N250 IPTN |
Tulisan saya tentang C-295 ternyata juga mengundang perhatian banyak orang termasuk beberapa kelompok elit. Mantan Duta Besar RI untuk Jepang , telah pula mengirim tanggapan beliau via email. Perhatian begitu besar yang ditunjukkannya, telah membuat saya menuliskan jawaban khusus kepada beliau. Berikut ini jawaban lengkap saya kepada Bapak Mantan Dubes yang saya hormati itu.
Exellency Ambassador,
Terimakasih atas perhatian yang begitu besar dari Bapak.
Bagi saya , bila sudah “go to details” maka debat bisa berkepanjangan dan akan go to nowhere !
Sebenarnya, masalah yang saya ingin angkat adalah sebuah konsistensi menuju efisiensi yang akan dapat memberikan manfaat besar bagi negeri ini, dari keberadaan pabrik pesawat terbang nasional, sekaligus juga dalam kerangka menjaga “harga diri” sang Ibu Pertiwi.
Salah satu contoh saja adalah kekecewaan saya terhadap IPTNurtanio/IPTNusantara /PTDI atau entah apa namanya lagi nanti, yang tidak fokus dalam atau terhadap produk nya sendiri. Apa sebenarnya yang harus jadi produk berupa “menu-unggulan” dan mana yang hanya akan menjadi produk yang berupa “side-dish”. Ini bisa diikuti dengan mudah saat awal pabrik ini mulai memproduksi NC-212, kemudian CN-235, kemudian N-250 dan kemudian lagi (belum kesampaian) N-2130.
Ini kutipan kekecewaan salah satu dari otak perancang CN-235 :
{Ketika saya selesai tugas dalam pengembangan pesawat cn235 sebagai partner casa spanyol saya mimpi program cn235 dilanjutkan dengan program further development (Antara lain mengoptimalisir aerodinamika dan struktur untuk meningkatkan mtow and range) Namun program n250 was launched….and the rest is history !}
Sekali lagi disini jelas sekali tidak terlihat fokus nya kemana.
Saya tidak menyalahkan PTDI atau TNI AU atau mungkin juga Civil Aviation (MNA) yang sebenarnya sudah mulai bergairah dalam memproduksi dan menggunakan CN-235 beberapa waktu lalu. Dampak besar, secara tidak langsung dari AU dan MNA menggunakan CN-235 pada waktu itu adalah tumbuhnya minat banyak negara lain untuk juga menggunakan CN-235 tersebut. (tidak pernah terjadi ada produk pesawat terbang yang laku dijual ke LN sebelum negara pembuatnya sendiri menggunakan dalam jumlah yang besar). Disamping itu dengan bertambah banyaknya produk CN-235 yang dihasilkan, maka otomatis proses penyempurnaan produk unggulan tersebut akan bergulir menuju apa yang sering disebut dalam pasar pesawat militer sebagai produk yang “war-proven”, sehingga banyak diminati/laku dijual. Barulah setelah itu, kita bisa berkata bahwa menggunakan produk sendiri menjadi lebih murah dan juga lebih mudah. Selama belum “laku” dengan jumlah tertentu, maka menggunakan produk dalam negeri pasti akan lebih mahal dan lebih sulit. Itu sebabnya maka kita akan bicara mengenai “subsidi” dan lebih penting lagi mengenai kebijakan strategik, yang cantolannya adalah “Our National Interest”.
Tidak ada satupun industri pesawat terbang dimuka bumi ini yang dalam tahap awalnya yang tidak disubsidi dan tidak di “arah” kan oleh pemerintahnya. Mungkin ini adalah urusannya DEPANRI yang dulu didirikan oleh Bung Karno. Dewan Penerbangan dan Antariksa Nasional yang merumuskan kebijakan ditingkat strategik tentang penerbangan dan antariksa. Pimpinan Depanri adalah Presiden RI, kini sudah tidak terdengar lagi aktifitasnya dan bahkan konon kabarnya akan dibubarkan.
Kembali ke pokok persoalan, saya memandang kita akan jauh lebih baik bila melanjutkan saja dalam proses pengembangan CN235 karena didalamnya(walau tidak semua) dari sejak awal itu memang original karya anak bangsa. Jauh berbeda dengan C295.
Disisi lain pesawat tersebut CN235 juga sangat layak dikembangkan di Civil Aviation.(pasar dalam negeri akan terdiri dari tidak hanya penggunaan bagi kebutuhan militer, akan tetapi juga dalam angkutan udara niaga)
Once again Pak , memang semuanya masih bisa diperdebatkan.
Terakhir, bagi saya pribadi kelemahan saya terbesar adalah saya selalu akan menjadi lebih bangga terhadap apapun yang dapat dihasilkan sebagai produk atau karya bangsa sendiri, walau untuk itu, tentu saja kita masih harus membanting tulang lebih keras dan bersaing mati-matian, dibanding mengerjakan saja buatan orang lain (karena lebih mudah), yang kemudian membuat kita tidak jelas mau pergi kemana dan sulit untuk bisa berdiri tegak?
With Full Respect Pak,
Chappy Hakim
Jakarta 21 Juli 2012
Sumber : Chappy Hakim
0 comments:
Post a Comment