Jakarta | Telkomsel pailit. Inilah keputusan majelis hakim Pengadilan Niaga Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Jumat (14/9), Majelis Hakim PN Jakpus yang dipimpin Hakim Ketua Agus Iskandar memutuskan Telkomsel pailit atas permohonan PT Prima Jaya Informatika (PJI), distributor voucher isi ulang Kartu Prima.
PJI mengajukan permohonan pailit karena Telkomsel dinilai tak sanggup membayar hutang senilai Rp 5,6 miliar. Telkomsel dan Prima Jaya menjalin kerja sama untuk penjualan kartu perdana dan vocer isi ulang bertema khusus olahraga.
Pailit Telkomsel, tak urung mengundang heboh nasional. Bagaimana mungkin perusahaan dengan untung bersih triliunan rupiah, dinyatakan pailit gara-gara sengketa bisnis Rp 5,3 miliar. Kasus ini, uniknya, mempertemukan DPR, regulator dan kementrian BUMN dalam satu suara. Melawan putusan itu dan berusaha menyelamatkan Telkomsel dari kepailitan.
Berbagai tudingpun muncul dibalik kasus itu. Pertama adalah upaya mengganjal Telkomsel mengikuti seleksi frekuensi ketiga 3G yang akan digelar Kemenkominfo. Dengan status pailit, Telkomsel tak bisa ikut. Namun rumor itu hilang, setelah kemenkominfo menyatakan tender 3G ditunda hingga tuntasnya kasus Telkomsel.
Ketua DPR, Marzuki Alie, menduga ada upaya sistematis dan konspirasi untuk menguras keuangan negara di balik upaya membuat pailit Telkomsel. Pasalnya, dalam rapat kreditor, PT Prima Jaya Informatika (PJI) menuntut ganti rugi Rp 260 miliar. Marzuki menduga upaya membuat Telkomsel pailit tersebut merupakan satu rencana yang sistematis karena tidak mungkin PT PJI bekerja sendiri.
Telkomsel mengajukan kasasi atas kasus itu. Majelis kasasi yang menangani perkara itu menerima permohonan Telkomsel. Pada 21 November 2012, Majelis Hakim yang dipimpin Abdul Kadir Mappong, dengan anggota Suwardi, dan Sultoni, membatalkan putusan sebelumnya. Telkomsel bebas pailit.
Pailit Telkomsel menyadarkan semua pihak bahwa korporasi besar seperti Telkomsel bisa direpotkan oleh urusan kecil. Pengadilan Niaga, tampaknya bakal menjadi ancaman baru bagi operator seluler nasional. Tak tertutup kemungkinan kasus itu akan berulang di kemudian hari.
Pada sisi lain, kasus Telkomsel juga memunculkan sebuah pertanyaan apakah sengketa binis seperti kasus Telkomsel dan PJI harus diselesaikan di Pengadilan Niaga atau di pengadilan biasa. Bukankah dalam perjanjian atau kontrak ada mekanisme penyelesaian perkara yang disepakati para pihak.
Kasus inilah yang kemudian mengundang berbagai rumor tak sedap. Misalnya konspirasi, sebagaimana diungkap Ketua DPR.
Seperti kata pepatah Jawa, kriwikan dadi grojokan, dalam kasus ini Telkomsel harus mengeluarkan dana yang besar baik untuk penanganan kasus maupun program pemulihan citra. Tidak jelas, mengapa tidak ada antisipasi sampai sejauh ini.
Untuk penanganan kasus, misalnya, Telkomsel harus membayar biaya pengacara dan kurator. Tak sedikit biaya yang dikeluarkan Telkomsel. Bila biaya kurator sebagaimana diatur dalam UU Kepailitan, Telkomsel harus merogoh kocek ratusan miliar.
Belum lagi potential lost akibat perkara ini. Karena berada di bawah kurator--selama proses pengadilan berlangsung--, manajemen Telkomsel tak bisa leluasa dalam mengambil keputusan. Hal ini tentu saja mempengaruhi kinerja Telkomsel.
0 comments:
Post a Comment