Jakarta - Ternyata Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sudah memiliki solusi untuk mengatasi kelangkaan kedelai di pasaran lokal. Benarkah?
Belakangan ini, masyarakat Indonesia dihebohkan dengan demo para produsen tahu dan tempe yang mengeluhkan mahal dan langkanya kedelai di pasaran. Maklum saja, sebagian besar kedelai yang beredar di Indonesia adalah kedelai impor, dan optimalisasi petani kedelai lokal belum digarap.
Sebetulnya ada hasil penelitian yang bisa dipakai untuk memaksimalkan produksi kedelai lokal. Salah satunya adalah terobosan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), yang dikenal sebagai Teknologi Kedelai Plus.
Dra. Harmastini Sukiman, M.Agr, Peneliti dari Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI di keterangan resminya menjelaskan bahwa teknologi kedelai plus adalah teknologi insersi (pemasukan) bakteri ke dalam jaringan biji. Bakteri penambat nitrogen bernama Rhizobium dimasukkan dengan tekanan tertentu ke dalam biji kedelai.
Bakteri Rhizobium yang akan digunakan diremajakan terlebih dahulu agar diperoleh sel sehat dan mempunyai umur cukup untuk memperbanyak diri dan bekerja efektif dalam menunjang pertumbuhan tanaman. Bakteri yang telah masuk ke dalam biji kedelai akan tinggal tanpa terganggu dan kehidupan bakteri di dalam benih akan ditunjang oleh cadangan makanan yang ada di dalam biji.
Menurut Harmastini, bakteri Rhizobium tidak akan memperbanyak diri sampai waktunya biji berkecambah. Teknologi ini sangat efisien karena petani tidak akan disibukkan dengan pemberian inokulan mikroba pada saat biji akan ditanam.
Petani bisa langsung menanam biji kedelai di lapangan dengan memasukkan benih plus ke lubang yang telah disiapkan dengan cara ditugal. Apabila benih berkecambah, akar tanaman akan mengeluarkan eksudat akar tertentu yang secara alami akan menarik bakteri untuk mendekat ke bagian akar tanaman.
Eksudat tersebut sangat spesifik dan hanya diproduksi oleh tanaman legum seperti kedelai. Bakteri yang sudah mendekat kemudian akan menghasilkan suatu enzim yang dapat menghancurkan dinding sel akar tanaman dan memberikan peluang untuk bakteri tersebut masuk ke dalam jaringan akar tanaman.
Setelah itu, bakteri akan memantapkan kehidupannya dengan cara berubah bentuk dan membelah diri sebanyak-banyaknya serta membuat suatu kumpulan koloni yang menetap di satu lokasi serta membentuk rumah tersendiri berbentuk bintil akar. Di dalam bintil akar ini, bakteri akan bekerja menghasilkan enzim nitrogenase yang akan berperan dalam proses penambatan nitrogen secara hayati.
Dari hasil uji lapangan, teknologi kedelai plus tersebut mampu meningkatkan produksi hampir dua kali lipat dibandingkan produksi kedelai rata-rata nasional. Selain itu, teknologi ini memberikan solusi atas kelangkaan pupuk kimia dan mendukung green evolution melalui pertanian ramah lingkungan.
LIPI telah pula melakukan uji coba penanaman di beberapa lokasi, seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur dan Sumatera Selatan. Dari hasil multi uji lapangan pada musim kering dan musim hujan, diperoleh data bahwa kedelai plus dapat menaikkan produksi 50 – 100 persen dari produksi kedelai umumnya.
Di Kabupaten Cianjur dan Sukabumi Jawa Barat, hasil penanaman kedelai plus di kedua lokasi itu masing-masing dua kali musim tanam menunjukkan hasil yang memuaskan. Tanaman tumbuh subur dan berpolong cukup banyak.
Satu tanaman mempunyai jumlah polong rata-rata lebih dari 50 polong per tanaman. Selain itu, tanaman tidak memperlihatkan adanya serangan hama. Harmastini optimis bahwa apabila mengandalkan produksi lokal yang termaksimalkan, kebutuhan kedelai nasional bisa tercukupi tanpa harus mendatangkan dari negara lain.
Teknologi kedelai plus juga ikut berpartisipasi dalam program ketahanan pangan nasional melalui program penanaman kedelai dengan pupuk hayati yang diadakan oleh Komite Inovasi Nasional (KIN).[ikh]
Belakangan ini, masyarakat Indonesia dihebohkan dengan demo para produsen tahu dan tempe yang mengeluhkan mahal dan langkanya kedelai di pasaran. Maklum saja, sebagian besar kedelai yang beredar di Indonesia adalah kedelai impor, dan optimalisasi petani kedelai lokal belum digarap.
Sebetulnya ada hasil penelitian yang bisa dipakai untuk memaksimalkan produksi kedelai lokal. Salah satunya adalah terobosan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), yang dikenal sebagai Teknologi Kedelai Plus.
Dra. Harmastini Sukiman, M.Agr, Peneliti dari Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI di keterangan resminya menjelaskan bahwa teknologi kedelai plus adalah teknologi insersi (pemasukan) bakteri ke dalam jaringan biji. Bakteri penambat nitrogen bernama Rhizobium dimasukkan dengan tekanan tertentu ke dalam biji kedelai.
Bakteri Rhizobium yang akan digunakan diremajakan terlebih dahulu agar diperoleh sel sehat dan mempunyai umur cukup untuk memperbanyak diri dan bekerja efektif dalam menunjang pertumbuhan tanaman. Bakteri yang telah masuk ke dalam biji kedelai akan tinggal tanpa terganggu dan kehidupan bakteri di dalam benih akan ditunjang oleh cadangan makanan yang ada di dalam biji.
Menurut Harmastini, bakteri Rhizobium tidak akan memperbanyak diri sampai waktunya biji berkecambah. Teknologi ini sangat efisien karena petani tidak akan disibukkan dengan pemberian inokulan mikroba pada saat biji akan ditanam.
Petani bisa langsung menanam biji kedelai di lapangan dengan memasukkan benih plus ke lubang yang telah disiapkan dengan cara ditugal. Apabila benih berkecambah, akar tanaman akan mengeluarkan eksudat akar tertentu yang secara alami akan menarik bakteri untuk mendekat ke bagian akar tanaman.
Eksudat tersebut sangat spesifik dan hanya diproduksi oleh tanaman legum seperti kedelai. Bakteri yang sudah mendekat kemudian akan menghasilkan suatu enzim yang dapat menghancurkan dinding sel akar tanaman dan memberikan peluang untuk bakteri tersebut masuk ke dalam jaringan akar tanaman.
Setelah itu, bakteri akan memantapkan kehidupannya dengan cara berubah bentuk dan membelah diri sebanyak-banyaknya serta membuat suatu kumpulan koloni yang menetap di satu lokasi serta membentuk rumah tersendiri berbentuk bintil akar. Di dalam bintil akar ini, bakteri akan bekerja menghasilkan enzim nitrogenase yang akan berperan dalam proses penambatan nitrogen secara hayati.
Dari hasil uji lapangan, teknologi kedelai plus tersebut mampu meningkatkan produksi hampir dua kali lipat dibandingkan produksi kedelai rata-rata nasional. Selain itu, teknologi ini memberikan solusi atas kelangkaan pupuk kimia dan mendukung green evolution melalui pertanian ramah lingkungan.
LIPI telah pula melakukan uji coba penanaman di beberapa lokasi, seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur dan Sumatera Selatan. Dari hasil multi uji lapangan pada musim kering dan musim hujan, diperoleh data bahwa kedelai plus dapat menaikkan produksi 50 – 100 persen dari produksi kedelai umumnya.
Di Kabupaten Cianjur dan Sukabumi Jawa Barat, hasil penanaman kedelai plus di kedua lokasi itu masing-masing dua kali musim tanam menunjukkan hasil yang memuaskan. Tanaman tumbuh subur dan berpolong cukup banyak.
Satu tanaman mempunyai jumlah polong rata-rata lebih dari 50 polong per tanaman. Selain itu, tanaman tidak memperlihatkan adanya serangan hama. Harmastini optimis bahwa apabila mengandalkan produksi lokal yang termaksimalkan, kebutuhan kedelai nasional bisa tercukupi tanpa harus mendatangkan dari negara lain.
Teknologi kedelai plus juga ikut berpartisipasi dalam program ketahanan pangan nasional melalui program penanaman kedelai dengan pupuk hayati yang diadakan oleh Komite Inovasi Nasional (KIN).[ikh]
(Inilah)
0 comments:
Post a Comment