Saatnya Indonesia Unjuk Kekuatan
HINGGA saat ini Indonesia masih tercatat sebagai salah satu dari 15 besar negara pengimpor alat utama sistem persenjataan (alutsista) terbesar di dunia.
Meski demikian, kini Indonesia sudah mulai melakukan ekspor beberapa produk alutsista ke negara tetangga. Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro berulang kali menyatakan komitmennya untuk memprioritaskan penggunaan produksi dalam negeri dalam pengadaan alutsista. Sebab langkah tersebut memiliki peranan yang strategis dalam pembangunan ekonomi bangsa. Dalam pembuatan alutista di dalam negeri, prosesnya dikerjakan tenaga dari Indonesia sehingga otomatis menciptakan lapangan kerja dan memiliki dampak berantai yang luas.
”Misalnya, pembuatan satu Fregat bisa menyerap sekira 2.000 tenaga kerja. Jadi, kalau dua Fregat bisa menyerap dua kali lipat tenaga kerja. Belum lagi dampak ekonomi lainnya,”kata Purnomo.
Purnomo mengungkapkan, Kementerian Pertahanan menganggarkan sekira Rp150 triliun untuk pengadaan serta pemeliharaan dan perawatan alutsista yang sebagian besar diambil dari Rencana Pembangunan Menengah Nasional 2010–2014. Sementara, sisanya sebesar Rp50 triliun diharapkan bisa diperoleh melalui lembaga pembiayaan sebagaimana yang telah diupayakan melalui penandatanganan kredit dengan Bank Negara Indonesia (BNI).
Alutista yang akan dibuat di dalam negeri dengan anggaran Rp150 triliun tersebut meliputi kapal Fregat dan kapal patroli cepat (fast patrol boat). PT PAL Indonesia telah mampu melakukan pembangunan kapal perang jenis perusak kawal rudal (PKR). Sementara, PT Dirgantara Indonesia melakukan kerja sama dalam pembangunan pesawat patroli maritim dengan Turki serta pembuatan prototipe pesawat tempur generasi 4,5 dengan Korea Selatan. Saat ini tidak sedikit produk alutsista industri lokal yang diminati negara tetangga.
Juru Bicara Kemhan Brigadir Jenderal I Wayan Midhio menyatakan, beberapa produk seperti panser produksi PT Pindad yang diminati Nepal dan Malaysia.
Sementara pesawat CN-235 antisubmarine buatan PT Dirgantara Indonesia (DI) juga diminati Brunei Darussalam, Malaysia, dan Mesir. Melihat potensinya, industri pertahanan dalam negeri memang memiliki peluang untuk semakin berkembang. ”Kita sudah mampu memproduksi beberapa jenis produk alutsista yang diakui dan akan dibeli oleh negara lain. Kita memiliki potensi besar menjadi negara pengekspor,” paparnya. Meski demikian, hingga saat ini Indonesia masih tercatat sebagai salah satu dari 15 negara pengimpor alutsista terbesar di dunia pada tahun 2009.
Menurut data the Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI), urutan pertama masih ditempati India dengan total belanja impor alutsista sebesar USD2,11 miliar pada tahun 2009. Kemudian Singapura di urutan ke-2 dengan nilai impor alutsista sebesar USD1,72 miliar, Malaysia di posisi ke-3 dengan nilai impor USD1,49 miliar. Yunani berada di urutan ke-4 dengan angka impor alutsista sebesar USD1,26 miliar, Korea Selatan di urutan ke-5 dengan nilai impor USD1,172 miliar. Urutan ke-6 hingga 15 besar di antaranya, Pakistan (USD1,146 miliar), Algeria (USD942 juta), Amerika Serikat (USD831 juta), Australia (USD757 juta), Turki (USD675 juta), Arab Saudi (USD626 juta), Uni Emirat Arab/UAE (USD604 juta), China (USD595 juta), Norwegia (USD576), dan terakhir di posisi ke-15 Indonesia dengan nilai impor sebesar USD452 juta pada 2009.
Berdasarkan catatan impor alutsista Indonesia yang tercatat di PBB, Indonesia pada 2008 mengimpor satu kapal perang dari Belanda, tiga RM Grad, dan empat roket peluncur dari Republik Ceko, dan sistem persenjataan permukaan kapal dari China. Peralatan persenjataan ini diperhitungkan untuk melengkapi kapal perang yang diimpor dari Belanda. Sedang untuk jenis senjata kecil, Indonesia mengimpor pistol revolver 159 unit untuk jenis Glock Pistols, dan 62 unit untuk jenis STI- 2011 Pistol dari AS, dan 352 unit dari Swiss untuk jenis Sig Sauer P226.
Sementara, kebutuhan alutsista sesuai Renstra 2010–2015 yang dipesan di industri pertahanan, di antaranya untuk TNI Angkatan Darat (AD) adalah pengadaan persenjataan infanteri, meriam artileri medan (armed) 114 pucuk, rudal mistral 156 pucuk, kendaraan tempur 311 buah, pesawat udara 132 unit, amunisi, dan alat perhubungan 2.451 set.
Kemudian, kebutuhan TNI Angkatan Laut (AL) adalah kapal patroli kecil dan patroli cepat, kapal cepat rudal, kapal tanker, kapal bantu angkut pasukan, kapal bantu angkut tank, kapal angkut serbaguna, dan pesawat udara patroli maritim.
Sedangkan TNI Angkatan Udara (AU), diantaranya pesawat angkut CN 235, helikopter (NAS 332), dan senapan serbu. Lembaga kepolisian membutuhkan 150 armored water canon,150 armored personal carrier,100.000 revolver,dan 100.000 senjata api untuk Sabhara.(abdul malik/islahuddin)
• SINDO
Kapal LPD Banjarmasin produksi PT PAL (Foto Kaskus Militer)
Alutsista Loyo, Negara Bubrah
KEHEBATAN negara adidaya Amerika Serikat, selain didukung kekuatan ekonomi, selama bertahun- tahun pasca-Perang Dunia II, didukung pula kemampuan alutsista militernya.
Karena itu, kondisi alutsista sangat berpengaruh terhadap pertahanan suatu negara. Untuk melindungi wilayah suatu negara, diperlukan sistem persenjataan yang memadai untuk mencakup seluruh wilayah negara tersebut. Alutsista bahkan bisa berpengaruh terhadap kedudukan suatu negara dalam politik internasional. Lalu, jika menelisik proses pengadaan dan pemeliharaan alutsista di Indonesia, terdapat beberapa masalah kompleks dan berlarut– larut, mulai dari masalah dana yang tersedia sampai dengan sistem pengadaan yang bermasalah.
Berdasarkan Peraturan Presiden RI Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM) Tahun 2010–2014, terurai berbagai permasalahan di bidang pertahanan. Untuk postur pertahanan misalnya, keterbatasan keuangan negara dan skala prioritas pembangunan berdampak pada masih rendahnya anggaran pertahanan. Pelaksanaan berbagai program prioritas nasional seperti subsidi bahan bakar minyak (BBM), penanggulangan kemiskinan, peningkatan kesehatan masyarakat, dan pemenuhan anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN, mengakibatkan alokasi anggaran pertahanan tidak beranjak dari 1% pendapatan domestik bruto (PDB).
Pada awal RPJMN 2004–2009 alokasi anggaran pertahanan sebesar 1,1% PDB tetapi dalam pelaksanaannya justru menunjukkan penurunan. Dalam tiga tahun terakhir belanja pertahanan berturut-turut sebesar 0,92% PDB (2007), 0,70% PDB (2008), dan 0,63% PDB (2009). Kondisi tersebut secara signifikan berpengaruh pada kemampuan pertahanan terutama dihadapkan pada berbagai ancaman dan gangguan kedaulatan Indonesia, di samping akan memperlemah kemampuan alutsista yang ada, rendahnya anggaran pertahanan juga berpengaruh pada kemampuan mengganti alutsista yang habis usia pakai dan kemampuan mengikuti teknologi pertahanan.
Sebagian besar alutsista TNI berusia lebih dari 20 tahun dan sebagian darinya memiliki sisa usia pakai antara 7–15 tahun. Secara umum, tingkat kesiapan kekuatan matra darat sampai akhir 2008 rata-rata mencapai 68,85%, yang meliputi 1.299 unit berbagai jenis kendaraan tempur (ranpur) dengan tingkat kesiapan 63,74 %. Kemudian 537.178 pucuk senjata infanteri berbagai jenis dengan tingkat kesiapan 71,94%, dan 1.281 pucuk senjata artileri berbagai jenis dengan tingkat kesiapan 77,75%. Lalu, dari 59.842 unit kendaraan bermotor (ranmor) berbagai jenis dengan tingkat kesiapan 87,17%, 62 unit pesawat terbang berbagai jenis dengan tingkat kesiapan 59,68%. Tingkat kesiapan kekuatan matra laut rata-rata mencapai 46,27%, yang meliputi 144 unit kapal perang (KRI) dengan tingkat kesiapan 16,67%.
Kemudian 318 unit Kapal Angkatan Laut (KAL) dengan tingkat kesiapan 52,44%, 412 unit kendaraan tempur marinir berbagai jenis dengan tingkat kesiapan 41,02%, dan 62 unit pesawat terbang dengan tingkat kesiapan 31%. Adapun kekuatan alutsista TNI AU yang bertumpu pada pesawat tempur, pesawat angkut, helikopter, dan pesawat jenis lainnya, serta peralatan radar dan rudal kesiapan rata-rata saat ini mencapai 78,93%, yang meliputi 233 unit pesawat terbang dari berbagai jenis dengan tingkat kesiapan 55,79%, 18 unit peralatan radar dengan tingkat kesiapan 77,78%, dan 26 set rudal jarak pendek dengan tingkat kesiapan 100%.
Dengan kondisi tersebut, jelas postur dan struktur pertahanan Indonesia saat ini tidak sebanding dengan luas dan karakteristik wilayah yurisdiksi nasional, jumlah, dan sebaran penduduk, serta ancaman dan gangguan keamanan nasional. Apalagi, dalam lima tahun mendatang pertahanan negara diperkirakan akan menghadapi ancaman dan kerawanan yang lebih intens dan lebih tinggi sebagai akibat instabilitas kawasan; perebutan penguasaan dan pemanfaatan secara ilegal sumber daya alam dan sumber daya energi; serta peningkatan kapasitas non-state actor, baik dari sisi sumber daya manusia, teknologi, dan permodalan.
Karena itu, peningkatan ancaman dan kerawanan ini, apabila tidak diimbangi dengan pengembangan postur dan struktur pertahanan, akan menyebabkan kesenjangan postur dan struktur pertahanan yang lebih memprihatinkan daripada kesenjangan pada saat ini. Kesenjangan postur dan struktur ini merupakan risiko bagi pertahanan
negara yang diperkirakan masih akan menghadapi berbagai ancaman seperti insurgency, pelanggaran wilayah perbatasan darat, gangguan keamanan di laut dan pelanggaran wilayah yurisdiksi laut, pemanfaatan ruang udara nasional secara ilegal, dan upaya-upaya penguasaan wilayah Indonesia oleh negara lain.
Tetapi, upaya pengembangan postur dan struktur pertahanan sangat terkait dengan kondisi keuangan negara. Dengan kondisi keuangan negara yang terbatas, kekuatan pertahanan yang memungkinkan untuk dibangun dalam lima tahun mendatang adalah minimum essential force. Kendati begitu, upaya mewujudkan minimum essential force dalam lima tahun mendatang, dengan berpijak pada postur dan
struktur pertahanan saat ini, jelas tidak mudah. Apalagi, jumlah alutsista TNI relatif masih kurang dan dengan tingkat kesiapan alutsista yang belum maksimal. Ditambah lagi, sebagian besar alutsista TNI mengalami penurunan efek penggentar dan bahkan penurunan daya tembak yang sangat drastis akibat usia teknis yang tua dan ketertinggalan teknologi.
Karena itu, Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro mengatakan, kementeriannya menganggarkan sekitar Rp150 triliun untuk pengadaan serta pemeliharaan dan perawatan alutsista yang sebagian besar diambil dari Rencana Pembangunan Menengah Nasional 2010–2014. ”Dari jumlah tersebut, sebesar Rp100 triliun diambil dari RPJMN 2010–2014,” kata Purnomo. Lalu, sisanya sebesar Rp50 triliun diharapkan bisa diperoleh oleh kementriannya apabila ekonomi Indonesia ke depan tumbuh dengan baik. Dana Rp50 triliun masih belum bisa terakomodasi tetapi
kekurangan itu akan terus diperjuangkan. Alutsista yang akan dibuat di dalam negeri dari anggaran Rp150 triliun tersebut meliputi kapal Fregat dan kapal patroli cepat (fast patrol boat).
Untuk kebutuhan di perairan Indonesia Barat, TNI AL tidak mengembangkan kapal ukuran besar sehingga bisa dibuat di dalam negeri dilengkapi persenjataan modern seperti rudal. ”Kalau yang untuk Indonesia timur memang kapalnya besar-besar. Seperti Fregat itu, kita bangun di Surabaya. Mudah-mudahan akhir tahun kita bisa mendeklarasikan untuk membangun kapal selam di Indonesia juga di PT PAL,” tukas Purnomo.
Menteri Keuangan Agus Martowardjojo usai rapat tentang alutsista di Kantor Wakil Presiden Boediono Juni lalu mengatakan, kekurangan anggaran alutsista itu dihitung berdasarkan rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) yang dibandingkan dengan kebutuhan dari Kemenhan. Namun, jumlah Rp50 triliun tersebut menurutnya bukan sesuatu yang besar.
”Mungkin sekira Rp50 triliunan dalam lima tahun, dan itu bukan sesuatu yang besar. Tetapi, kita harus punya rencana APBN yang baik. Kita tidak bisa mengeluarkan suatu investasi kementerian tetapi tidak diimbangi penerimaan yang berkesinambungan dan sehat,” ujarnya.
Masalah pendanaan alutsista yang selama ini dituding sebagai faktor utama, boleh jadi mulai ditemukan solusinya.
Setidaknya hal ini bisa dilihat dari langkah PT Bank Negara Indonesia (BNI) yang memberikan modal kepada negara untuk pengadaan alutsista bagi TNI dan Polri sebesar Rp600 miliar. Pemberian modal ini dalam bentuk fasilitas kredit yang tertuang dalam sebuah perjanjian kredit induk dengan jangka waktu delapan tahun.(abdul malik/yani a)
• SINDO
CN 235 MPA produksi PT DI (Foto airlines.net)
Siapa Bilang Indonesia Tak Bisa?
TIDAK diragukan, jika industri pertahanan dalam negeri bisa bangkit dan mencapai kemandirian, akan banyak manfaat yang didapat. Indonesia tidak hanya mendapatkan pengakuan atas kekuatan pertahanan dalam konteks hubungan internasional.
Secara ekonomi, Indonesia akan mampu menumbuhkan industri di dalam negeri. Dengan memproduksi sendiri alutsista, biaya yang dikeluarkan jauh lebih efisien ketimbang membeli. Indonesia tidak akan lagi tergantung dengan pasokan suku cadang alutsista dari negara produsen dan tidak perlu menghabiskan banyak devisa untuk mengimpor alutsista dan suku cadangnya. Apalagi pengalaman yang selama ini terjadi, negara produsen alutsista sering memberlakukan sistem yang merepotkan negara-negara pembeli. Terlebih, jika negara pembeli terkena embargo. Karena itu, memiliki industri pertahanan sendiri akan berdampak pada pemenuhan sistem pertahanan yang lebih efisien dan efektif. Dalam hal daya saing di bidang pertahanan, banyak pihak prihatin.
Maklum alutsista Indonesia dapat dikata lebih uzur dibanding milik negara tetangga, seperti Malaysia. Geografis Indonesia yang merupakan negara kepulauan, sudah selayaknya mendapat dukungan alutsista yang mumpuni. Tetapi apa lacur, selama ini pemenuhan postur pertahanan dengan sistem alutsista yang memadai masih jauh dari harapan. Ibaratnya, asap jauh dari api. Masalah pendanaan disebut-sebut sebagai faktor utama pemenuhan alutsista Indonesia tertinggal dibanding negara lain.
Pengamat militer Universitas Indonesia (UI) Andi Widjajanto menegaskan, Indonesia sebenarnya memiliki potensi besar untuk bisa menjadi salah satu negara produsen industri pertahanan paling utama di dunia.
Selain karena pasarnya sudah besar, potensi bangkitnya industri pertahanan lokal sebenarnya sudah tampak jauh-jauh hari. Hanya, terpaan krisis tahun 1998 mengharuskan industri pertahanan dalam negeri yang sedang dirintis langsung kolaps. ”Penelitian dari Inggris menyatakan bahwa Indonesia merupakan satu dari tujuh negara besar di dunia yang diprediksi bakal menguasai industri pertahanan dunia,” ujarnya. Prediksi ini menurut Andi, sebagaimana diestimasikan oleh pakar pertahanan kesohor Richard A Bitzinger, ada tujuh negara yang bakal menguasai industri pertahanan di masa mendatang.
Ketujuh negara itu adalah Amerika Serikat (AS), Rusia, China, Eropa Barat, Brasil, India, dan Indonesia. Selain itu, ketujuh negara tersebut yang diperkirakan akan memiliki pertahanan yang terkuat di antara negara-negara di dunia. ”Artinya, kita sebenarnya memiliki kemampuan tidak hanya untuk mandiri dalam bidang pertahanan namun juga disejajarkan dengan negara-negara lain yang memiliki pertahanan terkuat di dunia,” paparnya. Mencontoh keberhasilan Brasil dan India, yang kini industri pertahanannya mulai maju, Andi mengatakan, kuncinya ternyata terletak pada transfer dan alih teknologi. Sehingga, teknologi pertahanan tidak melulu hanya dikuasai AS dan Rusia yang memang sudah mapan dalam bidang pertahanan.
Beragam strategi alih teknologi bisa dilakukan, apalagi mengingat angka impor alutsista Indonesia tidak sedikit sehingga bisa bernegosiasi dengan negara produsen untuk melakukan produksi bersama. ”Seperti Indonesia yang ingin membeli pesawat tempur dari Brasil sebanyak 172 unit, itu bisa minta diproduksi bersama dan dilakukan di Indonesia. Demikian juga dengan Korea Selatan. Mereka pasti bersedia melakukannya,” ujar Andi.
Pola alih teknologi semacam ini sudah dimulai Kementerian Pertahanan (Kemhan), seperti melalui rencana produksi bersama kapal selam dengan Korea Selatan. Kolaborasi- kolaborasi untuk memproduksi alutsista inilah yang akan menjadi sarana efektif alih teknologi. ”Bahkan, jika perlu kita harus mencuri teknologi. Dan ini sukses dilakukan PT Pindad yang kini bisa memproduksi panser Anoa, yang awalnya beli panser dari Eropa terus dipretelin dan dipelajari. Jadi, ini namanya rekayasa terbalik,” ungkapnya.
Bagaimanapun harus diakui, masih banyak alutsista bagi pertahanan Indonesia yang harus diadakan.
Di antaranya, alutsista yang memiliki efek gentar tinggi seperti pesawat tempur untuk angkatan udara, kapal selam untuk angkatan laut, serta angkatan darat dengan panser atau tank berteknologi canggih. Juru Bicara Kemhan Brigadir Jenderal I Wayan Midhio menegaskan bahwa pengadaan alutsista tidaklah memiliki tujuan untuk bersaing dengan negara-negara lain, kecuali murni demi urusan kepentingan pertahanan nasional. ”Kita harus mematuhi hukum internasional yakni ikut menjaga perdamaian dunia sehingga kita tidak merasa bersaing dengan alutsista milik negara lain,” ujarnya. Selain itu, kata dia, kebutuhan alutsista juga bertujuan untuk menjaga kedaulatan dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Dengan memproduksi alutsista sendiri, Indonesia akan memiliki daya tangkal yang tinggi. Kemudian, manfaat lain adalah bagaimana untuk mewujudkan kesejahteraan melalui tumbuh kembangnya industri pertahanan. Jika industri pertahanan bisa hidup dan berkembang, tidak hanya akan menyerap tenaga kerja lokal dan meningkatkan skill para ahli di dalam negeri, namun juga meningkatkan kesejahteraan para anggota TNI dan masyarakat umum. Tentu saja, syaratnya tidak hanya industri manufaktur seperti PT Pindad, PT DI, atau industri strategis lain yang digenjot, tetapi juga industri pendukung yang memproduksi bahan baku. Sehingga, seluruh suku cadang dan bahan baku bisa diproduksi sendiri.
Dengan begitu, Indonesia tidak perlu lagi impor untuk produk tersebut. ”Selama ini melakukan pengadaan selalu lebih cenderung ke Eropa, kini tidak lagi mesti demikian. Melalui sinergi semua lembaga kita bisa mewujudkan industri pertahanan yang mandiri,” ungkapnya. Buktinya, hingga saat ini sudah ada beberapa item produk alutsista milik Indonesia yang mulai diminati negara lain. Jika bisa semakin dikembangkan dan dikelola dengan baik, Indonesia akan menjadi salah satu negara produsen alutsista yang diakui dunia.(abdul malik/yani a)
• SINDO
0 comments:
Post a Comment