Sejak awal kemerdekaan hingga 1977,Skadron 2 di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta menggunakan pesawat C-47 Skytrain Dakota. Pesawat ini merupakan pesawat angkut militer taktis,pengembangan dari pesawat angkut sipil Douglas DC-3 yang terkenal itu.
Begitu suksesnya desain dari pesawat ini, pabriknya telah membuat tidak kurang dari 10.000 pesawat yang tersebar ke seantero jagat ini. Pada 1977 pesawat Dakota diganti secara bertahap dengan pesawat Fokker F-27, dan tidak lama setelah itu secara berangsur pula diganti dengan pesawat buatan PTDI dan Spanyol,CN-235. Skadron 2 adalah sebuah skadron angkut militer taktis pertama yang menjalankan tugas terbang ke hampir seluruh pelosok Indonesia, mulai dari Sabang hingga Merauke.
Dulu Skadron 2 merupakan unsur angkut militer taktis yang berada di bawah Komando Paduan Tempur Angkatan Udara (Kopatdara) yangkinitelahberubah menjadi Koopsau 1.Skadron ini melaksanakan tugas atau misi penerbangan angkut militer mencakup tugas-tugas transportasi personel dan logistik berjadwal. Di samping itu juga melakukan tugas penerjunan pasukan tempur statik dan terjun bebas, misi pengintaian, dan pemotretan udara.
Sebagai alat utama sistem senjata bidang light/medium military transport jarak pendek, skadron ini berperan sebagai tempat menggodok para penerbang angkut lulusan sekolah penerbang sebelum mereka akan bertugas ke Skadron VIP dan ke Skadron Angkut Linud Berat C-130 Hercules. Skadron 2 memang sebuah skadron awal bagi pembinaan military transport pilot dalam konteks menuju “combat readiness” dari primary unit unsur angkut militer Angkatan Udara.
Dakota, F-27, dan CN-235 adalah pesawat yang sangat tepat untuk mengantar keterampilan penerbang transportasi militer selepas mereka menyelesaikan sekolah terbang dasar. Lompatan dari pesawat latih di sekolah penerbang ke pesawat operasional menjadi jenjang yang sangat ideal bagi pembinaan military transport pilot di Skadron 2 ini. Jenjang, sebelum mereka menerbangkan pesawat yang lebih besar, lebih modern dan lebih canggih dari aspek operasi militernya.
Jahit dan Obras?
Kini tersiar kabar tentang akan digantikannya pesawat F- 27 dengan pesawat terbang EADS CASA C-295 buatan Airbus Military, Spanyol.Konon, upaya ini dilakukan dalam rangka membangun kembali kemampuan dari PTDI yang sudah cukup lama telantar alias membeku. C-295 buatan Spanyol ini pertama kali terbang pada November 1997 dan baru dapat diperkenalkan ke pasar dunia pada 2001.
Pengguna pertama tentu saja Angkatan Udara Spanyol, kemudian Brasil, Polandia, dan Portugis. Secara keseluruhan, pesawat ini baru dibuat sebanyak 86 buah.Walaupun pesawat C-295 merupakan pengembangan dari pesawat CN-235, PTDI sama sekali tidak terlibat dalam proses pembuatannya sejak awal. Sangat berbeda dengan proses pembuatan CN-235 yang IPTN waktu itu sudah duduk dan bekerja sejak proses desain awalnya.
Belakangan ini sudah mulai menjadi rancu karena beberapa waktu lalu tiba-tiba muncul pesawat terbang dengan tulisan NC-295, tidak lama kemudian muncul lagi pesawat yang sama dengan tulisan besar berujud sebagai CN- 295. Nah,mengenai hal ini, mari kita coba membuat persoalan menjadi jernih dan tidak membingungkan. Konon, dahulu ada sebuah nomenklatur yang dianut oleh pabrik pesawat terbang IPTN yang kini bernama PTDI itu.
Patokannya, bila menggunakan nama NC-XXX, ini berarti bahwa pesawat tersebut adalah keluaran PTDI yang bukan didesain PTDI, tetapi hanya “dijahit” dan “diobras” oleh PTDI. Contohnya pesawat NC-212 yang diproduksi pada 1970-an, berikutnya CN-XXX.Ini berarti bahwa pesawat itu keluaran IPTN/ PTDI yang didesain, dites, dan diproduksi oleh Indonesia (Nurtanio) dan Spanyol (Casa) contohnya CN-235.
Selanjutnya pesawat dengan kode NXXX adalah pesawat yang di desain, dites, dan diproduksi oleh PTDI contohnya “almarhum” N-250 dan ren-cana regional jetN-2130. Bila kita melihat dalam buku Jane’s all the World Aircraft—salah satu referensi kredibel dari daftar produksi pesawat terbang dunia, kita tidak akan pernah menemukan di dalamnya mengenai pesawat CN-295 dan atau NC-295.
Masalahnya sederhana, yaitu memang kedua pesawat terbang tersebut sebenarnya tidak pernah ada. Yang ada adalah C-295, sebuah pesawat produksi “murni”Spanyol. Jadi nanti bila kita bekerja sama dengan Airbus Military untuk memproduksi pesawat C-295, sebenarnya kita kembali ke tahun 1970-an, yaitu dalam proses memproduksi NC-212. Sesuai nomenklatur, sebutannya tidak bisa lain, selain NC-295.
Kita menjadi agak sulit untuk memaksakan pesawat tersebut menjadi CN- 295 karena memang kita tidak memiliki bagian dari hak ciptanya. Sama sekali tidak ada keterlibatan kita dari sejak desain awal dan proses produksi lanjutannya. Kita tidak bisa menghindar dari status yang hanya akan melakukan kegiatan “jahit” dan “obras”belaka.
Pilihan
Apa pun yang terjadi,upaya ini pun patut dihargai sebagai perhatian yang cukup serius terhadap “pembangunan kembali” industri pertahanan strategis ini.Konon,bila kita sudah sukses “menjahit”dan “obras” sebanyak lebih kurang 10 pesawat sekaligus “membelinya”, kita akan diberikan kepercayaan sebagai pabrik tunggal penghasil “C-295” untuk kawasan Asia-Pasifik.
Sayangnya, untuk bisa menghasilkan pesawat C-295 itu, kita harus mengimpor terlebih dahulu peralatan- peralatan canggih pembuat C-295 serta sumber daya manusia (SDM) ahli yang harus mendampingi terlebih dahulu dari Spanyol ke Indonesia. Ini semua “cost” yang tidak sedikit, untuk menghindar menggunakan istilah “sangat mahal” dan yang paling menyedihkan adalah produk tersebut belum tentu “laku” dijual.
Ini mengacu pada realita bahwa sampai detik ini tidak ada satu pun negara di Asia- Pasifik yang telah dan akan membeli C-295. Dengan memproduksi (“jahit” dan “obras” saja) C-295, langkah ini akan membunuh PTDI dalam membuat sendiri CN-235 yang sudah terbukti kemampuannya. Pertanyaan yang kemudian muncul,mengapa kita tidak memilih memproduksi kembali CN-235 saja?
Bicara tentang kemampuan, bukanlah masalah yang perlu dipertanyakan lagi, demikian pula dengan SDM berpengalaman dan peralatan yang memang sudah terpasang diBandung.Fakta berbicara,pesawat jenis ini sudah digunakan oleh kita sendiri dan banyak negara lain di sekitar kawasan sendiri seperti Malaysia,Korea Selatan,Filipina,Thailand,Uni Emirat Arab, Pakistan, Kamboja, Brunei, dan lain-lain.
Ke depan negara-negara tersebut tidak mustahil berniat untuk menambah armadanya, minimal masih akan memerlukan komponen dan spare parts dari CN-235. Dengan memproduksi lebih banyak lagi CN-235, tidak bisa dihindari kualitas dan keterampilan PTDI sebagai manufaktur akanberkembangdenganpesat. Beriringan dengan itu, lompatan para teknisi dan terutama para military transport pilot, pemula atau freshman pilot dari sekolah penerbang ke jenjang military operational mission menuju “combat readiness” dengan CN-235 ke jenjang yang lebih tinggi lagi akan dapat dipertahankan dalam pola yang standar.
Tidak terganggu dengan kelas C-295 yang serbatanggung dalam jajaran gugus angkut udara militer di Angkatan Udara Republik Indonesia.CN- 295 tidak masuk kelas angkut ringan, tetapi belum dapat mengemban misi lintas udara angkut berat seperti yang sekarang diperankan oleh Hercules. Apabila C-295 yang merupakan produk dari Airbus Military itu jadi dikerjakan di Bandung, dikhawatirkan akan beredar selorohan baru bagi PTDI, yaitu akan berubah nama menjadi PDAM alias Perwakilan Dagang Airbus Military.
Namun, semua itu pilihan. Tetapi seyogianya pilihan yang paling ideal adalah pilihan yang mengacu pada “our national interest”, pilihan kepada apa yang kita inginkan, kita miliki, dan apa yang kita mampu.Theodore Roosevelt mengatakan: ”Do what you can,with what you have,where you are.“ ● CHAPPY HAKIM Pencinta Penerbangan
Sumber : Seputar Indonesia
0 comments:
Post a Comment