Thursday, 22 September 2011

Kembang Api Bikinan BPPT Bisa Memanggil Hujan

TEMPO Interaktif, Jakarta - Belasan tabung merah terpasang di kiri dan kanan sayap pesawat CASA NC 212-200 yang terbang di atas langit Riau. Begitu pesawat menembus awan kumulus, tabung berdiameter 5 sentimeter dan panjang 30 sentimeter itu terbakar mengeluarkan percikan bak kembang api serta meninggalkan kepulan asap di belakang pesawat.

Kegiatan menyemai awan tersebut merupakan bagian dari ritual memanggil hujan, yang dilakukan oleh Unit Pelaksana Teknis Hujan Buatan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Juni lalu. Asap yang keluar dari tabung menjadi faktor kunci dalam uap air dari udara.

BPPT telah mempelajari teknologi pemanggil hujan ini sejak 1999. Mereka menyebut teknologi ini sebagai penyemaian awan berbasis kembang api (flare).

"Flare
merupakan teknologi tercanggih dalam mempercepat turunnya hujan," ujar Kepala Unit Pelaksana Teknis Hujan Buatan BPPT Samsul Bahri kepada Tempo.

Keahlian Samsul Bahri dan timnya dalam memanggil hujan sangat dibutuhkan pada saat ini. Belum turunnya hujan di beberapa wilayah Indonesia menyebabkan terjadinya kekeringan. Pemantauan Kementerian Pekerjaan Umum menunjukkan tujuh waduk telah kering, sedangkan 20 waduk lain berstatus waspada. Bila kekeringan berlanjut, hujan buatan harus segera dilakukan.

Teknologi berbasis kembang api yang dikembangkan BPPT dapat mendatangkan hujan hanya dalam waktu beberapa menit. Sebelum mengembangkan teknik tersebut, BPPT membuat hujan menggunakan teknologi berbasis powder. Teknik ini dilakukan dengan menaburkan serbuk garam ke dalam awan kumulus. Serbuk garam bisa berupa urea, CaCl2, dan NaCl yang bersifat higroskopis alias mampu menarik uap air dari udara.

Dalam sekali penerbangan, BPPT mengangkut beberapa ton garam ke angkasa. Beratnya beban yang harus dimuat ke dalam pesawat ini menjadi nilai minus teknologi berbasis serbuk.

Dibanding teknik lama, teknologi berbasis kembang api bisa menghemat ruang dan beban pengangkutan. Tabung kembang api seberat 1 kilogram mempunyai kemampuan setara dengan 1 ton garam. Sekali terbang, pesawat bisa membawa 12 tabung atau setara dengan 12 ton garam.

"Sekali terbang tak harus membakar semuanya, biasanya tiga tabung, sesuai kebutuhan," kata Samsul.

Teknologi baru penyemai hujan buatan berbasis kembang api ini telah dipatenkan BPPT pada Agustus 2010. Dengan bantuan PT Pindad, mereka mulai memproduksi 50 tabung flare, yang disebut sebagai versi Nol Seri. Asap flare juga diujikan di Laboratorium Aerosol Badan Tenaga Nuklir Nasional untuk dianalisis sebaran dan ukuran partikelnya.

Sama seperti teknologi konvensional, tabung flare juga diisi bahan penarik uap air bersifat higroskopis. Sifat ini bisa ditemukan pada material garam dan inti es serta pada senyawa CaCl2, NaCl, dan perak iodida (AgI). Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional juga turut meneliti bahan higroskopis ini dengan memperkenalkan senyawa KClO4.

Bahan higroskopis dicampurkan dengan bahan kimia khusus yang mampu menciptakan reaksi eksotermal. Pembakaran ini menghasilkan berbagai produk, seperti panas, cahaya, gas, bunyi, dan asap. Memanfaatkan sifat asap yang ringan sehingga mudah menyebar, asap dianggap sebagai medium penghantar material higroskopis ke seluruh bagian awan paling efektif.

BPPT mendesain tabung kembang api secara khusus agar ikut terbakar. Bahan penyusun tabung dibuat bisa terbakar serentak bersama material higroskopis. Bentuk tabung juga dirancang untuk menyebarkan asap lebih merata.

Meski jauh lebih baik ketimbang teknik berbasis serbuk, teknologi penyemaian berbasis kembang api tetap membutuhkan awan sebagai lahan semai. Bahan higroskopis hanya bekerja sebagai pemercepat terbentuknya awan hujan. Awan medium pembibitan harus berasal dari awan kumulus aktif yang dicirikan dengan bentuknya yang seperti bunga kol.

Jika penyemaian berjalan sesuai dengan rencana, 5-10 menit setelah pembakaran kembang api terjadi pelepasan panas dari uap air. Akibat pelepasan panas ini, uap air mendingin hingga mencapai titik beku. Pada tahap ini, gumpalan awan mulai membentuk es dan awan membesar. Sepuluh menit kemudian, akumulasi air meningkat besar, sehingga awan menjadi semakin besar dan berat serta mulai melepaskan bulir hujan dalam curah lebih tinggi daripada kondisi awal.

Penyemaian awan berbasis kembang api awalnya banyak digunakan oleh perusahaan swasta di Riau dan Papua untuk membanjiri waduk atau lahan. Namun teknologi ini berpotensi dipakai untuk memadamkan kebakaran hutan di banyak wilayah di Indonesia.[ANTON WILLIAM]


TEMPOInteraktif

0 comments:

Post a Comment

 
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...