Dari vila di Puncak sampai sungai dangkal. Apa aksi selanjutnya?
Jebolnya Kanal Banjir Barat di Jalan Latuharhary, Menteng, menenggelamkan Jalan Jenderal Sudirman dan MH Thamrin.
Jakarta � Tri Susanto, dan tiga rekannya sibuk mematikan panel listrik di basement satu di Gedung United Overseas Bank (UOB), Kamis pagi, pekan lalu. Hujan mengguyur Jakarta sejak malam. Di pekarangan gedung 48 lantai itu, air mulai tergenang. Para pekerja listrik itu harus bekerja cepat, agar kabel basah tak membawa petaka.
Baru saja kelar, Tri dan kawan-kawannya kaget. Dari luar, air menerjang ke basement itu, seperti ditumpahkan dari bejana raksasa. Coklat. Keruh. Tiap sudut ruang bawah itu disapu air, yang lalu mengucur ke empat lapis kolong lainnya. Sebentar lagi, pikir Tri, empat tingkat ruang bawah itu pasti jadi kolam raksasa.
Tanpa pikir panjang, Tri dan rekannya lari menyelamatkan diri. Mereka berkejaran dengan derasnya gelombang air. Ketiganya berhenti berlari, ketika melihat seorang pengemudi terjebak. Mobilnya terhalang tembok. Tri dan rekannya menolong dengan menarik mobil itu pakai selang hidran.
Tapi Tri dan tiga temannya itu justru diseret arus. Tri dan Tito Fitrianto terdampar di pojok. Dua rekan lain, tetap di tengah koridor, dan beruntung bisa meraih tali yang diulurkan petugas keamanan. “Dua teman saya berhasil selamat, dan keluar dari basement satu," kata Tri kepada VIVAnews di rumahnya, Cilodong, Depok, Kamis 23 Januari 2013.
Saat itu, Tri dan Tito terancam tamat. Air sudah setinggi leher. Tri panik, karena tak bisa berenang. Ruang basement itu gelap. Tito mencari jalan keluar melalui salah satu cerobong. Tapi Tri tertinggal. "Saya menangis, dan bilang ke Tito supaya tidak meninggalkan saya," ujar Tri dengan mata berkaca-kaca.
Tri meraba setiap benda. Dia mencari jalan menuju tangga eskalator. Dia menyelam. "Butuh empat kali percobaan bagi agar bisa menyelam, karena saya tidak bisa berenang, dan nafas sudah mulai sesak," ujarnya. Tri akhirnya selamat, setelah dia merangkak menaiki tangga eskalator itu.
Tapi dua cleaning service lain yang terjebak, Abdul Arif Agus dan Hardianto Eko alias Eris, tak seberuntung Tri dan Tito. Kedua orang itu ditemukan dalam kondisi tak lagi bernyawa.
Hari itu banjir membenam Jakarta. Ibukota dalam kondisi darurat.
Kombinasi ekstrem
Hujan deras mengguyur pekan lalu itu membuat debit air melonjak. Kanal Banjir Barat di Jalan Latuharhary, Menteng, tak kuat menahan arus. Tanggul buatan tahun 2002 itu pun jebol.
Itu sebabnya, air meluber di jalan utama Jakarta, dan menerjang sampai menyisakan tragedi di Gedung UOB itu.
Jalan Jenderal Sudirman dan MH Thamrin tenggelam. Kawasan Dukuh Atas hingga Sarinah menjadi 'sungai'. Gedung pencakar langit dikepung air bah. Lalu lintas lumpuh. Bahkan, air menorobos “ring 1” Istana Negara.
Menteri Koordinator Kesejahteraan, Agung Laksono, pun menyatakan Jakarta Siaga I. Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo, menetapkan tanggap darurat bencana banjir sampai 27 Januari.
Selain menggasak jantung Ibu Kota, banjir melumpuhkan kawasan utara Jakarta. Waduk Pluit meluap merendam rumah warga. Sedikitnya 4.000 jiwa di Kelurahan Pluit kebanjiran. Begitu juga daerah elit Kelapa Gading. Jalan Boulevard Raya depan Mal Kelapa Gading terendam sekitar satu meter.
Direktur Jenderal Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum, Muhamad Hasan, mengatakan banjir lima tahunan itu adalah kombinasi hujan ekstrem, dan kondisi sungai Ibukota yang tak lagi memadai.
Misalkan, kata dia, Rabu malam itu hujan turun sampai 218 milimeter. Itu mendekati puncak hujan pada 2007, yang mencapai 220 milimeter. Gawatnya lagi, kali ini durasinya lebih lama.
Di Depok, Bogor dan Puncak, hujan juga turun menggila, tiga hari mengucur dengan curah 100 milimeter. Di Pintu Air Katulampa, air membuncah. “Jakarta tak siap menerima beban itu," kata Hasan. Air kiriman itu pun lolos karena sistem drainase yang buruk. Sedimentasi yang parah, membuat sungai kian dangkal.
Hasan juga menjelaskan, sejumlah waduk juga tak berfungsi baik. Sebagian besar menjadi dangkal. Sedimen Kanal Banjir Barat kian tebal. Pintu air Manggarai turun mencapai 760 senti, masuk siaga tiga. Perbaikan permanen baru dilakukan jika turun mencapai 750 senti.
Jebolnya tanggul di Latuharhary adalah akibat daerah itu menjadi bagian hulu Kanal Banjir Barat. Terjangan air paling kuat di sana. "Selain itu, masih pakai tanggul tanah," ujar Direktur Sungai dan Pantai Direktorat Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum, Pitoyo Subandrio. Tanggul jebol itu, kata dia, akan segera diganti.
Ada empat lokasi yang patut diwaspadai, kata Pitoyo. Antara lain, Stasiun Tanah Abang. Di sana, ada penurunan tanggul, dan dicemaskan penampungan air bisa tak maksimal. Lalu kali dekat Season City. Ada jalan inspeksi untuk lalu lintas umum di sana, dan itu sudah retak.
Kali Ciliwung pun kini hanya mampu menampung air hingga 50 persen, akibat bantaran kali itu sudah padat oleh pemukiman.
Kurang pengawasan
Banjir tak hanya terjadi di aliran sungai Ciliwung melalui Kanal Banjir Barat. Tapi juga di sejumlah daerah yang dilindungi oleh Kanal Banjir Timur. Contohnya Kelapa Gading, Jakarta Utara. Juga daerah perindustrian Pulogadung. Kawasan ini kebanjiran meski telah dilindungi KBT.
Pengamat Perkotaan Yayat Supriatna, menilai tak berfungsinya KBT dan KBB karena soal pengawasan dan perawatan. Bisa juga akibat volume kanal tak terlalu besar. Apalagi, diganggu oleh hal-hal lain. "Saya melihat kala itu ada pekerjaan konstruksi terkait reklame," kata Yayat.
Dia mengatakan, penanganan struktural saja tak akan mempan untuk soal banjir. Misalnya, soal drainase yang tidak optimal. Hal itu sebagian besar akibat tersumbat, alias penyempitan karena banyaknya sampah.
Pendekatan struktural tanpa aspek penataan ruang di kawasan hulu Ciliwung itu, Yayat menabahkan, tak akan efektif. Apalagi sodetan. Soalnya, air yang tumpah di Puncak membawa efek tambahan run off . KBT dan KBB pun tak kuat menampung limpahan air. Tengoklah, kata Yayat, apalagi kini sedimentasi amat tinggi di kedua tempat itu.
Artinya, kata Yayat, pendekatan non struktural, yang melibatkan masyarakat perlu diperbesar. Sejak zaman Belanda, pendekatan struktural itu gagal terus. Selain itu, perlu dibuat peta mikrodrainase di Jakarta lebih rapi. Apalagi, kini pemukiman kian pesat berkembang.
Bagi pengamat kebijakan publik Andrinof Chaniago, soal solusi banjir sudah kerap dibicarakan. Pemerintah tinggal mewujudkan rencana itu. "Sekarang kita tinggal menunggu aksinya saja," kata dia. Dia menyarankan, ada pembagian peran antara pemerintah pusat dan DKI untuk mengatasi banjir.
Misalnya, daerah aliran sungai itu adalah urusan pemerintah pusat. Termasuk mengeruk sungai, dan memelihara waduk. Lalu Pemprov DKI mengurusi warga, dan relokasi untuk menormalisasi sungai.
Rencana Jokowi
Semua itu, kata Andrinof, sangat tergantung peran gubernur. Lalu apa langkah Jokowi?
Sang gubernur DKI Joko Widodo, melihat faktor terpenting penyebab banjir adalah adaunya intensitas hujan yang tinggi. Dengan menjamurnya vila-vila di hulu, kata Jokowi, daya serap air semakin kecil. "Percuma kita buat sisi KBT dan lainnya, kalau itu tidak dibenahi," ujarnya.
Itu sebabnya, tahun ini Pemprov DKI tak lagi banyak menunggu. Kata Jokowi, mereka akan konsentrasi mengeruk semua waduk, termasuk di Pluit. Waduk tambahan seperti Waduk Ciawi dan Waduk Cimanggis segera dirampungkan. Normalisasi Ciliwung, Pesanggrahan, Angke, Sunter juga akan dimulai. Tentu, turut dipikirkan pula relokasi warga di sekitar waduk.
Ongkos proyek ini juga besar. Untuk normalisasi Kali Ciliwung, misalnya, dananya Rp250 miliar. Untuk pembebasan tanah di Pesanggarahan, Kali Angke dan Sunter juga sudah dianggarkan sebesar Rp400 miliar. Di Jakarta Utara, pompa-pompa baru akan dibangun, di antaranya di Muara Baru dan Ancol. "Semoga kelihatan lah itu hasilnya," ujarnya. (np)
Menangkal Bah dengan Terowongan Pintar dan Pipi Monyet
Jakarta diprediksi OECD bakal didera banjir dahsyat di tahun 2070.
Medio Desember 2007 pernah menjadi saat yang mengerikan bagi beberapa negara bagian di Malaysia. Sebanyak 12 orang tewas, 20 ribu warga lainnya mengungsi ke tempat aman. Negeri Jiran kebanjiran.
Daerah terparah yang dilanda banjir adalah Johor bagian selatan. Sebanyak 13 ribu orang warganya mengungsi. Sementara di Pahang, 10 ribu orang terusir dari rumah mereka yang nyaman dan tinggal seadanya di tenda pengungsian.
Trengganu dan Kelantan tidak kalah sengsaranya. Harian New Straits Times (NST) lima tahun lalu memberitakan Malaysia dalam keadaan darurat. Pemerintah berburu dengan waktu membagikan makanan dan kebutuhan lainnya, sementara level air semakin tinggi.
Geger itu tak santer di Kuala Lumpur. Sebelumnya, di bulan Juni, pusat bisnis Malaysia ini sempat dilanda bajir bandang saat Sungai Gombak meluap. Namun, di saat negara bagian lain terendam, Kuala Lumpur kering.
Bagaimana bisa?
Beberapa bulan sebelumnya, tepatnya pada 14 Mei 2007, Kuala Lumpur selesai membangun terowongan yang jadi senjata pamungkas mereka menghadapi banjir. Terowongan sepanjang 9,7 kilometer itu terbentang dari Danau Kampung Berembang dan berakhir di Danau Taman Desa.
Dinamai SMART (Stormwater Management and Road Tunnel), terowongan “ajaib” semacam inilah yang ingin dibuat Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo dengan dana nauzubillah, Rp16 triliun. Kuala Lumpur saat itu merogoh kocek RM1,9 miliar atau setara Rp6 triliun. Jokowi mengatakan, Rp16 triliun lebih murah dibanding kerugian akibat banjir dahsyat di tahun ini yang mencapai Rp20 triliun.
SMART adalah terowongan terpanjang dengan teknologi paling maju di Malaysia, atau bahkan di Asia Tenggara. Terowongan ini mampu mengalihkan banjir, menjauh dari pertemuan dua sungai besar --Sungai Klang dan Kerayong-- yang mengalir melalui pusat Kota Kuala Lumpur. Jalur sepanjang empat kilometer di terowongan ini bisa berfungsi sebagai jalan tol jika kondisinya kering. Sekali dayung dua-tiga pulau terlampau--banjir reda, macet pun terurai.
Kepala Operasi SMART, Mohammad Fuad Kamal Ariffin, kepada NST mengatakan sejak dibuka tahun 2007 hingga akhir 2012, terowongan pintar ini telah 236 kali digunakan menangkal banjir. Tahun lalu, SMART digunakan 29 kali untuk mencegah air bah.
Menurut studi Departemen Irigasi dan Drainase Malaysia, SMART telah mencegah banjir yang bisa mengakibatkan kerugian hingga RM500 juta, atau setara Rp1,5 triliun.
SMART, masih papar Fuad, dijalankan dengan empat sistem operasi, tergantung intensitas air di Sungai Klang dan Ampang, dekat Kampung Berembang. Debit dan arus air dihitung dengan meter kubik per detik (cumec). SMART mampu menampung 3 juta cumec, setara dengan volume air hujan badai.
Jika pencatatan cumec kurang dari 70, maka SMART akan berfungsi sebagai jalan tembus kendaraan. Ini disebut Mode 1. Jika cumec tercatat di atas 70 dan di bawah 150, maka SMART akan masuk ke mode 2, sebagai jalan tol. Air yang berlebih di kolam penampungan Kampung Berembang akan dialihkan melalui gorong-gorong ke penampungan di Taman Desa, lalu dibuang ke Sungai Kerayong.
Jika level air mencapai di atas 150 cumec, maka SMART akan masuk ke Mode 3 dan memerintahkan evakuasi secepatnya bagi kendaraan di dalam terowongan dalam waktu satu jam. Setelah itu, terowongan akan ditutup untuk publik.
"Penutupan diperlukan demi mempersiapkan terowongan, untuk mengantisipasi penggunaannya guna menampung kelebihan air dan mencegah banjir di Kuala Lumpur," kata Fuad.
Jika air belum juga surut, atau semakin bertambah volumenya, SMART memasuki Mode 4. Gerbang banjir akan dibuka untuk mengalihkan air bah ke dalam terowongan. Selain itu, ada pula cekungan untuk resapan. SMART tunnel juga dilengkapi dengan ventilasi di setiap 1 kilometer. Ventilasi ini memungkinkan sirkulasi udara, sehingga kualitas udara di jalan tol tetap terjaga.
Terowongan ini juga dilengkapi dengan peralatan pemadam kebakaran, telekomunikasi, dan kamera pengintai. Masing-masing peralatan tersebut diletakkan pada titik-titik di setiap 1 kilometer.
Pipi monyet
Beda Malaysia, beda lagi Thailand. Kuala Lumpur punya terowongan panjang mengular, sementara Bangkok mengandalkan “pipi monyet”. Dengan sistem ini, hujan dan banjir dialihkan ke berbagai bendungan dan penampungan air. Air berlimpah ini akan disimpan selama musim penghujan. Pada musim kemarau, air ini dialirkan untuk keperluan irigasi pertanian, yang berguna dalam mendongkrak produksi padi.
Konsep ini persis seperti monyet yang sedang makan. Primata ini biasanya menyimpan makanan di pipinya, dan baru menelannya kemudian jika lapar. Orang Bangkok menamakannya Kaem Ling (pipi monyet).
Sistem penanggulangan banjir ini dikembangkan atas saran Raja Bhumibol Adulyadej setelah banjir besar tahun 1995. Saat itu, badai Lois menghantam, menyebabkan hujan lebat mengguyur wilayah utara. Sungai Chao Phraya meluap, dan Bangkok kebanjiran lebih dari dua bulan.
Sejak itu, Bangkok berbenah. Kota ini membuat lebih banyak danau, rawa, dan penampungan air. Total, terdapat lebih dari 20 rawa penampung air bah di seluruh Bangkok.
Tameng
Inggris tidak kalah canggihnya. Pemerintah kota London memiliki tameng banjir terbesar kedua di dunia untuk mencegah air Sungai Thames meluber ke kota dan menghalau gelombang tinggi mengempas London.
Tameng ini terdiri dari 10 baja setebal 40 milimeter, terbentang 520 meter melintangi Sungai Thames dengan Woolwich. Tiap baja memiliki bobot 3.300 ton. Saat tameng ditegakkan, tingginya setara gedung lima lantai.
Berkat tameng ini, 125 kilometer persegi wilayah London terlindungi dari gelombang tinggi dan banjir. Pelindung London ini diresmikan pada 8 Mei 1984 oleh Ratu Elizabeth II. Konstruksinya sendiri menghabiskan biaya hingga 534 juta pound, setara Rp8,156 triliun.
Lain lagi dengan Belanda. Memiliki daratan yang 25 persennya berada di bawah permukaan air laut, negeri ini harus ekstra waspada terhadap ancaman banjir. Sejak abad pertengahan, Belanda telah memiliki banyak tanggul dan dam. Selain itu, kincir angin yang menjadi ikon negara ini juga berfungsi memompa air dari daratan untuk dialirkan kembali ke Laut Utara.
Namun, sistem anti banjir ini masih jebol juga. Tahun 1953, Belanda dilanda bah nan hebat, yang mengempas hingga ratusan mil ke daratan. Bencana ini menewaskan 2.000 orang. Sejak itulah pemerintah Belanda mulai serius mengerjakan proyek raksasa penanggulangan banjir.
Bermodalkan US$700 juta, Belanda membangun Maeslant, tameng anti banjir terbesar di dunia. Tameng ini berupa tiga dinding laut raksasa sepanjang 213 meter dan tinggi enam meter. Letaknya di sisi New Waterway, jalur pelayaran dari Laut Utara menuju jantung kota Rotterdam.
Jika cuaca sedang tenang, tameng ini akan terbuka. Bila cuaca memburuk, sistem komputer canggih Maeslant akan memantau secara otomatis kondisi cuaca dan meningkatnya permukaan air laut. Dan bila air laut meningkat, 63 gerbang air yang digerakkan oleh hidrolik raksasa akan menutup.
Teknologi pertahanan banjir termutakhir yang dipadukan dengan sistem yang dibuat 2000 tahun lalu, menjadikan Belanda memiliki beberapa lapis sistem anti banjir yang handal. Beberapa kanal di negara ini yang dibuat sejak zaman Rennaissance masih berfungsi dengan baik. Stasiun pompa sejak Revolusi Industri juga berhasil mendukung kinerja bendungan dan tameng banjir abad ke-20.
* * *
Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) pada tahun 2011 lalu mencatat ada 20 wilayah di dunia yang rentan didera banjir besar di tahun 2070-an. Dua kota di peringkat teratas adalah Kalkuta dan Mumbai di India. Di urutan berikutnya berturut-turut adalah Dhaka di Bangladesh, Guangzhou di China, Ho Chi Minh City di Vietnam, Shanghai di China, Bangkok di Thailand, Rangoon di Myanmar, Miami di Amerika Serikat, Hai Phong di Vietnam, Alexandra di Mesir, Tianjin di China, Khulna di Bangladesh, Ningbo di China, Lagos di Nigeria, Abidjan di Pantai Gading, New York di AS, Chittagong di Bangladesh, dan Tokyo di Jepang.
Bagaimana dengan Jakarta?
Ibukota menempati posisi ke-20. Diprediksi, nanti di tahun 2017 ada sekitar 2,25 juta orang penduduk Ibukota yang direndam banjir.
OECD mengingatkan banyak kota besar di dunia berkembang terlalu cepat, namun tak diiringi dengan pembangunan teknologi penangkal banjir yang memadai. Jakarta adalah salah satunya, sebagaimana yang telah kita rasakan ketika dikepung air bah, Kamis, 17 Januari lalu. (kd)
0 comments:
Post a Comment