Wednesday, 30 November 2011

UGM: 96 Persen Bahan Baku Obat adalah Impor

Ini membuat harga obat di tanah air mahal. Padahal Indonesia bisa memproduksi obat sendiri

Ilustrasi obat-obatan

VIVAnews
– Koordinator Riset Bidang Kesehatan dan Obat UGM, Iwan Dwiprahasto, mengungkapkan bahwa 96 persen bahan baku obat di Indonesia masih diimpor dari negara lain. Menurutnya, hal ini menyebabkan pengembangan teknologi kedokteran maupun kesehatan di tanah air tergantung pada produk impor.

Padahal, tutur Iwan, ketergantungan impor bahan baku obat ini jelas-jelas merugikan Indonesia di masa depan. “Kalau kita impor terus, nanti akan mendapat masalah jika negara pengimpor memperketat kebijakan impor,” kata Iwan dalam konferensi pers di Kantor Pascasarjana UGM, Manggarai, Jakarta, Rabu 30 November 2011.

Ironisnya, ujar Iwan, Indonesia menyimpan potensi besar untuk mengembangkan bahan baku obat-obatan. Hanya saja, bahan baku obat dari produk dalam negeri belum dioptimalkan. Contohnya, jelas Iwan, Indonesia sebetulnya mampu memproduksi antibiotik. Namun, industri farmasi di Indonesia terus mengandalkan impor bahan baku obat.

“Sekarang, mau tidak industri farmasi kita beli bahan baku buatan sendiri?” tanya Iwan. “Industri perlu diyakinkan bahwa tidak ada kendala untuk produksi obat. Potensi kita luar biasa. Sayangnya kita terkungkung dalam impor,” sesal Iwan.

Oleh karena itu, lanjutnya, pemerintah perlu segera memulai kemandirian produk obat, dengan menggandeng kalangan akademisi maupun industri farmasi untuk mengembangkan produk dari bahan baku dalam negeri. Bila bahan baku tidak lagi diimpor, maka harga obat pun dapat ditekan.

Inisiatif Perguruan Tinggi

Dalam upaya meyakinkan kemandirian dalam bidang obat dan teknologi kesehatan itulah, UGM mempertemukan kalangan industri farmasi dengan hasil riset dari akademisi. Hasil riset yang dipresentasikan, diharapkan dapat bermanfaat bagi masyarakat.

“Hasil riset ini kami sampaikan ke pemerintah dan industri, agar produk-produknya punya nilai pemanfaatan bagi masyarakat,” ujar Rektor UGM Sudjarwadi usai Forum Riset Industri di Gedung Pascasarjana UGM. Menurutnya, hasil riset tersebut selanjutnya akan diupayakan diproduksi massal, untuk mengganti produk sejenis dari luar negeri.

“Produk kita nanti bisa jadi substitusi produk dari luar,” kata Sudjarwadi. Ia menambahkan, saat ini Indonesia sesungguhnya sudah mampu membuat teknologi kesehatan seperti vaksin, alat bantu pendengaran, maupun biometrik.

Untuk mewujudkan kemandirian dalam bidang obat dan teknologi kesehatan, lanjut Sudjarwadi, pemerintah perlu menyusun aturan yang mampu memberikan jaminan bagi kalangan industri farmasi. “Aturan soal insentif, pajak, maupun perdagangannya,” kata dia.

UGM sendiri selaku perguruan tinggi yang fokus dalam hal kemandirian teknologi kesehatan dan obat, tutur Sudjarwadi, akan mengambangkan riset yang sudah ada untuk pemanfaatan teknologi kesehatan ke depan.

Forum Riset Industri yang digagas UGM ini mempertemukan industri farmasi seperti Kalbe Farma dan Kimia Farma, dengan Kamar Dagang dan Industri (KADIN), Kementerian Kesehatan, dan Kementerian Perdagangan. Forum ini sudah berjalan selama tiga tahun. (eh)



VIVAnews

0 comments:

Post a Comment

 
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...