Mobil Listrik (Foto: Okezone) |
Banyak kalangan yang menanggapi kehadiran mobil yang dipelopori oleh Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dahlan Iskan. Seperti persoalan efektif atau tidaknya penggunaan mobil yang diperkenalkan dengan cat berwana hijau tersebut di Negeri ini.
Pengamat Energi Reforminer Institute Komaidi Notonegoro menilai, keberadaan mobil listrik tersebut belum bisa terserap oleh masyarakat Indonesia. Karena masyarakat masih menggandrungi mobil yang menggunakan bahan bakar fosil. Sehingga belum siap menggunakan mobil karya Dasep Ahmadi yang diboyong ke Jakarta pada 16 Juli 2012 itu. Apalagi, mobil ini sempat mogok sebanyak dua kali.
"Kalau itu belum terserap, mobil belum dibeli. Sementara masyarakat masih menggunakan mobil BBM," kata Komaidi, saat dihubungi Okezone.
Menurut Komaidi, jika dilihat secara investasi, efektifitas penggunaan mobil listrik tersebut sangat kecil bila dibandingkan penggunaan mobil berbahan bakar gas. Hal ini karena di negara maju pun penerapan penggunaan mobil listrik bisa dikatakan masih lama.
"Saya kira investasi yang efektifitasnya relatif, tapi dari karakateristik masyarakat efektifitas kecil, Eropa. Amerika Serikat (AS) bisa terapkan 2020-2025, itu negara maju, apalagi kita? Kalau Bahan Bakar Gas (BBG) sukses, ceritanya banyak, seperti Brasil, Meksiko," beber Komaidi.
Komaidi menuturkan, ditilik secara riwayat, belum ada negara yang sukses menggunakan mobil listrik tersebut. Adapun keberadaan mobil tersebut juga akan menimbulkan persoalan pada industri perminyakan.
"Kalau listrik belum ada yang sukses mengembangkan, secara bisnis susah. Industri minyak enggak kompetitif, automotif juga," jelas Komaidi.
Dia menegaskan, pemerintah pun diimbau harus mengembalikan kebijakan pada tataran kehidupan nyata. Mungkin, tambahnya, bila pejabat yang menggunakannya tidak akan menjadi masalah, namun kalau masyarakat yang memakainya akan mengalami banyak kendala. "Objektif kebijakan harus jelas ke masyarakat," tegas Komaidi.
Selain itu, pemerintah juga dinilai tidak fokus dalam penerapan penghematan energi dengan adanya mobil listrik. Seharusnya, pemerintah lebih mempriortaskan konversi BBM ke BBG.
"Saya kira tadi enggak fokus, ingin punya program sendiri-sendiri, saling menonjolkan," lanjut Komaidi.
Kendati demikian, Komaidi mengatakan bila dirinya tidak menganggap bila program mobil listik tak baik. Namun, program tersebut terlalu kecil skalanya untuk dilakukan penghematan massal.
"Bukan program ini tidak baik (mobil listrik), tapi tujuannya mau apa? Kalau mau penghematan subsidi BBM tidak dapat skalanya terlalu kecil, karena pengguna tidak banyak. Kalau pakai BBG harga keekonomian lebih murah dibanding BBM," tutup Komaidi.(mrt)
(Okezone)
0 comments:
Post a Comment