Jakarta | Indonesia harus melakukan reformasi industri secara massal untuk menciptakan daya saing tinggi di pasar internasional. Tanpa daya saing tinggi, masa depan ekonomi nasional bakal makin sulit. Selama ini, Indonesia dibodohi oleh komunitas internasional karena pemerintah memasukkan impor dalam komponen pertumbuhan produk domestik bruto (PDB).
Padahal, pertumbuhan ekonomi yang bertumpu pada produk impor justru melemahkan daya saing. Direktur Eksekutif Perkumpulan Prakarsa, Setyo Budiantoro, menegaskan hal itu di Jakarta, Selasa (8/1), menanggapi tren defisit perdagangan Indonesia yang antara lain dipicu oleh lemahnya daya saing internasional.
"Pertumbuhan ekonomi riil yang membedakan produk nasional dan barang impor harus dihitung. Tujuannya, untuk menunjukkan bahwa kita tidak kompetitif," jelas dia. Menurut Setyo, pemerintah terlalu mengandalkan data pertumbuhan PDB versi Bank Dunia dan lembaga internasional lain yang memasukkan impor dalam komponen PDB.
"Apabila kita surplus, hal itu tidak menjadi persoalan. Namun, bila kita defisit dan impor kita semakin bertambah maka pertumbuhan PDB malah melemahkan daya saing kita."
Dia mengungkapkan tren defisit perdagangan akan membahayakan ekonomi nasional ke depan karena faktanya saat ini Indonesia tidak kompetitif antara lain karena ekonomi biaya tinggi. Peringkat daya saing ekonomi Indonesia, menurut World Economic Forum (WEF), merosot ke urutan 46 (2012) dari semula 44 (2011).
WEF mengemukakan problem mendasar dari daya saing ekonomi Indonesia itu karena inefisiensi birokrasi, korupsi, dan keterbatasan infrastruktur. Setyo menunjukkan banyak biaya "lain-lain" yang harus ditanggung pengusaha sehingga bisnis menjadi tidak layak tanpa gross margin yang tinggi, berkisar 30-50 persen.
Padahal, dalam perekonomian yang terbuka seperti saat ini akan sulit mencetak keuntungan sebesar itu. "Akibatnya, banyak pengusaha yang beralih ke pertambangan dan perkebunan karena bisa memberikan marjin tinggi. Namun, kenaikan marjin bukan karena penambahan volume, melainkan akibat kenaikan harga internasional," papar dia.
Ekonom EC-Think, Telisa Aulia Falianty, menambahkan apabila Indonesia belum bisa membangun daya saing tinggi di pasar internasional maka impor akan kembali melebar. Guna meningkatkan daya saing, lanjut dia, pemerintah harus memperbaiki infrastruktur, salah satunya fasilitas pelabuhan. Pasalnya, sistem kerja di pelabuhan yang sering menyebabkan waktu tunggu menjadi sangat lama sehingga biaya membengkak.
"Infrastruktur transportasi sangat penting untuk distribusi. Jika hal ini bisa disediakan maka distribusi diharapkan bisa lebih cepat dan efisien," jelas dia.
Kasus Filipina
Padahal, pertumbuhan ekonomi yang bertumpu pada produk impor justru melemahkan daya saing. Direktur Eksekutif Perkumpulan Prakarsa, Setyo Budiantoro, menegaskan hal itu di Jakarta, Selasa (8/1), menanggapi tren defisit perdagangan Indonesia yang antara lain dipicu oleh lemahnya daya saing internasional.
"Pertumbuhan ekonomi riil yang membedakan produk nasional dan barang impor harus dihitung. Tujuannya, untuk menunjukkan bahwa kita tidak kompetitif," jelas dia. Menurut Setyo, pemerintah terlalu mengandalkan data pertumbuhan PDB versi Bank Dunia dan lembaga internasional lain yang memasukkan impor dalam komponen PDB.
"Apabila kita surplus, hal itu tidak menjadi persoalan. Namun, bila kita defisit dan impor kita semakin bertambah maka pertumbuhan PDB malah melemahkan daya saing kita."
Dia mengungkapkan tren defisit perdagangan akan membahayakan ekonomi nasional ke depan karena faktanya saat ini Indonesia tidak kompetitif antara lain karena ekonomi biaya tinggi. Peringkat daya saing ekonomi Indonesia, menurut World Economic Forum (WEF), merosot ke urutan 46 (2012) dari semula 44 (2011).
WEF mengemukakan problem mendasar dari daya saing ekonomi Indonesia itu karena inefisiensi birokrasi, korupsi, dan keterbatasan infrastruktur. Setyo menunjukkan banyak biaya "lain-lain" yang harus ditanggung pengusaha sehingga bisnis menjadi tidak layak tanpa gross margin yang tinggi, berkisar 30-50 persen.
Padahal, dalam perekonomian yang terbuka seperti saat ini akan sulit mencetak keuntungan sebesar itu. "Akibatnya, banyak pengusaha yang beralih ke pertambangan dan perkebunan karena bisa memberikan marjin tinggi. Namun, kenaikan marjin bukan karena penambahan volume, melainkan akibat kenaikan harga internasional," papar dia.
Ekonom EC-Think, Telisa Aulia Falianty, menambahkan apabila Indonesia belum bisa membangun daya saing tinggi di pasar internasional maka impor akan kembali melebar. Guna meningkatkan daya saing, lanjut dia, pemerintah harus memperbaiki infrastruktur, salah satunya fasilitas pelabuhan. Pasalnya, sistem kerja di pelabuhan yang sering menyebabkan waktu tunggu menjadi sangat lama sehingga biaya membengkak.
"Infrastruktur transportasi sangat penting untuk distribusi. Jika hal ini bisa disediakan maka distribusi diharapkan bisa lebih cepat dan efisien," jelas dia.
Kasus Filipina
Setyo juga mengingatkan dampak dari rendahnya daya saing akan membahayakan ekonomi Indonesia dalam 10 tahun ke depan. Contohnya adalah sektor properti yang tidak kompetitif seperti di Hong Kong dan Singapura. Kedua negara itu giat membangun properti karena memiliki permintaan riil dari mancanegara akibat daya saing yang tinggi.
Sedangkan di Indonesia kredit properti berpotensi macet tanpa daya saing karena minimnya permintaan riil dari luar. Selain itu, dia mengkhawatirkan masa depan ekonomi Indonesia yang pertumbuhannya mengandalkan kenaikan impor. "Ini sebenarnya yang terjadi di Filipina, yakni middle income trap," ujar dia.
Hal itu terjadi karena Filipina tidak mampu mengembangkan potensi yang ada sehingga negara itu tidak dikenal sebagai negara yang produktif. Untuk itu, Setyo mengingatkan agar pemerintah lebih responsif menghadapi kondisi sekarang. Pasalnya, bukan tidak mungkin situasi di Filipina ini akan menimpa Indonesia.
"Dan ini menjadi problem besar ke depan. Kalau tidak ada produksi, tidak ada industri strategis, dan tidak ada multiplier effect, maka tidak akan menimbulkan peningkatan daya beli masyarakat," tutur dia. Padahal, kata Setyo, untuk menjadi negara maju, tingkat daya beli masyarakat harus tinggi agar bisa menyerap produk dalam negeri.
Dia pun mencontohkan China setelah mencapai daya saing internasional yang tinggi akhirnya dipaksa oleh Amerika Serikat agar meningkatkan konsumsi domestik dari produk nasional mereka sendiri.
Menurut dia, sumber dana untuk membangun industri strategis yang berdaya saing tinggi bisa melalui penghematan APBN, yang salah satunya melakukan penghentian pembayaran subsidi obligasi rekapitalisai perbakan eks Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). "Harus ada keberanian pemerintah untuk memutus mata rantai obligasi eks BLBI. Tanpa itu, ekonomi kita tidak akan pernah maju dan terus tertinggal," papar Setyo.
• Koran Jakarta
0 comments:
Post a Comment