0

"Tarif BB Rp80 Ribu, Operator Nangis Dibelakang"

JAKARTA - Tarif internet dan BlackBerry di Indonesia sering dikeluhkan karena harganya dianggap selangit. Akan tetapi, menurut Direktur Utama Telkomsel Sarwoto Atmosutarno, tarif internet dan BlackBerry di tanah air sebetulnya terlalu murah.

Dikatakan olehnya, sebagai pembanding, tarif BlackBerry di negara kawasan Asia Tenggara seperti Singapura saja, rata-rata adalah 30 dolar Singapura perbulan, atau sekira Rp200 ribu. Berbeda dengan di Indonesia, yang rata-rata di atas Rp100 ribu. Malah harga sebesar itu pun masih diwarnai dengan banyak keluhan.

"Padahal sacara struktur dan letak geografis Indonesia yang berbentuk kepulauan, tidak bisa disamakan dengan tarif yang ada di Singapura, atau bahkan Amerika Serikat sekalipun," tukas Sarwoto, di Palangka Raya, belum lama ini.

Dia memaparkan, Singapura dan Amerika Serikat (AS), membangun kabel optik misalnya, cukup mudah karena sebagian besar wilayah kedua negara tersebut adalah daratan, artinya jika membangun infrastuktur tidak akan mengalami kendala yang cukup berarti.

"Bandingkan dengan Indonesia yang menghubungkan satu kawasan dengan kawasan lainnya yang berada di bawah laut, yang ini berarti harus menggunakan teknologi Submarine Cable, yang harganya 3 sampai 4 kali lipat," sebutnya.

Sialnya, kendati membangun backbone lebih mahal namun harga jual yang ditawarkan ke konsumen seperempat dari harga seharusnya. Sehingga hasilnya operator lebih mengedepankan kuantitas ketimbang kualitas.

"Makanya saya yakin ketika suatu operator bangga menawarkan tarif BlackBerry di bawah Rp80 ribu, dibelakangnya mereka pasti menangis," cibir pria berusia 53 tahun tersebut.

Olehnya, pemerintah pun diminta agar 'ketidakberesan' ini tidak terus berlanjut dan mungkin saja dapat membunuh operator. Apalagi dulu pemerintah selalu mengembar-gemborkan agar investor asing mau menanamkan dananya di Indonesia.

"Kepedulian pemerintah, bisa dilakukan dengan memberikan keringanan bagi industri telekomunikasi. Salah satunya jika operator membangun infrasturktur bisa dengan mempermudah pengurusannya atau membebaskan pajak," sarannya.(tyo)

Okezone
0

Kembangkan VoD, First Media Rangkul Programmer Java Lokal

JAKARTA - Penyedia layanan televisi berbayar dan Internet broadband First Media merangkul sejumlah proggramer Java di kalangan universitas, production house, dan TV developer untuk mendukung layanan Video on Demand (VoD).

Beberapa waktu lalu, First Media menggelar Workshop Video on Demand (VOD) yang bertujuan mensosialisasikan dan mengedukasi masyarakat, khususnya peminat teknologi siaran TV mengenai cara membuat konten TV interaktif. Nantinya, peserta yang mengikuti workshop diharapkan dapat mengembangkan konten lokal yang kelak dapat diaplikasikan pada VOD berdefinisi tinggi (high definition), layanan baru First Media yang akan diluncurkan dalam waktu dekat.

VOD HD First Media memanfaatkan teknologi serat optik yang memiliki bandwidth tinggi sehingga mampu menampilkan video interaktif yang kualitasnya lebih baik dibandingkan dengan video berteknologi satelit. Layanan baru ini merupakan bagian dari roadmap First Media, yang membuka jalan bagi pengembangan pertelevisian nasional di masa depan serta pengenalan fitur dan layanan baru.

First Media menawarkan konsep VOD bagi komunitas pertelevisian, sekaligus untuk menjembatani stasiun televisi lokal, production house, dan TV developer yang mampu mengisi konten lokal.

Dalam pelatihan tersebut, First Media bekerja sama dengan Advanced Digital Broadcast (ADB), perusahaan penyedia set top box First Media. Perusahaan itu memberikan penjelasan teknis mengenai teknis pemrograman televisi berbasis Java dengan menggunakan settle box ADB yang diberi nama MHP (Multimedia Home Platform). Pelajaran yang diberikan seperti bagaimana membuat aplikasi di televisi (mengatur tata letak layar, ukuran huruf, simplifikasi) cara penerapan dan pembuatan aplikasi lokal Interactive, penerapan dan pembuatan aplikasi full interactive serta memanfaatkan browser untuk membuat portal internet di televisi. Untuk mengisi VOD, konten dibuat dalam format digital sehingga set top box dapat diisi berbagai aplikasi

Albert Canigueral, Senior Manager Technical & Business Development ADB, mengatakan MHP dari ADB tersebut berbasis HTML dan Java, yang sangat familiar di kalangan programmer Indonesia. Dalam pelatihan, peserta diajarkan cara membuat konten televisi interaktif.

"Dengan memahami infrastruktur pengadaan konten TV interaktif, pengembang Java diharapkan dapat berkreasi membuat aplikasi interaktif berbasis Java sehingga VOD akan cepat berkembang di Indonesia," kata Canigueral dalam keterangannya, Jumat (8/10/20100.

Dia mencontohkan televisi berbayar di Belgia yang mengombinasikan pemrograman Java dalam penyajian VOD-nya, terdapat beberapa program konten yang menarik seperti game yang bisa dimainkan di telepon seluler dan bisa ditampilkan di layar TV. Penonton juga dapat menonton sambil mengakses portal berita, Youtube, ramalan cuaca, portal kesehatan online, hingga tampilan katalog iklan. Penonton pun tidak perlu lagi melihat jadwal acara TV di majalah, surat kabar atau internet, tetapi cukup mengklik salah satu tombol untuk menampilkan pop up di layar TV.
Selain itu, teknologi ini mampu menampilkan foto-foto yang di-upload di web, juga sangat nyaman untuk melakukan browsing dibandingkan dengan menggunakan laptop dan PC, terutama untuk keperluan presentasi karena teknologi HD memungkinkan menampilkan format dalam layar besar dan jernih.

Banyak keuntungan dan kenyamanan yang akan didapat oleh penikmat TV dengan VOD. TV kini merupakan kebutuhan dasar, semua rumah tangga hampir dipastikan memiliki pesawat TV tetapi belum tentu punya internet.

Marcelus mengatakan workshop VOD merupakan tahap awal untuk membuat program TV interaktif. Apabila animo masyarakat tinggi, pelatihan ini dapat kembali digelar kembali. Marcelus yakin jika pelanggan bisa membuat program sendiri dan mendapatkan konten yang diinginkan, TV interaktif berpeluang berkembang pesat di Tanah Air. "First Media siap menjembatani industri TV masa depan dengan layanan VOD HD dan menyediakan konten TV yang berbeda," ujar Marcelus Ardiwinata, Deputy Director Strategic Business Development PT First Media.

Konsep VOD yang ditawarkan oleh First media adalah TV community yaitu First Media menjembatani televisi lokal, production house dan TV developer untuk mengisi content VOD First Media dengan syarat harus memenuhi kententuan umum yang ada di First Media, misalkan tidak diijinkan kontent yang berhubungan dengan tembakau atau NAFZA. (ugo)

Okezone
0

Pakar : Banjir Bandang Bisa Dideteksi Dini

Dampak bencana bisa diminimalisir dengan deteksi dini

VIVAnews - Pakar geologi dari Universitas Gadjah Mada, Dwikorita Karnawati menyatakan bencana banjir bandang seperti yang terjadi di Wasior, Papua Barat, sebenarnya bisa diminimalisir dampaknya dengan deteksi ini. Caranya, dilakukan pemetaan zona rentan dan penataan ruang yang tepat dan ketat untuk identifikasi.

"Dengan mempertimbangkan kondisi alam dan perubahan tata guna lahan saat ini yang makin pesat, diperkirakan bencana banjir bandang masih terus akan melanda beberapa wilayah rentan di Indonesia," kata Dwikorita seperti dilansir laman UGM.

Menurutnya, daerah yang rentan ini menunjukkan ciri geomorfologi dan geologi yang khas, yaitu dicirikan oleh kenampakan endapan berbentuk kipas atau bulu burung apabila dilihat dari udara (citra satelit atau foto udara). Jadi zona dengan kondisi demikian, diketahui secara alamiah dan periodis telah mengalami proses sedimentasi arus pekat dengan volume sedimen yang besar.

"Apabila kita telah dapat menengarai zona rentan ini, maka penataan ruang pada dan sekitar zona tersebut harus ketat, agar tidak terjadi proses percepatan sedimentasi yang membentuk bendung di bagian hulu sungai," kata Dwikorita.

Selain itu, upaya pemantuan dan peringatan dini sangat dibutuhkan karena zona yang telah teridentifikasi/terpetakan sebagai zona rentan banjir bandang perlu dipantau secara periodik agar dapat terdeteksi secara dini terjadinya proses pembendungan di daerah hulu sungai. "Pemantauan ini dapat dilakukan melalui pengamatan visual secara periodik tiap musim hujan, dengan interpretasi citra satelit atau foto udara, ataupun melalui inspeksi udara. Pemantuan perlu diperketat apabila daerah hilir telah berkembang menjadi pemukiman padat," ujarnya.

Pemantauan juga dapat dilakukan dengan memasang peralatan deteksi dini peningkatan debit air sungai yang ditempatkan di beberapa titik di daerah hulu hingga hilir sungai. Alat deteksi dini ini dapat berupa bentangan kawat melintang tegak lurus lembah sungai, yang apabila putus terterjang aliran sungai akan memberikan sinyal dini ke daerah hilir sungai. "Pemantauan tersebut juga perlu dilengkapi dengan alat deteksi curah hujan yang terpasang di hulu sungai."

Menurut Guru Besar Geologi teknik dan lingkungan ini, banjir bandang dipicu oleh longsor dan pembendungan di daerah hulu, yang umumnya dicirikan dengan munculnya kenampakan berupa bekas-bekas longsor di bagian atas lembah sungai yang terbendung. Kenampakan bekas longsor ini dicirikan oleh bentuk seperti bekas "cakaran-cakaran" (bentuk "torehan-torehan lengkung" berwarna tanah) pada lereng.

"Kenampakan torehan-torehan ini dapat mudah teramati dari atas melalui citra satelit, foto udara ataupun inspeksi udara dengan helikopter/ pesawat terbang," katanya.

Seperti diketahui, bencana banjir bandang baru saja melanda Kampung Sandur, Distrik Wasior, Kabupaten Teluk Wondama, Papua Barat dan mengakibatkan lebih dari 90 orang tewas, lebih dari 1.000 luka dan ratusan rumah terendam air ataupun terkubur batu dan tanah.

Beberapa tahun sebelumnya, tercatat bencana banjir bandang pernah pula melanda beberapa wilayah di Indonesia, di antaranya terjadi di tempat wisata pemandian air panas Pacet di Kabupaten Mojokerto,Jawa Timur (2002).

Selanjutnya,lembah sungai jenebarang yang berada di lereng Gunung Bawakaraeng, kabupaten Goa(2004); di bantaran sungai Bahorok, Taman wisata Bukit Lawang, yang berada di Kaki Gunung Leuser, Sumatera Utara (2003), di daerah lembah/bantaran sungai di kota palu: dan juga di Kabupaten Jember, Jawa Timur (2006).



VIVAnews
0

Pentingnya Mengembangkan Industri Strategis

GLOBALISASI adalah fenomena yang bersifat multidimensional. Berbagai perkembangan (termasuk di dalamnya teknologi informasi) bergulir secara cepat dan meluas.

Di satu sisi perkembangan tersebut menciptakan peluang untuk mencapai kemakmuran ekonomi. Tetapi, di sisi lain perkembangan itu juga menghasilkan kekuatan yang dapat menyebabkan fragmentasi sosial,memunculkan kerawanan dalam suatu negara. Karena itu,Indonesia tidak bisa menghindar dari kenyataan. Globalisasi menuntut Indonesia memiliki kemampuan tinggi untuk berpartisipasi dan bersaing. Karena itu, sejumlah pengamat masalah kemajuan ekonomi melihat beberapa industri tertentu lebih penting daripada industri lain dalam pembangunan ekonomi.Salah satunya adalah industri strategis. Konsep industri strategis berawal dari diskusi mengenai sektorsektor mana saja yang memainkan peran sentral dalam pembangunan ekonomi.

Keberadaan era globalisasi membuat perhatian kepada industri strategis semakin tinggi. Globalisasi menuntut sebuah negara memiliki industri yang berperan sebagi sumber penting dari inovasi teknologi.Adalah kenyataan yang diakui bahwa globalisasi itu sendiri muncul sebagai akibat kemajuan dan inovasi dalam bidang teknologi. Industri apa pun yang tergolong strategis, jika dikelola secara memadai,akan memberi kontribusi berharga kepada ketahanan ekonomi.Pada gilirannya akan menunjang ekonomi negara tersebut dalam era globalisasi. Intinya adalah pemerintah harus mengambil kebijakan mendukung industri-industri strategis jika ingin melihat kontribusi industri strategis ini dalam memperkuat daya saing negara itu dalam era globalisasi.

Orang tidak bisa memastikan kapan globalisasi akan berhenti tetapi orang itu bisa memperkirakan efek yang diakibatkan arus globalisasi terhadap kondisi politik, ekonomi, maupun keamanan dalam negeri.Dalam konteks ini,daya tahan negara akan sangat ditentukan keberhasilan pemerintah dalam mengelola industriindustri itu termasuk industri yang sifatnya strategis. Industri-industri strategis inilah yang akan berada di garis depan dalam menopang, bukan hanya pembangunan ekonomi negara tetapi juga memperkuat daya saing negara dalam percaturan ekonomi internasional. Tidak ada jaminan bahwa globalisasi akan membebaskan negara dari kemungkinan konflik, baik itu konflik dalam negara maupun antarnegara.

Misalnya, ketika negara harus berhadap dengan negara lain dalam sebuah konflik, peran produk-produk industri strategis khususnya di bidang pertahanan akan sangat membantu mendukung posisi negara itu. Jika saja Indonesia menghadapi situasi demikian, ini membenarkan pemerintah Indonesia untuk meningkatkan produktivitas industri-industri pertahanan seperti PT Pindad, PT Dahana,PT PAL, dan PT Dirgantara.Kualitas produk industri pertahanan juga menjadi penting untuk ditingkatkan, bukan hanya untuk kepentingan pasar,tetapi juga membawa pesan bahwa kualitas produk industri strategis Indonesia bisa diandalkan untuk menghadapi situasi konflik.

Bukan hanya itu.Ketika Indonesia terkena embargo senjata, industri-industri strategis harus dapat mengambil alih peran sumber eksternal itu dalam menyediakan produk-produk industri strategis pertahanan yang berkualitas. Dalam konteks inilah Kementerian Pertahanan perlu mengeluarkan lebih sering lagi kebijakan mendukung perkembangan industri strategis, baik itu hasil rekayasa Indonesia sendiri maupun dengan lisensi asing. Konsistensi kebijakan Kementerian Pertahanan dalam mendukung industri strategis di bidang pertahanan bukan hanya dibutuhkan tetapi juga sebuah keharusan ketika negara-negara tetangga Indonesia sudah lebih maju dalam industri strategis mereka khususnya di bidang pertahanan.

Pengembangan industri-industri strategis secara konstan bukan hanya akan membantu perkembangan ekonomi negara tetapi juga membuka ruang lebih besar lagi bagi riset dan pengembangan.Inovasi teknologi untuk mendukung produk-produk industri strategis dan keandalannya dapat dilakukan melalui proses riset dan pengembangan. Yang disebut terakhir ini tentu saja membutuhkan investasi yang masif, termasuk investasi keuangan. Seperti telah dikatakan di atas bahwa negara sulit menghindar dari proses globalisasi.Karena itu, revitalisasi sektor-sektor tertentu di dalam negeri diperlukan sebagai bentuk respons terhadap perubahan- perubahan yang terjadi di lingkungan strategis Indonesia.

Industri strategis harus menjadi salah satu sektor yang direvitalisasi, bukan hanya karena sektorsektor itu memainkan peran sentral dalam pembangunan ekonomi negara tetapi juga memberi kontribusi kepada penguatan daya saing Indonesia dalam produk-produk industri strategis yang diperdagangkan di tingkat internasional. Globalisasi seperti sudah dibahas di atas tidak bisa dilihat terpisah dari faktor teknologi, perdagangan dan industri. Artinya, kemajuan teknologi adalah salah satu kontributor dari globalisasi. Dalam konteks globalisasi, perdagangan dikaitkan dengan persaingan antara produk dagang satu negara dan negara lainnya.

Di sini intinya adalah persaingan. Sedangkan industri dalam konteks globalisasi dikaitkan dengan upaya negara untuk memproteksi industri mereka karena alasan-alasan strategis nasional (national strategic reasons) dari kemungkinan infiltrasi produk- produk asing. (yani a)


SINDO
0

Indonesia Kekurangan Ahli di Bidang IT

Bandung - Indonesia kekurangan sumber daya manusia (SDM) di bidang Informasi dan Teknologi. Padahal kebutuhan industri akan SDM IT sangat tinggi.

Demikian diungkapkan oleh Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Informatika dan Komputer (Aptikom) Profesor DR Richardus Eko Indrajit di sela-sela Musyawarah Nasional Aptikom di Hotel Horison Bandung, Sabtu (9/10/10).

"Sekarang setiap 6 menit selalu ada teknologi baru yang muncul di dunia. Bahkan setiap hari ada satu juta serangan ke internet. Ini harus disikapi dengan penyediaan SDM IT yang handal," katanya.

Hal ini, imbuhnya, dikarenakan tidak adanya standarisasi profesi di bidang IT. Tidak seperti profesi lainnya yang memiliki standarisasi dan spesifikasi yang jelas.

"Sejauh ini kita belum memiliki profesi standar seperti halnya profesi kedokteran dengan spesialisasi yang jelas. Padahal di negara luar sudah lama standar profesi lulusan IT ini ada. Misalnya sarjana IT dengan spesialisasi pengamanan atau security IT dan lain-lain," ungkapnya.

Di tempat yang sama, Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan (Kapuslitbang) Kemenkominfo RI, DR Cahyana Ahmadjayadi mengungkap bahwa menjawab permasalahan ini, pihaknya telah menggelar program beasiswa S2 dan S3. Selain untuk meningkatkan kualitas SDM, hal ini dilakukan untuk menjawab tantangan kebutuhan industri. Khususnya industri IT.

"Jumlah doktor di Indonesia masih sangat kurang. Cuma 25.000 saja. Ini masih sangat kecil jika dibanding dengan jumlah penduduk kita. Itu sebabnya kita buka program beasiswa untuk S2 dan S3 khusus buat bidang IT atau yang terkait dengan IT," katanya.

Masih kata Cahyana, pihaknya akan menjaring 100 orang dalam program tersebut. Kesempatan belajarnya pun tidak hanya di Indonesia. Beberapa universitas terkenal di dunia pun telah dihubunginnya guna mendukung program ini.

"Tidak hanya di Indonesia. Mereka (calon penerima beasiswa - red) bebas memilih mau sekolah di mana. Kebetulan kita telah berkomunikasi dengan universitas-universitas besar di dunia. Seperti di Eropa, Amerika, Australia ataupun di Jepang," jelasnya.

Saat ini di Indonesia terdapat sekitar 730 perguruan tinggi komputer dengan jumlah program studi sekitar 1.600. Dari jumlah lembaga tinggi tersebut sekitar 170 perguruan tinggi berada di Jabar.( afz / fyk )


detiknet

0

Pengadaan Alutsista

Panser Canon produksi PINDAD (Foto Kaskus Militer)

Saatnya Indonesia Unjuk Kekuatan

HINGGA saat ini Indonesia masih tercatat sebagai salah satu dari 15 besar negara pengimpor alat utama sistem persenjataan (alutsista) terbesar di dunia.

Meski demikian, kini Indonesia sudah mulai melakukan ekspor beberapa produk alutsista ke negara tetangga. Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro berulang kali menyatakan komitmennya untuk memprioritaskan penggunaan produksi dalam negeri dalam pengadaan alutsista. Sebab langkah tersebut memiliki peranan yang strategis dalam pembangunan ekonomi bangsa. Dalam pembuatan alutista di dalam negeri, prosesnya dikerjakan tenaga dari Indonesia sehingga otomatis menciptakan lapangan kerja dan memiliki dampak berantai yang luas.

”Misalnya, pembuatan satu Fregat bisa menyerap sekira 2.000 tenaga kerja. Jadi, kalau dua Fregat bisa menyerap dua kali lipat tenaga kerja. Belum lagi dampak ekonomi lainnya,”kata Purnomo.


Purnomo mengungkapkan, Kementerian Pertahanan menganggarkan sekira Rp150 triliun untuk pengadaan serta pemeliharaan dan perawatan alutsista yang sebagian besar diambil dari Rencana Pembangunan Menengah Nasional 2010–2014. Sementara, sisanya sebesar Rp50 triliun diharapkan bisa diperoleh melalui lembaga pembiayaan sebagaimana yang telah diupayakan melalui penandatanganan kredit dengan Bank Negara Indonesia (BNI).

Alutista yang akan dibuat di dalam negeri dengan anggaran Rp150 triliun tersebut meliputi kapal Fregat dan kapal patroli cepat (fast patrol boat). PT PAL Indonesia telah mampu melakukan pembangunan kapal perang jenis perusak kawal rudal (PKR). Sementara, PT Dirgantara Indonesia melakukan kerja sama dalam pembangunan pesawat patroli maritim dengan Turki serta pembuatan prototipe pesawat tempur generasi 4,5 dengan Korea Selatan. Saat ini tidak sedikit produk alutsista industri lokal yang diminati negara tetangga.

Juru Bicara Kemhan Brigadir Jenderal I Wayan Midhio menyatakan, beberapa produk seperti panser produksi PT Pindad yang diminati Nepal dan Malaysia.

Sementara pesawat CN-235 antisubmarine buatan PT Dirgantara Indonesia (DI) juga diminati Brunei Darussalam, Malaysia, dan Mesir. Melihat potensinya, industri pertahanan dalam negeri memang memiliki peluang untuk semakin berkembang. ”Kita sudah mampu memproduksi beberapa jenis produk alutsista yang diakui dan akan dibeli oleh negara lain. Kita memiliki potensi besar menjadi negara pengekspor,” paparnya. Meski demikian, hingga saat ini Indonesia masih tercatat sebagai salah satu dari 15 negara pengimpor alutsista terbesar di dunia pada tahun 2009.

Menurut data the Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI), urutan pertama masih ditempati India dengan total belanja impor alutsista sebesar USD2,11 miliar pada tahun 2009. Kemudian Singapura di urutan ke-2 dengan nilai impor alutsista sebesar USD1,72 miliar, Malaysia di posisi ke-3 dengan nilai impor USD1,49 miliar. Yunani berada di urutan ke-4 dengan angka impor alutsista sebesar USD1,26 miliar, Korea Selatan di urutan ke-5 dengan nilai impor USD1,172 miliar. Urutan ke-6 hingga 15 besar di antaranya, Pakistan (USD1,146 miliar), Algeria (USD942 juta), Amerika Serikat (USD831 juta), Australia (USD757 juta), Turki (USD675 juta), Arab Saudi (USD626 juta), Uni Emirat Arab/UAE (USD604 juta), China (USD595 juta), Norwegia (USD576), dan terakhir di posisi ke-15 Indonesia dengan nilai impor sebesar USD452 juta pada 2009.

Berdasarkan catatan impor alutsista Indonesia yang tercatat di PBB, Indonesia pada 2008 mengimpor satu kapal perang dari Belanda, tiga RM Grad, dan empat roket peluncur dari Republik Ceko, dan sistem persenjataan permukaan kapal dari China. Peralatan persenjataan ini diperhitungkan untuk melengkapi kapal perang yang diimpor dari Belanda. Sedang untuk jenis senjata kecil, Indonesia mengimpor pistol revolver 159 unit untuk jenis Glock Pistols, dan 62 unit untuk jenis STI- 2011 Pistol dari AS, dan 352 unit dari Swiss untuk jenis Sig Sauer P226.

Sementara, kebutuhan alutsista sesuai Renstra 2010–2015 yang dipesan di industri pertahanan, di antaranya untuk TNI Angkatan Darat (AD) adalah pengadaan persenjataan infanteri, meriam artileri medan (armed) 114 pucuk, rudal mistral 156 pucuk, kendaraan tempur 311 buah, pesawat udara 132 unit, amunisi, dan alat perhubungan 2.451 set.

Kemudian, kebutuhan TNI Angkatan Laut (AL) adalah kapal patroli kecil dan patroli cepat, kapal cepat rudal, kapal tanker, kapal bantu angkut pasukan, kapal bantu angkut tank, kapal angkut serbaguna, dan pesawat udara patroli maritim.

Sedangkan TNI Angkatan Udara (AU), diantaranya pesawat angkut CN 235, helikopter (NAS 332), dan senapan serbu. Lembaga kepolisian membutuhkan 150 armored water canon,150 armored personal carrier,100.000 revolver,dan 100.000 senjata api untuk Sabhara.(abdul malik/islahuddin)

SINDO


Kapal LPD Banjarmasin produksi PT PAL (Foto Kaskus Militer)

Alutsista Loyo, Negara Bubrah

KEHEBATAN negara adidaya Amerika Serikat, selain didukung kekuatan ekonomi, selama bertahun- tahun pasca-Perang Dunia II, didukung pula kemampuan alutsista militernya.

Karena itu, kondisi alutsista sangat berpengaruh terhadap pertahanan suatu negara. Untuk melindungi wilayah suatu negara, diperlukan sistem persenjataan yang memadai untuk mencakup seluruh wilayah negara tersebut. Alutsista bahkan bisa berpengaruh terhadap kedudukan suatu negara dalam politik internasional. Lalu, jika menelisik proses pengadaan dan pemeliharaan alutsista di Indonesia, terdapat beberapa masalah kompleks dan berlarut– larut, mulai dari masalah dana yang tersedia sampai dengan sistem pengadaan yang bermasalah.

Berdasarkan Peraturan Presiden RI Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM) Tahun 2010–2014, terurai berbagai permasalahan di bidang pertahanan. Untuk postur pertahanan misalnya, keterbatasan keuangan negara dan skala prioritas pembangunan berdampak pada masih rendahnya anggaran pertahanan. Pelaksanaan berbagai program prioritas nasional seperti subsidi bahan bakar minyak (BBM), penanggulangan kemiskinan, peningkatan kesehatan masyarakat, dan pemenuhan anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN, mengakibatkan alokasi anggaran pertahanan tidak beranjak dari 1% pendapatan domestik bruto (PDB).

Pada awal RPJMN 2004–2009 alokasi anggaran pertahanan sebesar 1,1% PDB tetapi dalam pelaksanaannya justru menunjukkan penurunan. Dalam tiga tahun terakhir belanja pertahanan berturut-turut sebesar 0,92% PDB (2007), 0,70% PDB (2008), dan 0,63% PDB (2009). Kondisi tersebut secara signifikan berpengaruh pada kemampuan pertahanan terutama dihadapkan pada berbagai ancaman dan gangguan kedaulatan Indonesia, di samping akan memperlemah kemampuan alutsista yang ada, rendahnya anggaran pertahanan juga berpengaruh pada kemampuan mengganti alutsista yang habis usia pakai dan kemampuan mengikuti teknologi pertahanan.

Sebagian besar alutsista TNI berusia lebih dari 20 tahun dan sebagian darinya memiliki sisa usia pakai antara 7–15 tahun. Secara umum, tingkat kesiapan kekuatan matra darat sampai akhir 2008 rata-rata mencapai 68,85%, yang meliputi 1.299 unit berbagai jenis kendaraan tempur (ranpur) dengan tingkat kesiapan 63,74 %. Kemudian 537.178 pucuk senjata infanteri berbagai jenis dengan tingkat kesiapan 71,94%, dan 1.281 pucuk senjata artileri berbagai jenis dengan tingkat kesiapan 77,75%. Lalu, dari 59.842 unit kendaraan bermotor (ranmor) berbagai jenis dengan tingkat kesiapan 87,17%, 62 unit pesawat terbang berbagai jenis dengan tingkat kesiapan 59,68%. Tingkat kesiapan kekuatan matra laut rata-rata mencapai 46,27%, yang meliputi 144 unit kapal perang (KRI) dengan tingkat kesiapan 16,67%.

Kemudian 318 unit Kapal Angkatan Laut (KAL) dengan tingkat kesiapan 52,44%, 412 unit kendaraan tempur marinir berbagai jenis dengan tingkat kesiapan 41,02%, dan 62 unit pesawat terbang dengan tingkat kesiapan 31%. Adapun kekuatan alutsista TNI AU yang bertumpu pada pesawat tempur, pesawat angkut, helikopter, dan pesawat jenis lainnya, serta peralatan radar dan rudal kesiapan rata-rata saat ini mencapai 78,93%, yang meliputi 233 unit pesawat terbang dari berbagai jenis dengan tingkat kesiapan 55,79%, 18 unit peralatan radar dengan tingkat kesiapan 77,78%, dan 26 set rudal jarak pendek dengan tingkat kesiapan 100%.

Dengan kondisi tersebut, jelas postur dan struktur pertahanan Indonesia saat ini tidak sebanding dengan luas dan karakteristik wilayah yurisdiksi nasional, jumlah, dan sebaran penduduk, serta ancaman dan gangguan keamanan nasional. Apalagi, dalam lima tahun mendatang pertahanan negara diperkirakan akan menghadapi ancaman dan kerawanan yang lebih intens dan lebih tinggi sebagai akibat instabilitas kawasan; perebutan penguasaan dan pemanfaatan secara ilegal sumber daya alam dan sumber daya energi; serta peningkatan kapasitas non-state actor, baik dari sisi sumber daya manusia, teknologi, dan permodalan.

Karena itu, peningkatan ancaman dan kerawanan ini, apabila tidak diimbangi dengan pengembangan postur dan struktur pertahanan, akan menyebabkan kesenjangan postur dan struktur pertahanan yang lebih memprihatinkan daripada kesenjangan pada saat ini. Kesenjangan postur dan struktur ini merupakan risiko bagi pertahanan
negara yang diperkirakan masih akan menghadapi berbagai ancaman seperti insurgency, pelanggaran wilayah perbatasan darat, gangguan keamanan di laut dan pelanggaran wilayah yurisdiksi laut, pemanfaatan ruang udara nasional secara ilegal, dan upaya-upaya penguasaan wilayah Indonesia oleh negara lain.

Tetapi, upaya pengembangan postur dan struktur pertahanan sangat terkait dengan kondisi keuangan negara. Dengan kondisi keuangan negara yang terbatas, kekuatan pertahanan yang memungkinkan untuk dibangun dalam lima tahun mendatang adalah minimum essential force. Kendati begitu, upaya mewujudkan minimum essential force dalam lima tahun mendatang, dengan berpijak pada postur dan
struktur pertahanan saat ini, jelas tidak mudah. Apalagi, jumlah alutsista TNI relatif masih kurang dan dengan tingkat kesiapan alutsista yang belum maksimal. Ditambah lagi, sebagian besar alutsista TNI mengalami penurunan efek penggentar dan bahkan penurunan daya tembak yang sangat drastis akibat usia teknis yang tua dan ketertinggalan teknologi.

Karena itu, Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro mengatakan, kementeriannya menganggarkan sekitar Rp150 triliun untuk pengadaan serta pemeliharaan dan perawatan alutsista yang sebagian besar diambil dari Rencana Pembangunan Menengah Nasional 2010–2014. ”Dari jumlah tersebut, sebesar Rp100 triliun diambil dari RPJMN 2010–2014,” kata Purnomo. Lalu, sisanya sebesar Rp50 triliun diharapkan bisa diperoleh oleh kementriannya apabila ekonomi Indonesia ke depan tumbuh dengan baik. Dana Rp50 triliun masih belum bisa terakomodasi tetapi
kekurangan itu akan terus diperjuangkan. Alutsista yang akan dibuat di dalam negeri dari anggaran Rp150 triliun tersebut meliputi kapal Fregat dan kapal patroli cepat (fast patrol boat).

Untuk kebutuhan di perairan Indonesia Barat, TNI AL tidak mengembangkan kapal ukuran besar sehingga bisa dibuat di dalam negeri dilengkapi persenjataan modern seperti rudal. ”Kalau yang untuk Indonesia timur memang kapalnya besar-besar. Seperti Fregat itu, kita bangun di Surabaya. Mudah-mudahan akhir tahun kita bisa mendeklarasikan untuk membangun kapal selam di Indonesia juga di PT PAL,” tukas Purnomo.

Menteri Keuangan Agus Martowardjojo usai rapat tentang alutsista di Kantor Wakil Presiden Boediono Juni lalu mengatakan, kekurangan anggaran alutsista itu dihitung berdasarkan rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) yang dibandingkan dengan kebutuhan dari Kemenhan. Namun, jumlah Rp50 triliun tersebut menurutnya bukan sesuatu yang besar.

”Mungkin sekira Rp50 triliunan dalam lima tahun, dan itu bukan sesuatu yang besar. Tetapi, kita harus punya rencana APBN yang baik. Kita tidak bisa mengeluarkan suatu investasi kementerian tetapi tidak diimbangi penerimaan yang berkesinambungan dan sehat,” ujarnya.
Masalah pendanaan alutsista yang selama ini dituding sebagai faktor utama, boleh jadi mulai ditemukan solusinya.

Setidaknya hal ini bisa dilihat dari langkah PT Bank Negara Indonesia (BNI) yang memberikan modal kepada negara untuk pengadaan alutsista bagi TNI dan Polri sebesar Rp600 miliar. Pemberian modal ini dalam bentuk fasilitas kredit yang tertuang dalam sebuah perjanjian kredit induk dengan jangka waktu delapan tahun.
(abdul malik/yani a)

SINDO


CN 235 MPA produksi PT DI (Foto airlines.net)

Siapa Bilang Indonesia Tak Bisa?

TIDAK diragukan, jika industri pertahanan dalam negeri bisa bangkit dan mencapai kemandirian, akan banyak manfaat yang didapat. Indonesia tidak hanya mendapatkan pengakuan atas kekuatan pertahanan dalam konteks hubungan internasional.

Secara ekonomi, Indonesia akan mampu menumbuhkan industri di dalam negeri. Dengan memproduksi sendiri alutsista, biaya yang dikeluarkan jauh lebih efisien ketimbang membeli. Indonesia tidak akan lagi tergantung dengan pasokan suku cadang alutsista dari negara produsen dan tidak perlu menghabiskan banyak devisa untuk mengimpor alutsista dan suku cadangnya. Apalagi pengalaman yang selama ini terjadi, negara produsen alutsista sering memberlakukan sistem yang merepotkan negara-negara pembeli. Terlebih, jika negara pembeli terkena embargo. Karena itu, memiliki industri pertahanan sendiri akan berdampak pada pemenuhan sistem pertahanan yang lebih efisien dan efektif. Dalam hal daya saing di bidang pertahanan, banyak pihak prihatin.

Maklum alutsista Indonesia dapat dikata lebih uzur dibanding milik negara tetangga, seperti Malaysia. Geografis Indonesia yang merupakan negara kepulauan, sudah selayaknya mendapat dukungan alutsista yang mumpuni. Tetapi apa lacur, selama ini pemenuhan postur pertahanan dengan sistem alutsista yang memadai masih jauh dari harapan. Ibaratnya, asap jauh dari api. Masalah pendanaan disebut-sebut sebagai faktor utama pemenuhan alutsista Indonesia tertinggal dibanding negara lain.

Pengamat militer Universitas Indonesia (UI) Andi Widjajanto menegaskan, Indonesia sebenarnya memiliki potensi besar untuk bisa menjadi salah satu negara produsen industri pertahanan paling utama di dunia.

Selain karena pasarnya sudah besar, potensi bangkitnya industri pertahanan lokal sebenarnya sudah tampak jauh-jauh hari. Hanya, terpaan krisis tahun 1998 mengharuskan industri pertahanan dalam negeri yang sedang dirintis langsung kolaps. ”Penelitian dari Inggris menyatakan bahwa Indonesia merupakan satu dari tujuh negara besar di dunia yang diprediksi bakal menguasai industri pertahanan dunia,” ujarnya. Prediksi ini menurut Andi, sebagaimana diestimasikan oleh pakar pertahanan kesohor Richard A Bitzinger, ada tujuh negara yang bakal menguasai industri pertahanan di masa mendatang.

Ketujuh negara itu adalah Amerika Serikat (AS), Rusia, China, Eropa Barat, Brasil, India, dan Indonesia. Selain itu, ketujuh negara tersebut yang diperkirakan akan memiliki pertahanan yang terkuat di antara negara-negara di dunia. ”Artinya, kita sebenarnya memiliki kemampuan tidak hanya untuk mandiri dalam bidang pertahanan namun juga disejajarkan dengan negara-negara lain yang memiliki pertahanan terkuat di dunia,” paparnya. Mencontoh keberhasilan Brasil dan India, yang kini industri pertahanannya mulai maju, Andi mengatakan, kuncinya ternyata terletak pada transfer dan alih teknologi. Sehingga, teknologi pertahanan tidak melulu hanya dikuasai AS dan Rusia yang memang sudah mapan dalam bidang pertahanan.

Beragam strategi alih teknologi bisa dilakukan, apalagi mengingat angka impor alutsista Indonesia tidak sedikit sehingga bisa bernegosiasi dengan negara produsen untuk melakukan produksi bersama. ”Seperti Indonesia yang ingin membeli pesawat tempur dari Brasil sebanyak 172 unit, itu bisa minta diproduksi bersama dan dilakukan di Indonesia. Demikian juga dengan Korea Selatan. Mereka pasti bersedia melakukannya,” ujar Andi.

Pola alih teknologi semacam ini sudah dimulai Kementerian Pertahanan (Kemhan), seperti melalui rencana produksi bersama kapal selam dengan Korea Selatan. Kolaborasi- kolaborasi untuk memproduksi alutsista inilah yang akan menjadi sarana efektif alih teknologi. ”Bahkan, jika perlu kita harus mencuri teknologi. Dan ini sukses dilakukan PT Pindad yang kini bisa memproduksi panser Anoa, yang awalnya beli panser dari Eropa terus dipretelin dan dipelajari. Jadi, ini namanya rekayasa terbalik,” ungkapnya.

Bagaimanapun harus diakui, masih banyak alutsista bagi pertahanan Indonesia yang harus diadakan.

Di antaranya, alutsista yang memiliki efek gentar tinggi seperti pesawat tempur untuk angkatan udara, kapal selam untuk angkatan laut, serta angkatan darat dengan panser atau tank berteknologi canggih. Juru Bicara Kemhan Brigadir Jenderal I Wayan Midhio menegaskan bahwa pengadaan alutsista tidaklah memiliki tujuan untuk bersaing dengan negara-negara lain, kecuali murni demi urusan kepentingan pertahanan nasional. ”Kita harus mematuhi hukum internasional yakni ikut menjaga perdamaian dunia sehingga kita tidak merasa bersaing dengan alutsista milik negara lain,” ujarnya. Selain itu, kata dia, kebutuhan alutsista juga bertujuan untuk menjaga kedaulatan dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Dengan memproduksi alutsista sendiri, Indonesia akan memiliki daya tangkal yang tinggi. Kemudian, manfaat lain adalah bagaimana untuk mewujudkan kesejahteraan melalui tumbuh kembangnya industri pertahanan. Jika industri pertahanan bisa hidup dan berkembang, tidak hanya akan menyerap tenaga kerja lokal dan meningkatkan skill para ahli di dalam negeri, namun juga meningkatkan kesejahteraan para anggota TNI dan masyarakat umum. Tentu saja, syaratnya tidak hanya industri manufaktur seperti PT Pindad, PT DI, atau industri strategis lain yang digenjot, tetapi juga industri pendukung yang memproduksi bahan baku. Sehingga, seluruh suku cadang dan bahan baku bisa diproduksi sendiri.

Dengan begitu, Indonesia tidak perlu lagi impor untuk produk tersebut. ”Selama ini melakukan pengadaan selalu lebih cenderung ke Eropa, kini tidak lagi mesti demikian. Melalui sinergi semua lembaga kita bisa mewujudkan industri pertahanan yang mandiri,” ungkapnya. Buktinya, hingga saat ini sudah ada beberapa item produk alutsista milik Indonesia yang mulai diminati negara lain. Jika bisa semakin dikembangkan dan dikelola dengan baik, Indonesia akan menjadi salah satu negara produsen alutsista yang diakui dunia.
(abdul malik/yani a)

SINDO

0

Flexi Keluarkan Kartu Perdana Irit

JAKARTA--MICOM: Telkom Flexi mengeluarkan kartu perdana baru dengan merek dagang Flexi Irit mulai Minggu 10 Oktober 2010.

Kartu perdana yang dibanderol Rp1.999,- (di luar PPN) tersebut berisikan pulsa sebesar Rp2 ribu rupiah dengan memiliki keunggulan pada tarif irit untuk berkomunikasi suara ke pengguna Telkomsel dan telepon rumah.

"Untuk pembicaraan ke pengguna Telkomsel dan telepon rumah dikenakan tarif Rp49 per menit sejak menit pertama. Syaratnya pengguna cukup mengisi ulang Rp5 ribu per minggu," kata Executive General Manager Telkom Flexi Triana Mulyatsa dalam rilis yang diterima Media Indonesia, Minggu (10/10).

Dijelaskannya, pemberian tarif yang kompetitif bagi calon pengguna untuk berkomunikasi dengan pelanggan Telkomsel karena selama ini trafik dari Flexi ke penguasa pasar seluler itu masih rendah.

"Sebanyak 80% trafik dari 16,2 juta pelanggan Flexi itu ke sesama alias onnet. Sisanya lintas operator, ke Telkomsel itu hanya sekitar 9%," katanya.

Dirinya mengharapkan, adanya tarif kompetitif yang ditawarkan Flexi berkomunikasi ke pelanggan Telkomsel, akan membuka segmen baru sehingga trafik ke Telkomsel bisa meningkat menjadi 25-30%. Apalagi, harga kartu perdana yang ditawarkan jauh lebih murah dari produk sejenis di pasar yang masih bermain di kisaran harga Rp5-10 ribu.

"Tak bisa dipungkiri Telkomsel menguasai pasar seluler dengan 93 juta pelanggan. Jika Flexi menawarkan tarif yang kompetitif, segmen baru tentu bisa kita serap menjadi pelanggan. Hingga akhir tahun kami menyiapkan satu juta unit kartu perdana baru ini," jelas dia.

Sedangkan untuk pelanggan lama Flexi, Triana mengatakan, tetap bisa menikmati bonus Rp500 ribu setelah mengisi ulang Rp5 ribu rupiah setiap minggunya.

Caranya dengan mengetik 5 ribu dan kirim ke 123. Bonus yang akan diterima pelanggan adalah gratis Rp350 ribu ke sesama Flexi, Rp50 ribu ke Telkomsel, Rp50 ribu ke telepon rumah, dan Rp50 ribu untuk SMS. (Atp/OL-9)


mediaindonesia

0

Indonesia akan Bangun Stasiun Pemantau Atmosfer

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) akan membangun stasiun Global Atmosphere Watch (GAW) di Sulawesi Tengah dan Papua mulai 2011 untuk memperkuat pemantauan Atmosfer Global. "Stasiun ini untuk menambah stasiun GAW yang sudah ada di Bukit Kototabang, Sumatera Barat yang dioperasikan sejak 1996," kata Kepala Bidang Informasi Kualitas Udara BMKG Mangasa Naibaho di sela acara International Workshop on Global Atmosphere Watch (GAW) di Jakarta, Rabu.

Ia mengatakan, Indonesia membutuhkan sedikitnya tiga stasiun GAW yang mewakili pemantauan kondisi udara Indonesia bagian barat, tengah dan timur sehingga data perubahan iklim yang terjadi di Indonesia akan lebih akurat.

Saat ini jumlah jaringan stasiun GAW di seluruh dunia mencapai 33 stasiun dimana semua data dari seluruh stasiun tersebut selain digunakan di negara masing-masing juga dikirimkan ke World Data Centre Green House Gases di Tokyo menjadi suatu data global.

Suatu stasiun GAW, ujar Mangasa, harus bebas dari pencemaran lokal sehingga jauh dari daerah industri, lalu lintas perhubungan bahkan jauh dari pemukiman. "Jarak stasiun GAW di Kototabang ke jalan raya sampai 5 km," katanya sambil menambahkan calon stasiun GAW di Sulteng terletak di kawasan hutan lindung Role Lindu, enam jam perjalanan dari Palu.

BMKG bersama World Meteorological Organization (WMO), ujarnya, akan melakukan survei lokasi dalam waktu dekat, sedangkan stasiun GAW di Papua masih dalam rencana dan baru akan disurvei 2012.

Pengukuran yang akan dilakukan stasiun GAW yakni: pengukuran gas rumah kaca (CO2, CH4, N2O dan SiF6), komposisi kimia air hujan, pengukuran partikulat debu (seperti aerosol), radiasi matahari, serta parameter meteorologi seperti suhu, kelembaban, tekanan udara, arah dan kecepatan angin serta curah hujan..

Salah satu informasi penting yang diperoleh dari berbagai stasiun GAW adalah temuan tentang kecenderungan kenaikan kadar CO2 dari tahun ke tahun yang hasilnya digunakan para ahli sebagai bahan kajian dalam Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), ujarnya.

IPCC menyimpulkan bahwa kenaikan kadar CO2 di atmosfer akan menyebabkan kenaikan suhu permukaan bumi dan akan mengakibatkan pemanasan global yang berdampak pada mencairnya es di kutub, kenaikan permukaan air laut, pergeseran musim, kekeringan, banjir hingga meningkatnya wabah.

"Saat ini konsentrasi karbon di atmosfer sekitar 390 ppm dengan kenaikan rata-rata 2 ppm per tahunnya, sementara ambang batas aman bagi level konsentrasi CO2 dalam atmosfer 350 ppm, ini harus segera diantisipasi," katanya.


Republika