Sunday, 13 May 2012

Menimbang Kembali Bahan Bakar Nabati

TEMPO.CO , Jakarta - Pusat Penelitian Kimia Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sedang mengkaji bioetanol dari tanaman nonpangan di Indonesia untuk penerapan di industri.

Peneliti dari Pusat Penelitian Kimia Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Agus Haryono, mengatakan Brasil sukses mengolah tanaman tebu menjadi bahan bakar etanol sejak era 2000-an. Etanol tebu berbuah manis karena kini transportasi Brasil menggunakan bahan bakar ramah lingkungan ini.

"Etanol dipromosikan besar-besaran, sehingga sukses menggantikan BBM (bahan bakar minyak)," kata Agus kepada Tempo, Senin 7 Mei 2012.

Satu dekade sejak Brasil memakai bioetanol, LIPI mendapat bantuan sebesar US$ 3 juta dalam kurun waktu 3 tahun untuk membangun laboratorium penelitian bioetanol. Bahan baku yang dipakai murni limbah tanaman, dan banyak ditemukan di Indonesia. Tandan kosong kelapa sawit, pelepah pisang, batang sorgum, dan ampas tebu, misalnya, semua bisa diolah menjadi bioetanol.

Bioetanol dipercaya akan meningkatkan ketahanan energi. Sumber daya ini bisa diproduksi di Indonesia. Bahkan, kata Agus, enzim pengurai glukosa dari serat tanaman bisa didapatkan dari bakteri khas Indonesia.

Bahan bakar etanol juga lebih ramah lingkungan. LIPI menemukan bahan ini memiliki kandungan oksigen sekitar 35 persen. Pada kadar setinggi ini pembakaran yang dihasilkan akan sangat bersih. Emisi karbon monoksida yang dihasilkan pun lebih rendah 19-25 persen ketimbang BBM, sehingga pemakaiannya akan mengurangi polusi.

Demikian pula dengan angka oktan etanol sebesar 129 atau lebih tinggi ketimbang Premium (oktan 88) dan Pertamax (oktan 92). Dengan oktan tinggi, LIPI memastikan pembakaran etanol lebih stabil.

Pilot plant di Serpong sejauh ini mampu menghasilkan bioetanol berkadar 99,5 persen. Angka ini, kata Agus, sama persis dengan kebutuhan minimal untuk mesin kendaraan. Enggan berhenti di situ, LIPI berharap bisa meluncurkan bioetanol berkadar 99,9 persen pada 2014 nanti.

Deputi Energi dan Teknologi Material Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Unggul Priyanto menilai Indonesia sangat mungkin menyusul Brasil dalam pemakaian bioetanol sebagai bahan bakar kendaraan umum. Dalam program pembatasan konsumsi BBM bersubsidi, pemerintah bisa saja mencampurkan etanol dengan Premium dan menjadikannya sebagai alternatif bahan bakar. Dalam skenario ini, kata dia, pemilik kendaraan diberi kuota harian pembelian Premium. Jika kuota tercapai, pengendara bisa membeli campuran etanol dan Premium ini (disebut BioPremium).

"Jadi pemakai Premium tak harus loncat memakai Pertamax ketika kuota harian habis. Ini strategi yang efektif," kata Unggul.

LIPI berencana menguji kemampuan bahan bakar campuran ini. Menurut rencana, sampel bioetanol akan diserahkan kepada Pusat Penelitian Tenaga Listrik dan Mekatronik LIPI untuk dicobakan ke mesin pembakaran internal.

Sejauh ini Agus sudah mencobakan etanol murni sebagai bahan bakar generator listrik. "Hasilnya memuaskan, sangat mungkin dipakai," kata dia.

Meski potensi etanol sudah tampak di depan mata, masih ada aral yang melintang. Permasalahan tersebut muncul dari sisi pajak. Menurut Agus, fiskal Indonesia belum mengenal bioetanol sebagai bahan bakar.

"Bioetanol digolongkan sebagai miras (minuman keras)," ujarnya.

Kategori miras ini jelas merugikan investor. Soalnya, pajak miras lebih tinggi ketimbang pajak bahan bakar. "Pajaknya bisa beberapa kali lipat," katanya.

PT Pertamina dan PT Perkebunan Nusantara kembali mempertimbangkan teknologi bioetanol untuk diproduksi massal. LIPI sendiri berharap pemerintah bisa membuka mata mengenai potensi bahan bakar bersih terbarukan ini. Jika industri dan regulasi sejalan, kata dia, bukan tak mungkin kendaraan bioetanol beredar berseliweran di seluruh Indonesia dalam waktu beberapa tahun mendatang[ANTON WILLIAM]


0 comments:

Post a Comment

 
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...