JAKARTA, KOMPAS.com — Selat Sunda berada di atas zona subduksi lempeng Indo-Australia dan Eurasia serta subduksi miring di barat Sumatera dan subduksi tegak di selatan Jawa. Pelepasan energi dari pergerakan lempeng Indo-Australia ke utara dengan kecepatan 6 cm/tahun bisa menimbulkan gempa yang bisa mengguncang Jakarta dengan kekuatan 8,7 skala Richter (SR).
Berkaitan dengan ancaman gempa tersebut, peneliti Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Danny Hilman Natawijaya, mengatakan, ada beberapa langkah yang perlu dilakukan sebab sampai saat ini masih belum ada banyak data kegempaan di Selat Sunda.
Menurut Danny, salah satu yang perlu dilakukan adalah pemasangan jaringan GPS. "Seperti di Mentawai itu, kan, ada 40 stasiun. Di Selat Sunda jaringan GPS itu juga harus diperbanyak," kata Danny. GPS dipakai untuk mengetahui koordinat wilayah yang diguncang gempa.
Danny mengatakan, pemasangan jaringan seismik dan penelitian geologi untuk memetakan patahan juga perlu dilakukan. Dia mengatakan, saat ini penelitian gempa Selat Sunda masih minim.
"Jika dibandingkan dengan Sumatera, belum ada apa-apanya. Yang terpenting dilakukan adalah keseriusan dalam mendata," katanya.
Sementara itu, sebagai wilayah yang berpotensi diguncang gempa akibat aktivitas seismik di Selat Sunda, Jakarta juga harus mempersiapkan diri. Antisipasi gempa di Jakarta berguna sebab Jakarta memiliki aset dan teknologi yang akan memengaruhi seluruh negara jika rusak akibat gempa.
Bicara tentang gempa besar, tercatat dalam buku Hikayat Jakarta karya Willard A Hanna bahwa pada tahun 1699, Jakarta pernah diguncang gempa besar yang merusak gedung serta mengganggu persediaan dan penyaluran air bersih. Gempa berkekuatan 8 skala Richter juga pernah mengguncang Jakarta pada 7 Februari 1903. Setelah itu, belum ada laporan gempa besar lain yang mengguncang Ibu Kota.
• KOMPAS
0 comments:
Post a Comment