Wednesday, 9 February 2011

Penggunaan Media Online Belum Optimal di Asia Tenggara

Sejumlah demonstran anti pemerintah berbicara dekat grafiti "facebook" di Tahrir Square, Kairo, Mesir (5/2). Sejuta demonstran berkumpul di Tahrir Square menuntut presiden Husni Mubarak mundur. REUTERS/Steve Crisp

TEMPO Interaktif, Jakarta -Jika Facebook dan Twitter mampu menggerakkan massa di Indonesia dan Mesir, belum tentu berlaku di beberapa negara Asia Tenggara.

Menurut Alex Au Waipang, pengamat web politik sosial, di Singapura jejaring sosial untuk mengekspresikan kebebasan berpendapat masih kurang.

“Kebanyakan isinya paling soal keju terbaru yang paling enak atau apa yang sedang tren," ujar Alex, dalam acara diskusi dan workshop tentang Kebebasan Berekspresi di Hotel Santika, Jakarta, Rabu (9/2).

Penggunaan blog juga tak terlalu banyak. Hanya ada beberapa blog yang isinya lebih memberi warna, seperti Temasek Review dan The Online Citizen.

Pemerintah Singapura memang mengontrol ketat penggunaan internet. Tujuannya, untuk memonitor pendapat warga dan menjaga kondisi perekonomian.

Tetapi kemudian media yang dikontrol pemerintah juga dipaksa harus lebih responsif terhadap kebutuhan publiknya.

Alex mengatakan di Singapura saat ini tidak ada kebutuhan atau 'kelaparan' berita besar. Tidak ada frustasi besar terhadap kondisi sosial politik.

Berbeda dengan di Singapura, penggunaan Facebook dan Twitter di Indoensia diakui cukup ampuh sebagai media baru.

Ketua AJI Indonesia Nezar Patria menjabarkan beberapa kasus dari dorongan jejaring sosial itu.

Dia mencontohkan kasus Prita, yang kemudian berhasil diadvokasi dengan gerakan Facebook dan Koin untuk Prita.

Ada pula kasus Cicak Buaya yang melampaui satu juta pendukung dan Indonesia Unite untuk mendukung Indonesia melawan serangan terorisme.

Selain pemakaian jejaring sosial, platform media di Indonesia juga berkembang ke media online.

Sebagai media baru, media online masih mengacu pada platform media cetak. “Tentu butuh kode etik dan aturan yang lebih spesifik," ujar Nezar.

Dia juga mengatakan masih ada beberapa ketentuan yang mengatur kebebasan berekspresi, penggunaan media baru seperti UU ITE, KUHP, dan beberapa rancangan undang-undang lain.

Sedangkan di Thailand, penggunaan media baru, internet masih butuh reformasi. Wakil Ketua Advokasi Media dan Kampanye Reformasi Media Populer Thailand, Supinya Klangnarong, mengatakan beberapa waktu lalu masyarakat sulit untuk mengekspresikan pendapat.

Masyarakat pun mengalami intimidasi, terutama untuk membicarakan keluarga kerajaan. Namun kini sudah mulai longgar.

Dia juga mengatakan di Thailand media online dianggap sebagai media baru yang dinilai merusak pemerintah. "Jadi musuh negara," ujar Supinya.

Menurut Supinya, Thailand saat ini masih di persimpangan dan masyarakatnya secara idelogis masih terpolarisasi.

Oleh karena itu, pemerintah Thailand harus memutuskan ketentuan untuk penggunaan dan media baru.

Thailand bisa meniru pemerintah Cina atau Indonesia dan media barat. "Sekarang ini peluang untuk transformasi,” ujarnya.[DIAN YULIASTUTI]


TEMPOInteraktif

0 comments:

Post a Comment

 
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...