Thursday, 6 October 2011

IAEA: Negara Berkembang Butuh Nuklir

TEMPO Interaktif, Jakarta - Krisis energi membuat negara-negara berkembang sulit menghindari pembangunan pembangkit tenaga nuklir. Hingga dua dekade mendatang semakin banyak negara yang membangun reaktor nuklir.

Direktur Jenderal Agensi Energi Atom Internasional (IAEA) Yukiya Amano menyebutkan hingga tahun 2030 akan dibangun setidaknya 90 pembangkit tenaga nuklir baru di dunia. Namun besarnya minat terhadap energi nuklir membuat pembangunan terealisasi bisa mencapai 350 reaktor.

"Pertumbuhan jumlah reaktor ini meningkat lebih pesat dibandingkan prediksi sebelumnya," ujar Amano saat mengisi kuliah umum di Gedung Kementerian Riset dan Teknologi, Jakarta, Kamis, 6 Oktober 2011.

Fakta ini membuktikan dunia tak terpengaruh oleh tragedi kebocoran reaktor Fukushima Daiichi pascagempa dan tsunami melanda Jepang, Maret lalu. Ia membenarkan mundurnya Jerman dari program energi nuklir sebagai tanggapan insiden Fukushima Daiichi.

Sementara dua negara lain, yaitu Italia dan Swiss, menyatakan tak akan membangun instalasi baru. Namun masih banyak negara yang melanjutkan program nuklir seperti Cina, India, Korea Selatan, Prancis, Amerika Serikat, Inggris, dan Argentina. "Kebutuhan energi nuklir semakin besar karena negara berkembang semakin bertumbuh," kata Amano.

IAEA sendiri mengantisipasi peningkatan pertumbuhan pembangkit listrik tenaga nuklir ini dengan meningkatkan standar keamanan. Saat ini mereka sedang mengembangkan standar keamanan tingkat VI yang jauh lebih baik dari standar sebelumnya.

Selain itu IAEA juga menjalankan berbagai kampanye teknologi nuklir damai kepada masyarakat. Jadi masyarakat lebih paham bahwa energi nuklir adalah alternatif yang aman.

Deputi Bidang Jaringan Iptek Kementerian Riset dan Teknologi Syamsa Ardisasmita menyebutkan Indonesia masih membutuhkan energi nuklir sebagai opsi dalam pemenuhan energi nasional. Hingga 2025, Indonesia harus memenuhi 5 persen kebutuhan energi dari energi terbarukan. "Nuklir masih menjadi opsi," kata Syamsa.

Di Indonesia sendiri terjadi penurunan dukungan terhadap energi nuklir. Akibat insiden Fukushima Daiichi, dukungan masyarakat terhadap energi nuklir menyusut dari 60 persen pada tahun 2010 menjadi 35 persen pada Agustus 2011.

Penurunan ini dinilai wajar karena masyarakat sangat emosional melihat insiden nuklir. Berkaca dari Jepang, penurunan dukungan juga terjadi. Sebelum insiden, 66 persen masyarakat Jepang mendukung energi nuklir. Setelah insiden, 80 persen masyarakat Jepang menjadi antinuklir.

Namun penentangan ini diperkirakan tak permanen. Tantangan pertumbuhan ekonomi yang haus energi membuat masyarakat harus menerima teknologi nuklir. Di Jepang saja, jika 16 reaktor nuklir dihentikan, terjadi penurunan produk domestik bruto sebesar 3,6 persen setiap tahunnya.[ANTON WILLIAM]



TEMPOInteraktif

0 comments:

Post a Comment

 
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...