Sunday, 6 January 2013

Catatan Awal Tahun Dari Dunia Penerbangan Kita

Jakarta Pasar bisnis angkutan udara di Indonesia kini tengah berada dalam posisi yang sangat istimewa. Beberapa data menunjukkan peningkatan pertumbuhan angkutan udara setiap tahunnya tidak kurang dari 10–15%.

Beberapa pihak bahkan meramalkan pertumbuhan ini akan terus berlanjut hingga mencapai angka 25% di tahun-tahun mendatang. Sayangnya, pertumbuhan yang seharusnya menjadi primadona bagi ladang pemasukan dana dalam negeri untuk kesejahteraan rakyat banyak itu kurang mendapat perhatian yang serius dari pemerintah. Memang harus diakui bahwa peningkatan pertumbuhan angkutan udara nasional berada jauh di atas laju pertumbuhan pembangunan infrastruktur penerbangan dan pendidikan SDM, dalam hal ini, utamanya, para pilot dan teknisi serta tenaga air traffic control(ATC).

Pada menjelang akhir tahun 2012 yang lalu, ada dua kejadian penting yang cukup menarik perhatian publik berkait masalah dunia penerbangan, yaitu peristiwa rusaknya uninterruptible power supply (UPS) di Bandara Soekarno-Hatta, bandara internasional yang sudah berada dalam kondisi overcapacity selama 3–5 tahun terakhir, yang berakibat tidak berfungsinya radar pemandu lalu lintas udara selama ±15 menit, dan yang kedua adalah diumumkannya secara resmi penyebab kecelakaan pesawat Sukhoi Super Jet 100/SSJ-100 yang menabrak Gunung Salak beberapa waktu lalu.

Penjelasan mengenai matinya radar yang disebabkan terbakarnya UPS tersebut sesungguhnya agak sulit untuk diterima akal sehat. Unsur keteledoran merupakan gejala dan penyebab utama dari sekian banyak kecelakaan transportasi yang terjadi di negeri ini. Penjelasan pihak Angkasa Pura II yang menyebut bahwa UPS dimaksud ternyata sudah usang dan berumur lebih dari 15 tahun kelihatannya sejalan dengan gejala umum yang memang sudah menjadi etos kerja segelintir pihak, yang sering disebut dengan manajemen tambal-sulam.

Sekali lagi, pada umumnya, kita memang kurang memberikan perhatian serius pada masalah-masalah prinsip, terutama pada aspek keselamatan dan atau keamanan kerja (safety). Dalam hal ini, mungkin dapat disajikan ilustrasi sebagai berikut: kapasitas daya tampung Bandara Soekarno-Hatta adalah 23 juta orang per tahun. Sementara khusus di tahun 2011, jumlah penumpang telah mencapai 51,5 juta orang. Jumlah ini setara dengan lebih dari dua kali lipat kapasitas yang tersedia.

Dengan kondisi seperti itu, seharusnya sudah dipikirkan langkah-langkah pengamanan agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Yang terlihat adalah jangankan penanganan para penumpang yang datang dan pergi di area terminal, urusan masuk keluarnya kendaraan dari bandara saja terkesan semrawut. Kondisi ini seharusnya menjadi pokok bahasan yang serius untuk ditangani. Kondisi amburadul yang terlihat sehari-hari di Bandara Internasional Soekarno-Hatta sebenarnya dapat cepat ditanggulangi apabila pemerintah konsisten menjalankan Undang-Undang (UU) Penerbangan No 1/2009.

Salah satu yang diamanatkan di dalam UU tersebut, yang seharusnya sudah dilaksanakan sejak 2011, adalah peleburan organisasi dan manajemen air traffic control services ke dalam satu wadah yang dikenal dengan single provider. Dengan demikian, beban PT Angkasa Pura dapat segera dikurangi untuk tidak lagi mengurus ATC dan peralatan dukungan navigasi udara. Sayangnya, pemisahan organisasi dan manajemen ATC sampai detik ini tak kunjung terealisasi.

Merujuk pada pengumuman KNKT mengenai hasil penyelidikan terhadap kecelakaan pesawat terbang Sukhoi SJ-100 yang menabrak Gunung Salak, sangat jelas disebutkan berbagai kelemahan ATC pada saat peristiwa berlangsung. Disebutkan bahwa peralatan dari radar yang tersedia tidak dilengkapi dengan warning system untuk titik terendah dan berbahaya di kawasan Bogor. Selain itu, controller yang bertugas ternyata hanya seorang diri, tanpa asisten dan supervisor. Sang controller baru menyadari hilangnya sinyal Sukhoi SJ-100 dari layar radarnya 24 menit setelah kejadian.

Pada saat kejadian, di samping dia hanya bertugas seorang diri (tanpa asisten dan tidak didampingi supervisor), sang controller tengah menangani 14 buah pesawat sekaligus di bawah pengawasannya. Lebih dari itu, ternyata controller tidak tahu bahwa yang sedang terbang tersebut adalah pesawat penumpang komersial Sukhoi. Dia mengira pesawat terbang Sukhoi tersebut adalah pesawat tempur militer yang dianggap memang rutin terbang di area Bogor sehingga tidak ada keraguan sedikit pun baginya untuk memberikan izin turun ke 6.000 kaki.

Dari itu semua, dapat disimpulkan bahwa jelas kesalahan tidak terletak “hanya” pada sang controller, tetapi lebih pada manajemen ATC, dalam hal ini Jakarta Approach. Kesalahan tersebut menggambarkan betapa tidak profesionalnya ATC bekerja, betapa kurangnya personel yang tersedia, dan tentu saja betapa ketinggalan zamannya peralatan yang tersedia untuk mendukung tugas-tugas ATC. Belum lagi bila melihat tingkat kesejahteraan para petugas ATC yang jumlahnya sudah sangat minim itu.

Matinya radar Bandara Soekarno - Hatta dan kelemahan ATC seperti yang tertera dalam hasil investigasi KNKT sejatinya memang menggambarkan betapa buruknya wajah penerbangan nasional secara keseluruhan belakangan ini. Di samping pemisahan ATC dari Angkasa Pura, sebenarnya masih ada beberapa lagi pekerjaan rumah yang belum dikerjakan. KNKT, sebagaimana diamanatkan UU, seharusnya berada di luar struktur Kementerian Perhubungan dengan tujuan independensi dan objektivitas hasil investigasi. Pekerjaan rumah berikutnya adalah pembentukan Majelis Profesi Penerbangan (MPP) sebagai satu institusi yang bertugas menindaklanjuti hasil-hasil penyelidikan yang telah dilakukan KNKT.

Di luar itu semua, perkembangan angkutan udara di Tanah Air yang begitu cepat telah menyebabkan begitu banyak pertambahan jumlah pengadaan pesawat terbang. Seperti diketahui, mereka yang memahami benar tentang dunia penerbangan tentu paham bahwa pengadaan pesawat terbang otomatis akan berdampak pada sektor lain yang berhubungan erat dengan pengoperasian dan pemeliharaan pesawat terbang yang terjalin dalam satu sistem yang standar.

Bagi para pebisnis yang awam tentang pengetahuan keudaraan, hal tersebut dipastikan tidak atau kurang menjadi perhatian. Hal-hal itulah yang sangat berpotensi menciptakan pilot dan SDM pemeliharaan “karbitan”. Masalahnya adalah ada perbedaan yang sangat mencolok antara pengadaan pesawat terbang dengan proses pengadaan SDM (pilot, awak kabin, dan teknisi) serta instalasi / peralatan pemeliharaan pesawat terbang.

Pengadaan pesawat terbang relatif mudah karena hanya perlu membeli atau sewa armada bersangkutan dari produsen atau penyedia penyewaan pesawat. Sementara untuk proses pengadaan pilot, awak kabin, dan teknisi, hal itu menjadi sangat berbeda. Mereka memerlukan pelatihan dasar yang membutuhkan waktu cukup lama untuk memperoleh jam terbang tertentu guna memiliki keterampilan tertentu dalam pengoperasian pesawat terbang dengan aman dan nyaman. Nah, di sinilah kita berhadapan dengan sesuatu yang tidak mudah untuk bisa dibuktikan.

Namun indikasi yang terjadi di lapangan seperti seringnya terjadi kecelakaan merupakan salah satu indikasi mengenai kualitas SDM yang “karbitan”. Di sinilah peran standardisasi dan pengawasan serta pemberian sanksi harus benar-benar dilaksanakan sesuai dengan aturan yang berlaku.

Tanpa itu semua, Republik Indonesia akan tetap berada seperti sekarang ini, yaitu dalam posisi sebagai negara yang tidak atau belum mampu menyelenggarakan penerbangan sipil yang memenuhi standar minimum keamanan terbang lnternasional. Pertanyaannya kemudian, ”Mau ke mana dunia penerbangan Indonesia pada 2013 ini?”


CHAPPY HAKIM
(Sumber: Koran Sindo 3 Januari 2013, hal 7)

0 comments:

Post a Comment

 
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...