalaman membuat kolam penyuntik air di beberapa pulau kecil di Indonesia. Kali ini ia menerapkan teknologi ini di kawasan perkotaan di tengah berjejalnya gedung bertingkat.
Percobaan ini dinamakan “Simbat” (Simpanan dan Imbuhan Buatan Air Tanah). Jakarta menjadi kota satu-satunya di Indonesia yang mengikuti percobaan yang diikuti oleh lima negara ini. Percobaan lainnya dilakukan di Bangkok, Thailand; dan Hanoi, Vietnam.
"Setiap tahun kami berkumpul untuk melaporkan perkembangan penelitian," ujar Edi kepada Tempo, Selasa, 15 Oktober 2011.
Prinsip Simbat adalah memasukkan air hujan ke dalam lapisan akuifer dan secara bersamaan membuat lensa akuifer untuk menambah kapasitas simpanan akuifer air tawar. Teknik ini juga diterapkan pada sumur resapan namun dengan skala yang jauh lebih besar.
LIPI menargetkan proyek ini bisa mengatasi permasalahan hidrologi yang disebabkan oleh eksploitasi air tanah besar-besaran di kawasan perumahan, gedung perkantoran, dan daerah industri. Selama ini pengembang perumahan menarik air tanah dari kedalaman 40-200 meter sebagai sumber utama air bersih.
Menurut Edi, air pada kedalaman ini berkualitas sangat baik karena merupakan deposit murni yang terkumpul sejak ratusan tahun lalu. Sayangnya, pasokan air ke daerah ini berkurang drastis sejak berkurangnya daerah resapan air di Jakarta. “Pengembang seharusnya memikirkan konservasi air tanah,” ujarnya.
Terkurasnya air tanah mengancam ketersediaan air bersih di wilayah perkotaan. Krisis air bersih di beberapa wilayah di Jakarta menunjukkan eksploitasi air tanah mulai mencapai kondisi kritis. Akuifer yang tak terisi air tanah juga menjadi tempat yang baik bagi terjadinya intrusi air laut sehingga menyebabkan air tanah menjadi payau.
Efek lain dari berkurangnya air tanah adalah terjadinya ambles. Keadaan ini berpotensi menjadi lokasi berkumpulnya air hujan yang memicu banjir. Selain itu, struktur bangunan bisa terganggu akibat penurunan permukaan tanah ini.
Simbat memperbaiki konservasi air tanah dengan cepat dan efektif. Hal itu terlihat pada eksperimen yang dilakukan Edi dengan menggunakan atap gedung LIPI sebagai pengumpul air hujan.
Air yang jatuh ke atap gedung dialirkan melalui talang dan pipa air menuju kolam bawah tanah berukuran 21 x 13 meter dengan tinggi 3 meter. Di dasar kolam terdapat pipa-pipa yang dibenamkan hingga ke lapisan akuifer. Percobaan Edi dilakukan pada tiga kedalaman berbeda, yaitu 18 meter, 31 meter, dan 60 meter. Sebuah sumur buatan dipasang di sekitar kolam untuk memantau fluktuasi kedalaman air di lapisan akuifer.
Teknik yang diperkenalkan LIPI bekerja tanpa bantuan listrik. Air yang terkumpul di kolam tertarik ke bawah melewati pipa oleh gaya gravitasi. Gerakan ke bawah ini semakin cepat akibat tekanan yang diciptakan air kolam. Kerikil dan ijuk diletakkan di sepanjang saluran air sehingga air hujan yang masuk ke tanah tersaring dan bebas kontaminasi polutan.(ANTON WILLIAM)
• TEMPOInteraktif
0 comments:
Post a Comment