Jakarta - Setelah kasus flu burung ditemukan pada satu keluarga di Tangerang pada 2005, terus bermunculan korban berjatuhan akibat terserang virus H5N1 itu.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) mencatat sebanyak 310 kasus flu burung pada manusia dengan 189 orang di antaranya meninggal dunia. Dan Indonesia pada saat itu membukukan 99 kasus dengan 79 kematian.
Kasus flu burung di Indonesia terbilang cukup besar. Jumlah orang yang tertular virus dari unggas itu terus saja bertambah. Untuk saat itu pengobatan flu burung dengan mengandalkan tamiflu.
Biasanya dokter akan memberikan tamiflu saat muncul gejala mirip flu burung. Sementara untuk membentuk antibodi terhadap virus H5N1 itu belum pernah dilakukan. Pasalnya belum ada vaksin flu burung di Indonesia.
Seiring perjalanan waktu dan beragam pengalaman kasus yang ada di Indonesia, jaringan peneliti di Indonesia mulai bergerak membuat vaksin flu burung. Apalagi antara WHO dengan Indonesia telah terjadi kesepakatan pembagian sampel virus yang adil.
Sehingga sejumlah negara yang memiliki kasus flu burung bisa mengembangkan vaksin lewat sampel virus yang dimiliki. Universitas Airlangga Surabaya pun tergerak mengembangkan vaksin yang bersumber dari virus flu burung di Indonesia.
Melalui Unit Avian Influenza-zoonosis Research Center-Universitas Airlangga (AIRC-UNAIR) Surabaya, para periset mulai mengembangkan vaksin flu burung sejak 2004. Dr drh CA Nidom MS, ahli biologi molekuler Universitas Airlangga Surabaya, selaku ketua riset vaksin flu burung menjelaskan AIRC-UNAIR sudah ada sejak 2004 berbarengan dengan riset awal flu burung.
Dalam perjalanan waktu, sejak Universitas Airlangga menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN), maka setiap unit di kampus tersebut harus menghasilkan produk unggulan.
"Kami mengembangkan bioproduk yakni pengembangan vaksin influenza, termasuk flu burung, dengan berbagai macam teknologinya. Termasuk pengembangan kit diagnostic yang cepat atau konvensional serta anti-viral dari pengobatan herbal," jelas Dr Nidom.
Apalagi pemerintah mendukung keinginan Unair menciptakan vaksin flu burung. Sejak saat itu AIRC-UNAIR fokus pada pembuatan vaksin flu burung baik untuk manusia dan hewan.
Nidom kemudian merekrut fresh graduate dari lulusan Fakultas Farmasi, Fakultas Kedokteran, Fakultas Kedokteran Hewan, Fakultas MIPA, hingga Komunikasi-Sosial.
Mereka selain mendapat gaji juga beasiswa untuk pendidikan lanjutan. Tim tersebut telah dibiasakan untuk mengutamakan budaya penelitian. Dengan demikian para peneliti ini benar-benar fokus.
Saat ini ada 10 pegawai yang bekerja di laboratorium AIRC-UNAIR yang sudah menempuh program S2 dan S3 dengan usia rata-rata di bawah 30 tahun.
Untuk menciptakan vaksin flu burung, para peneliti harus memilah virus yang ada di lapangan kemudian menyetok calon-calon seed vaksin dalam jumlah banyak.
Dari pengalaman para penderita flu burung yang berhasil sembuh, ternyata kasus di Indonesia merupakan persoalan human-animal interface dan harus dicegah dengan banyak cara.
Untuk mengembangkan vaksin, AIRC-UNAIR bekerja sama dengan Institute Medical Science University of Tokyo, Hokkaido University, dan Influenza Research Center University of Wisconsin, Madison, AS.
Virus yang digunakan untuk pengembangan vaksin berasal dari pasien Indonesia, yang terinfeksi flu burung dan meninggal pada 2005. Nadom dan timnnya mengambil virus dari usapan tenggorokan dari enam pasien yang berbeda daerah. Namun hanya virus milik pasien berusia sekitar 25-30 tahun dan berjenis kelamin laki-laki bisa tumbuh cukup baik dan dijadikan master seed.
Untuk menyukseskan pembuatan vaksin, dibuatlah konsorsium untuk mendanai riset tersebut. PT Biofarma, Kementerian Riset dan Teknologi serta Kementerian Kesehatan ikut terlibat dalam pendanaan riset vaksin flu burung tersebut.
Dengan cara tersebut maka akan dihasilkan riset-riset unggulan yang siap diproduksi secara massal. Vaksin flu burung buatan AIRC-UNAIR ini menurut Nidom, telah mengikuti sejumlah kaidah atau rekomendasi WHO dengan model split vaccine dan teknologi reverse genetic.
Dari pengujian di tingkat hewan, vaksin ini bisa digunakan untuk anak-anak. Rencananya tahun ini Biofarma akan melakukan uji klinik sebelum diproduksi massal.
Selain vaksin flu burung, AIRC-UNAIR juga mengembangkan riset untuk mempelajari transmisi manusia-binatang, termasuk simulasi pola-pola infeksi virus influenza dan flu burung.
"Yang akhirnya berkolaborasi dan mengakibatkan pandemik. Selain itu ada tim yang mempelajari aspek-aspek bioterorisme untuk pencegahan secara dini," ujar Dr Nidom.[mor]
Badan Kesehatan Dunia (WHO) mencatat sebanyak 310 kasus flu burung pada manusia dengan 189 orang di antaranya meninggal dunia. Dan Indonesia pada saat itu membukukan 99 kasus dengan 79 kematian.
Kasus flu burung di Indonesia terbilang cukup besar. Jumlah orang yang tertular virus dari unggas itu terus saja bertambah. Untuk saat itu pengobatan flu burung dengan mengandalkan tamiflu.
Biasanya dokter akan memberikan tamiflu saat muncul gejala mirip flu burung. Sementara untuk membentuk antibodi terhadap virus H5N1 itu belum pernah dilakukan. Pasalnya belum ada vaksin flu burung di Indonesia.
Seiring perjalanan waktu dan beragam pengalaman kasus yang ada di Indonesia, jaringan peneliti di Indonesia mulai bergerak membuat vaksin flu burung. Apalagi antara WHO dengan Indonesia telah terjadi kesepakatan pembagian sampel virus yang adil.
Sehingga sejumlah negara yang memiliki kasus flu burung bisa mengembangkan vaksin lewat sampel virus yang dimiliki. Universitas Airlangga Surabaya pun tergerak mengembangkan vaksin yang bersumber dari virus flu burung di Indonesia.
Melalui Unit Avian Influenza-zoonosis Research Center-Universitas Airlangga (AIRC-UNAIR) Surabaya, para periset mulai mengembangkan vaksin flu burung sejak 2004. Dr drh CA Nidom MS, ahli biologi molekuler Universitas Airlangga Surabaya, selaku ketua riset vaksin flu burung menjelaskan AIRC-UNAIR sudah ada sejak 2004 berbarengan dengan riset awal flu burung.
Dalam perjalanan waktu, sejak Universitas Airlangga menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN), maka setiap unit di kampus tersebut harus menghasilkan produk unggulan.
"Kami mengembangkan bioproduk yakni pengembangan vaksin influenza, termasuk flu burung, dengan berbagai macam teknologinya. Termasuk pengembangan kit diagnostic yang cepat atau konvensional serta anti-viral dari pengobatan herbal," jelas Dr Nidom.
Apalagi pemerintah mendukung keinginan Unair menciptakan vaksin flu burung. Sejak saat itu AIRC-UNAIR fokus pada pembuatan vaksin flu burung baik untuk manusia dan hewan.
Nidom kemudian merekrut fresh graduate dari lulusan Fakultas Farmasi, Fakultas Kedokteran, Fakultas Kedokteran Hewan, Fakultas MIPA, hingga Komunikasi-Sosial.
Mereka selain mendapat gaji juga beasiswa untuk pendidikan lanjutan. Tim tersebut telah dibiasakan untuk mengutamakan budaya penelitian. Dengan demikian para peneliti ini benar-benar fokus.
Saat ini ada 10 pegawai yang bekerja di laboratorium AIRC-UNAIR yang sudah menempuh program S2 dan S3 dengan usia rata-rata di bawah 30 tahun.
Untuk menciptakan vaksin flu burung, para peneliti harus memilah virus yang ada di lapangan kemudian menyetok calon-calon seed vaksin dalam jumlah banyak.
Dari pengalaman para penderita flu burung yang berhasil sembuh, ternyata kasus di Indonesia merupakan persoalan human-animal interface dan harus dicegah dengan banyak cara.
Untuk mengembangkan vaksin, AIRC-UNAIR bekerja sama dengan Institute Medical Science University of Tokyo, Hokkaido University, dan Influenza Research Center University of Wisconsin, Madison, AS.
Virus yang digunakan untuk pengembangan vaksin berasal dari pasien Indonesia, yang terinfeksi flu burung dan meninggal pada 2005. Nadom dan timnnya mengambil virus dari usapan tenggorokan dari enam pasien yang berbeda daerah. Namun hanya virus milik pasien berusia sekitar 25-30 tahun dan berjenis kelamin laki-laki bisa tumbuh cukup baik dan dijadikan master seed.
Untuk menyukseskan pembuatan vaksin, dibuatlah konsorsium untuk mendanai riset tersebut. PT Biofarma, Kementerian Riset dan Teknologi serta Kementerian Kesehatan ikut terlibat dalam pendanaan riset vaksin flu burung tersebut.
Dengan cara tersebut maka akan dihasilkan riset-riset unggulan yang siap diproduksi secara massal. Vaksin flu burung buatan AIRC-UNAIR ini menurut Nidom, telah mengikuti sejumlah kaidah atau rekomendasi WHO dengan model split vaccine dan teknologi reverse genetic.
Dari pengujian di tingkat hewan, vaksin ini bisa digunakan untuk anak-anak. Rencananya tahun ini Biofarma akan melakukan uji klinik sebelum diproduksi massal.
Selain vaksin flu burung, AIRC-UNAIR juga mengembangkan riset untuk mempelajari transmisi manusia-binatang, termasuk simulasi pola-pola infeksi virus influenza dan flu burung.
"Yang akhirnya berkolaborasi dan mengakibatkan pandemik. Selain itu ada tim yang mempelajari aspek-aspek bioterorisme untuk pencegahan secara dini," ujar Dr Nidom.[mor]
(Inilah)
0 comments:
Post a Comment