Showing posts with label Regulasi. Show all posts
Showing posts with label Regulasi. Show all posts
0

Kebijakan Pemerintah Soal 3G Kembali Dikritisi

KOMPAS/RIZA FATHONI

JAKARTA, KOMPAS.com - Lembaga pemantau kebijakan telekomunikasi Indonesia, Center for Indonesian Telecommunications Regulation Study (Citrus), meminta spektrum tambahan untuk frekuensi 3G operator telekomunikasi Axis dan Hutchison (Tri) dicabut dari posisi saat ini. Pasalnya, hal itu merugikan spektrum 3G milik Telkomsel.

Hal itu diungkapkan Direktur Citrus Asmiati Rasyid dalam sebuah diskusi yang digelar di Dewan Pers. "Axis dan Tri itu belum berhak mendapat spektrum itu. Pemerintah terlalu mengistimewakan mereka. Pemerintah harus mencabut spektrum yang diberikan ke Axis dan Tri," ungkapnya.

Penataan spektrum frekuensi 3G yang dilakukan Kementerian Komunikasi dan Informatika, Desember 2011, memberikan tambahan blok pada Axis dan Tri. Penataan itu menempatkan Telkomsel di blok 4 dan 5, Axis mendapat satu tambahan menjadi blok 2 dan 3, serta Tri yang semula hanya di blok 1, mendapat tambahan di blok 6.

Asmiati berpendapat, pencabutan spektrum Axis maupun Tri akan menguntungkan Telkomsel. Hal ini sekaligus memenuhi kebutuhan blok ketiga bagi Telkomsel.

Saat ini, untuk mendapatkan blok ketiga (blok 11 dan 12) Telkomsel harus melalui proses seleksi dan bersaing dengan operator lain yang berminat, terutama XL Axiata atau Indosat. Proses beauty contest maupun tender rencananya akan dilakukan pada kuartal I-2012.

Sesuai Ketentuan

Dihubungi terpisah, Head of Corporate Communication Axis Anita Avianty mengaku proses mendapatkan spektrum frekuensi 3G yang dimiliki Axis saat ini sudah memenuhi ketentuan pemerintah.

Menurutnya, tidak ada proses rekayasa antara Axis maupun pemerintah. "Itu sudah keputusan pemerintah. Kami hanya menjalankan semua ketentuan yang harus diikuti," kata Anita.

Terkait mekanismenya, Axis mengaku proses mendapatkan frekuensi 3G dilakukan secara terbuka di hadapan semua operator tanah air. Bahkan untuk mendapatkan blok kedua tersebut, Axis harus merogoh kocek sebesar Rp 320 miliar.

Biaya tersebut lebih tinggi dibandingkan harga frekuensi yang dulu didapatkan dengan harga Rp 160 miliar. "Itupun di luar biaya tahunan (annual fee) sebesar Rp 46 miliar per tahun," tambahnya.

Frekuensi yang Pernah Dikembalikan

Hingga berita ini diturunkan, Sidarta Sidik, Direktur Intercarier, Regulatory & Government Relations Tri belum membalas telepon dan pesan pendek dari Kompas.com.

Kepala Pusat Informasi dan Humas Kemkominfo Gatot S Dewa Broto membantah ada pelanggaran aturan terkait penentuan spektrum tambahan frekuensi 3G untuk Axis dan Tri. Semua proses mendapatkan frekuensi tersebut sudah memenuhi ketentuan.

"Sebenarnya, frekuensi itu memang hak mereka. Axis dan Tri pada tahun 2006 lalu pernah mengembalikan frekuensi tersebut. Jika tidak dikembalikan, biaya yang dikeluarkan semakin besar karena mereka pun belum memakai frekuensi tersebut," kata Gatot.

Belum Final

Pemerintah menganggap bahwa penataan frekuensi 3G hingga saat ini memang masih belum final meski semua operator sudah mendapat jatah frekuensi 3G masing-masing.

Nantinya, pemerintah bakal menggelar tender yang diawali dengan proses seleksi pengambilan blok 11 dan 12 yang bisa diikuti oleh semua operator yang berminat. Tiga bulan kemudian, pemerintah akan mengatur semua frekuensi 3G.

"Kami menjanjikan semua operator nanti bisa memakai frekuensi yang bersebelahan (contigous). Cuma kami belum tahu skenarionya karena pemenang tender untuk blok 11 dan 12 belum diketahui," katanya.


KOMPAS.com

0

Akomodasi IT, Pemerintah Siap Ubah Regulasi

Jumlah pengguna telepon seluler di Indonesia telah mencapai 200 juta pelanggan

Pemerintah akan melakukan revisi terhadap perundang-undangan yang ada untuk meng-cover perkembangan konvergensi teknologi.

VIVAnews - Perkembangan di dunia teknologi dan telekomunikasi melaju dengan sangat cepat. Sayangnya, pesatnya pertumbuhan tersebut tidak mampu diikuti oleh regulasi yang berkepentingan untuk mengaturnya. Namun demikian, pemerintah sebagai pihak pembuat kebijakan tidak tinggal diam.

"Pemerintah siap mengakomodasi tren yang terjadi di industri IT dengan mengubah regulasi," kata Aswin Sasongko, Dirjen Aplikasi Informatika Kemenkominfo pada ajang TechLife Innovative Award 2011, 8 Desember 2011.

Saat ini, kata Aswin, pengguna telepon seluler di Indonesia telah mencapai 200 juta pelanggan. "Melihat fakta tersebut, ada dua hal yang perlu disikapi yakni dari sisi besarnya market yang ada, dan juga besarnya peluang yang hadir," ucapnya.

Terkait contoh di atas, Aswin menyebutkan, konvergensi telah terjadi di dunia telekomunikasi. "Ponsel kini mampu menayangkan siaran televisi. Namun ada dua jenis siaran televisi yang bisa disaksikan lewat ponsel," kata Aswin. "Pertama, televisi yang menggunakan metode biasa, dan televisi yang siarannya berbasis internet (IP based)," ucapnya.

"Kalau dulu saluran operator penyedia layanan televisi berbeda-beda, ke depannya akan menjadi satu. Broadcasing radio, televisi, dan internet akan menggunakan 1 saluran yakni berbasis IP," ucap Aswin. "Untuk itu, pemerintah siap mengubah regulasi, contohnya agar Telkom juga bisa menjadi operator siaran televisi," ucapnya.

Aswin menyebutkan, pemerintah akan melakukan revisi terhadap perundang-undangan yang ada untuk meng-cover perkembangan konvergensi teknologi seperti itu.

Pada ajang penghargaan bagi inovasi di bidang teknologi yang dikembangkan oleh vendor pembuat berbagai perangkat teknologi dan penyedia layanan konten dan telekomunikasi ini, Aswin menyebutkan, pemerintah juga mendukung upaya masyarakat yang ingin memajukan dunia teknologi.

"Dari Kominfo, kami mendukung masyarakat yang membuat inkubator-inkubator teknologi, ataupun penghargaan di berbagai bidang, yang tidak hanya memberikan nilai tambah bagi produsen, tetapi juga bagi perkembangan konten lokal," ucap Aswin.



VIVAnews
0

UU Penyiaran Akan Direvisi

Ilustrasi

JAKARTA - Komisi Penyiaran Indonesia akan melakukan revisi terhadap undang-undang penyiaran no 32 tahun 2002 karena beberapa hal sudah tidak relevan.

"Kita akan mengkaji lagi dengan DPR tentang revisi UU ini" ungkap Komisioner KPI Pusat Mochamad Riyanto, dalam Konferensi Pers tentang Pandangan Hukum KPI atas rencana akuisisi EMTK dengan IDKM, Selasa (7/6/2011)

Revisi UU penyiaran ini terkait dengan adanya persamaan perlakuan terhadap lembaga penyiaran lain yang juga berpotensi menimbulkan monopoli.

"Undang-undang Penyiaran yang sekarang kan tidak bisa mengikat lembaga penyiaran yang sudah melakukan merger sebelum UU ini disahkan" lanjutnya lagi.

Meski begitu, ia mengakui bahwa bahwa bisnis corporate media memang tidak bisa dibiayai sendiri sehingga memungkinkan adanya investasi.

"UU Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran ini juga hanya mengatur bahwa penyertaan modal asing dalam bisnis media maksimal 30 persen, kalau yang investasi dalam negeri belum ada aturan pastinya" tutupnya.

Oleh karena itu, ke depan KPI memang berencana untuk mengadakan revisi UU tersebut agar dapat meningkatkan kapasitasnya sebagai pengawas lembaga-lembaga penyiaran di masyarakat. (tyo)


Okezone
0

Indonesia makin Tertinggal dalam Teknologi Informasi

RUU Konvergensi Telematika
JAKARTA--MICOM: Wakil Ketua Dewan Pers Bambang Harymurti mengkritik Rancangan Undang-Undang (RUU) Konvergensi Telematika. Niat pemerintah mengatur teknologi komunikasi dan informasi justru malah membuat Indonesia berjalan mundur.

Hal itu diungkapkan Bambang dalam diskusi 'Penyusunan RUU Konvergensi Multi-Media' yang digelar di Gedung Dewan Pers, Kebon Sirih, Jakarta, Kamis (26/5).

Bambang membandingkan pengaturan teknologi komunikasi dan informasi yang ada di Indonesia berbeda jauh dengan Malaysia. Pemerintah Malaysia secara terbuka dan tegas menyatakan internet bebas sensor, bandingkan dengan Indonesia yang penuh dengan aturan ketat di sana-sini.

"Semangat mengatur malah masuk ke wilayah konten. Ini kemunduran luar biasa. Malaysia itu kan negaranya lebih konservatif dari negara kita, tapi pemerintahnya sama sekali tidak ada larangan terhadap internet," tukas Bambang.

Pada zaman pemerintahan Mahathir Muhammad, Malaysia bahkan telah melahirkan visi 2020, yakni knowledge based society yang menargetkan masyarakat yang ada di luar bisa tersambung ke masyarakat yang ada di dalam Malaysia.

"UU di Malaysia tidak ada sensor internet. Pemerintah Malaysia bebaskan masyarakatnya untuk buka semua situs. Di Indonesia justru dikenai sensor internet. Indonesia sudah mendekati Iran," ujar Bambang.

Dampak dari ketatnya pengaturan tentu saja membuat Indonesia kian konservatif. Indonesia juga tertinggal dari Malaysia dari segi modernisasi. Bambang pun merekomendasikan kepada pemerintah Indonesia untuk tidak malu meniru yang baik dari Malaysia.

"Sudah 10 tahun internet bebas sensor di Malaysia, tapi masyarakatnya tidak menjadi bejat. Bahkan, dalam Human Development Index yang dirilis PBB, masyarakat Malaysia semakin tahun semakin lebih baik dari Indonesia," papar Bambang. (*/OL-11)


MediaIndonesia
0

UU Konvergensi Telematika Terganjal BRTI

Jakarta - Rancangan Undang-undang (RUU) Konvergensi Telematika masih dibahas oleh Kementerian Hukum dan HAM. Pembahasan ini belum juga rampung karena ada satu ganjalan, tentang Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI).

Demikian diungkap oleh Kepala Pusat Informasi dan Humas Kementerian Kominfo, Gatot S Dewa Broto, di sela acara Indonesian Cloud Forum di Upperroom, Wisma Nusantara, Jakarta, Rabu (25/5/2011).

"Ada satu poin krusial yang masih mengganjal, tentang pemberdayaan BRTI. Kalau yang lama tadinya BRTI cuma di lingkup telekomunikasi saja, kini dengan konvergensi, fungsinya jadi diperluas. Otomatis namanya juga bisa berubah jadi BRII, Badan Regulasi Informasi dan informatika," papar Gatot.

Dengan perubahan fungsi yang akan terjadi, Kominfo tak mau nantinya dianggap sengaja membatasi peran regulator telekomunikasi ini. "Kami tidak ingin mengecilkan fungsi BRTI, tapi malah memperkuat, membedayakan, dan mengoptimalisasikan sumber dayanya," sanggahnya.

Pembahasan ini diharapkan Gatot bisa segera rampung dan dikirimkan ke Sekretaris Negara. Kemudian dikeluarkan surat rekomendasi dari Presiden ke Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

"Kami harapkan akhir tahun ini RUU-nya sudah bergerak ke Senayan (gedung DPR). Setelah itu tergantung senayan, apakah bisa rampung di 2012. Kami tentu mengharapkan bisa cepat selesai karena industri sudah membutuhkan," pungkasnya.( rou / eno )


detikInet
0

Ijin Selular Terbit, BTEL Tingkatkan Layanan

BTel berharap persiapan jaringan diselesaikan tahun ini sehingga bisa segera beroperasi.

VIVAnews - Setelah izin prinsip selularnya terbit, Bakrie Telecom (BTEL) mulai berbenah. Dirut BTEL Anindya Bakrie menyatakan, pasca terbitnya izin, pihaknya mempersiapkan peningakatan layanan pada pelanggan.

"Kita berterimakasih pada pemerintah. Setelah ini kita lakukan persiapan dari sisi jaringan," kata Anindya, usai diskusi "Peluang dan Tantangan menuju Green Economy dengan Indeks SRI KEHATI" di Wisma Niaga, Jakarta, 11 Mei 2011.

Anindya menyatakan, pihaknya berharap persiapan jaringan bisa diselesaikan tahun ini sehingga bisa segera beroperasi dan memberikan layanan yang lebih baik lagi bagi pelanggan.

"Selama ini layanan Esia sudah terjangkau, dan nantinya akan dilengkapi dengan jangkauan yang lebih luas," ucap Anindya.

Mengenai target penambahan pendapatan, Anindya menyatakan bahwa pihaknya belum memasang target khusus. “Yang jelas, jika BTEL beroperasi di wilayah selular, maka pangsa pasarnya akan lebih besar,” ucap Anidnya. “Sekitar 10 kali lipat pangsa pasarnya. Kita dapat atau tidak, itu tergantung nanti, kita lihat saja,” ucapnya.

Adapun seputar teknologi 4G, Anindya mengatakan, pihaknya juga sedang menjajaki hal tersebut. “Ini juga dilakukan sebagai upaya dalam meningkatkan pelayanan pada pelanggan BTEL,” ucapnya.

Saat ini, BTEL masih menjajaki investasi atau akuisisi dengan perusahaan yang menyediakan layanan 4G. Namun demikian, Anindya belum bersedia memaparkan secara detail. “Intinya kita akan meningkatkan layanan, sehingga pelanggan mendapat service yang lebih baik,” tandasnya.



VIVAnews
0

Menkominfo Kabulkan Lisensi Seluler Bakrie Telecom

Bandung - Penantian panjang Bakrie Telecom untuk mendapatkan lisensi seluler berujung sudah. Pengajuan izin tersebut dipastikan bakal dikabulkan Menkominfo Tifatul Sembiring.

"Saya minta pendapat terakhir kepada BRTI (Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia), ternyata setelah pumungutan pendapat, 5 orang anggota BRTI setuju dan 2 tidak. Iya, saya akan tanda tangani proposalnya (izin lisensi selular - red)," ungkap Tifatul ditemui detikINET di Gedung Ahmad Bakrie, Kampus ITB, Senin (11/4/2011).

Tifatul mengaku sebenarnya dirinya sudah mendapatkan pengajuan izin lisensi seluler dari Bakrie Telecom sejak setahun lalu. Namun dirinya tidak kunjung mengabulkan dikarenakan dalam memberikan izin tersebut dirinya harus mengetahui landasan hukumnya.

"Jadi saya sudah mendapatkan hal itu sudah lama. Memang secara peraturan, kalau lewat dari 60 hari sudah harus keluar jawabannya. Iya atau tidak. Apalagi ini sudah setahun. Namun itu harus ada landasan hukumnya. Pendapat dari BRTI dan bagian hukum Dirjen Postel mengatakan ini tidak masalah. Ya sudah, saya akan tanda tangani itu," paparnya.

Sebelumnya, pemerintah akan menghapus Lisensi fixed wireless access (FWA) untuk layanan telekomunikasi bergerak dengan mobilitas terbatas di satu kode area. Operator FWA pun diperbolehkan untuk mengajukan lisensi seluler. Bakrie Telecom sebagai salah satu operator FWA pun resmi mengajukan lisensi seluler.

Pengajuan ini sempat terkatung-katung menanti teken dari Tifatul selaku Menkominfo. Padahal BRTI sudah merestui Bakrie Telecom untuk mengantongi izin seluler.

Disinggung kapan tepatnya realisasi pemberian izin tersebut, Tifatul menjawab dalam waktu dekat pengajuan dari Bakrie Telecom akan segera ditandatangi.

"Dalam waktu dekat," pungkasnya, tanpa merinci kapannya.( afz / ash )


detikInet
0

Soal Penyadapan, Menkominfo Setuju Diatur UU

Menkominfo Tifatul Sembiring (rou/inet)

Jakarta - Menkominfo Tifatul Sembiring mengaku setuju dengan Mahkamah Konstitusi yang merekomendasikan bahwa tata cara soal penyadapan harus diatur Undang-undang. Alhasil, pembahasan soal Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Penyadapan pun dihentikan.

Sebelumnya, Mahkamah Kostitusi mengabulkan uji materi pasal 31 ayat (4) Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Dengan keputusan ini maka tata cara penyadapan harus diatur dalam UU, tidak boleh lewat Peraturan Pemerintah.

Majelis menyatakan bahwa pasal itu bertentangan dengan UUD 1945. Pasal yang digugat itu sendiri berbunyi: "Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah".

Majelis menyatakan pasal itu tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Dalam pertimbangannya, MK berpendapat, penyadapan harus diatur oleh Undang-Undang.

Pasal itu sendiri dikatakan telah bertentangan dengan pasal 28 J ayat (2) yang berbunyi "Dalam menjalankan hak dan kebebasan setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis."

Dengan begitu, ketentuan Pasal 31 ayat (4) UU ITE yang mengamanatkan pengaturan intersepi (penyadapan) melalui Peraturan Pemerintah dianggap bertentangan dengan UUD 1945.

Menanggapi hal tersebut, Menkominfo pun tak terlalu mempermasalahkan. Pasalnya, ia beranggapan, PP yang dimaksud pun belum ada. Jadi mudah saja jika nantinya berubah.

"Yang pasti sampai saat ini tata cara penyadapan itu belum ada Undang-undangnya. KPK memang dikatakan berwenang melakukan penyadapan tapi tata caranya belum ada," kata Tifatul.

"Saya setuju jika soal penyadapan ini diatur, lewat Undang-undang lebih setuju lagi. Jadinya, ya pembahasan RPP di internal Kominfo berarti tidak akan berlanjut. Termasuk (RPP) yang ada di Kemenkumham akan ditarik, atau bisa juga kita tingkatkan statusnya menjadi UU," pungkasnya, ketika ditemui usai penandatanganan nota kesepahaman antara Kominfo dengan Badan Narkotika Nasional di Jakarta, Senin (28/2/2011).( ash / fyk )


detikInet
0

BRTI: Tak Ada yang Gratis, RIM!

Perusah BlackBerry itu harus membayar biaya hak pakai frekuensi selama di Indonesia

VIVAnews - Untuk kesekian kalinya, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) dibuat berang oleh Research In Motion (RIM). Sejak pertengahan tahun lalu, perusahaan produsen BlackBerry dari Kanada itu masih belum memenuhi permintaan pemerintah untuk menempatkan server di Indonesia.

Permintaan pertama belum berhasil dipenuhi, RIM kembali diterjang masalah baru. Kali ini, perusahaan itu ditengarai tidak membayar kewajiban biaya hak pemakaian (BHP) frekuensi.

"Soal BHP frekuensi, sampai hari ini masih dievaluasi apakah BHP untuk layanan BlackBerry sudah dibayarkan RIM kepada negara apa belum," ujar anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) Heru Sutadi pada VIVAnews.com, Rabu, 12 Januari 2011. "Seharusnya, RIM memenuhi kewajiban itu karena layanan mereka di Indonesia memakai frekuensi milik kita."

Selama ini, perusahaan yang berkantor pusat di Ontario-Kanada itu bisa dibilang membawa semua keuntungan yang didapatnya dari Indonesia secara penuh ke Kanada. Menurut Heru, RIM berhasil menyedot kocek para pengguna BlackBerry di Indonesia melalui operator-operator nasional tanpa memenuhi sejumlah kewajibannya kepada negara sebagai perusahaan dagang.

"Para operator, sebagai penyelenggara jaringan dan multimedia, dikenakan BHP telekomunikasi sebesar 0,5 persen dan pungutan USO (universal service obligation) untuk pembangunan Desa Berdering dan Internet sebesar 1,25 persen dari gross revenue. Selama ini, mereka memenuhi kewajiban tersebut," ujar Heru.

"Tetapi, kami belum tahu apakah kewajiban RIM sudah termasuk ke dalam kewajiban operator yang dibayarkan pada negara selama ini. Ini masih kami dalami. Kalau belum, mereka terpaksa dikenakan BHP frekuensi. Mereka tidak bisa memposisikan diri sebagai server center saja," jelasnya.

Menurut Heru, pungutan berupa BHP frekuensi adalah hal yang wajar. Dengan asumsi harga rata-rata sebuah perangkat BlackBerry adalah Rp2,5 juta, dikali 3 juta pelanggan, sekitar Rp7,5 triliun sudah dikantungi RIM selama berada di Indonesia.

Angka tersebut belum termasuk biaya langganan BlackBerry Internet Service (BIS) yang totalnya diperkirakan mencapai kurang lebih Rp1 triliun per tahun. "Mereka dengan bebas selama ini memakai frekuensi milik negara melalui mitra operator. Tapi, kontribusi mereka pada negara apa?" Heru mempertanyakan.

Belum lagi, pajak badan usaha yang harus dipenuhi PT RIM Indonesia. Seperti diketahui, RIM telah membuka kantor di Indonesia sekitar akhir September tahun lalu. Meski baru berusia tiga bulan, Heru mengatakan, RIM tetap harus melapor. "Mereka pasti wajib melapor ke kantor pajak. Mereka kan punya karyawan dan layanan BlackBerry yang sudah berjalan di Indonesia," ucapnya. (umi)


VIVAnews
0

WikiLeaks Pintu Masuk RUU Intelijen

"RUU intelijen yang selama ini tidak pernah terdengar tiba-tiba masuk DPR."

WikiLeaks (wikileaks.ch)

VIVAnews
- Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menyoroti Rancangan UU Intelijen yang saat ini sudah sampai ke Sekretariat DPR RI. AJI menduga itu ada kaitannya dengan apa yang dilakukan WikiLeaks, membocorkan ribuan kawat diplomatik milik Amerika Serikat.

"Kasus Wikileaks menjadi news pack RUU intelijen yang selama ini tidak pernah terdengar tiba-tiba masuk di DPR," ungkap staf Divisi Advokasi AJI, Eko Maryadi dalam jumpa pers Catatan Akhir Tahun AJI Indonesia di Jakarta, Selasa 28 Desember 2010.

Dikhawatirkan, dengan masuknya RUU ini ke DPR akan membatasi informasi yang dapat diakses oleh media dengan dalih data intelijen.

"RUU Intelijen ini satu-satunya RUU yang masuk ke Komisi I tidak tersentuh ranah publik dan siap disidangkan, ini berbahaya buat pers sementara kita tidak tahu draftnya" ungkapnya.

AJI meminta media untuk ikut mengawal proses RUU Intelijen ini dengan detil, jangan sampai membatasi kerja pers dan menghambat akses informasi publik.

Kritik serupa sebelumnya disampaikan Imparsial. Lembaga HAM itu meminta agar draf RUU Intelijen yang sedang dibahas di DPR tidak terburu-buru disahkan.

Sebab, draf RUU tersebut dinilai belum sepenuhnya mengakomodasi prinsip supremasi sipil, akuntabilitas, transparansi, rule of law, serta pengakuan terhadap HAM sebagai prinsip-prinsip negara yang demokratis.

Salah satunya soal penyadapan. "Ketiadaan pengaturan yang baku tentang mekanisme penyadapan berpotensi melanggar hak-hak privasi warga negara," kata Direktur Eksekutif Imparsial, Poengky Indarti. (umi)


VIVAnews
0

Pusat Riset Butuh Dukungan Regulasi

JAKARTA, KOMPAS.com - Ilmuwan-ilmuwan Indonesia tengah merintis pendirian pusat riset neurosains bernama Indonesia Neuroscience Research Institute (INRI). Pusat riset tersebut akan melakukan penelitian untuk mengatasi penyakit-penyakit degeneratif seperti stroke, jantung dan sebagainya.

INRI ditargetkan bakal menjadi pusat riset neurosains terbaik di Asia Tenggara. Pusat riset ini akan terintegrasi dengan rumah sakit dan universitas, mewujudkan pengobatan penyakit neurosains yang berdasarkan riset.

Namun, untuk mewujudkan impian tersebut tidak segampang membalik telapak tangan. Peran pemerintah tetap dituntut untuk menyukseskan pendirian pusat riset semacam itu.

"Berjalannya pusat riset ini akan bergantung pada regulasi dari pemerintah," kata Irawan Satriotomo, MD, PhD. di sela-sela International Summit 2010 Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional, 16-18 Desember 2010 di Jakarta. Ilmuwan asal Indonesia yang kini berkiprah di University of Wisconsin, Madison Amerika Serikat itu adalah ilmuwan yang terlibat dalam pembuatan konsep pusat riset tersebut bersama Prof Yohanes Surya.

Regulasi yang dimaksudkan terkait dengan keleluasaan bagi peneliti untuk melakukan riset, misalnya dalam penelitian sel punca. "Misalnya dalam riset sel punca, apakah diperbolehkan jika kita melakukan percobaan tertentu di Indonesia," kata ilmuwan yang berhasil mendapatkan grant dari Departemen Pertahanan AS terkait riset tentang spinal chords injury atau cedera sumsum tulang belakang.

Lebih lanjut, ia juga mengatakan,"Kita butuh support ya. Misalnya dalam hal fasilitas sehingga institut yang masih muda dan akan didirikan ini bisa bersaing dengan institut lain yang telah mapan di luar negeri. Kita tidak akan maju kalau tidak ada dukungan."

Berbagai tantangan akan dihadapi dalam pendirian pusat riset ini. Masalah sumber daya manusia menurut Irawan merupakan masalah yang paling utama. Jika sumber daya yang ada tak memiliki kualifikasi yang baik, maka riset akan sulit dilakukan.

Oleh karena itu, hingga saat ini Irawan tengah berusaha mengumpulkan sumber daya manusia yang dibidik bisa mengelola pusat riset ini. "Saya bersama Yohanes Surya telah punya list beberapa nama dan nanti akan coba kita kontak," paparnya.

Rencananya, pusat riset ini nantinya akan membuat kemitraan dengan beberapa pihak di luar negeri, seperti dengan University of Wisconsin tempat Irawan bekerja, juga dengan beberapa rumah sakit di Amerika Serikat serta perguruan tinggi. Di dalam negeri sendiri, kemitraan akan dibangun dengan industri dan universitas.


KOMPAS

0

Aturan Kandungan Lokal LTE Belum Siap

Sampai sekarang belum diketahui seberapa besar persentase minimal kandungan lokal.

Menara BTS (panoramio.com)

VIVAnews
- Sama halnya dengan layanan pita lebar nirkabel (wireless broadband), Kementerian Komunikasi dan Informatika berencana untuk menyusun regulasi terkait tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) pada instrumen infrastruktur 4G LTE (long-term evolution).

Namun, menjelang tahun 2011, meski operator dan vendor sudah 'ngebet' untuk menggelar 4G LTE, regulator justru belum memikirkan formula TKDN untuk perangkat LTE.

"Kita sudah mulai mengatur kebijakan untuk TKDN perangkat LTE, tapi belum sampai ke tingkat seberapa besar persentase minimal kandungan lokalnya," ujar Heru Sutadi, anggota badan regulasi telekomunikasi Indonesia (BRTI), pada wartawan di Jakarta, Rabu 14 Desember 2010.

Selain untuk menstandarisasi capaian tingkat komponen dalam negeri barang dan jasa yang dihasilkan oleh penyedia, TKDN diharapkan dapat membatasi penguasaan inventarisasi oleh asing di dalam negeri.

Sebagai perbandingan, pada Peraturan Menteri Komunikasi & Informatika No.7/per/m.kominfo/01/2009 tentang Penataan Pita Frekuensi Radio untuk Keperluan Layanan Pita Lebar Nirkabel (wireleless broadband), pasal 17 disebutkan:

Ayat 1: "Alat/perangkat telekomunikasi yang digunakan untuk keperluan layanan pita lebar nirkabel (wireless broadband) yang menggunakan pita frekuensi radio 2,3 GHz dan 3,3 GHz wajib memenuhi tingkat kandungan Dalam Negeri (TKDN) sekurang kurangnya 30 persen untuk Subscriber station ( SS ) dan 40 persen untuk Base Station (BS)."

Ayat 2: "Secara bertahap, alat/perangkat telekomunikasi yang digunakan untuk keperluan layanan pita nirkabel (wireless broadband) sebagaimana dimaksud ayat 1 wajib memenuhi TKDN sekurang kurangnya 50% dalam jangka waktu lima tahun."

Namun, Heru menjanjikan akan adanya aturan serupa untuk perangkat LTE, meski dia tak bisa menetapkan tenggat waktunya. "TKDN harus dipenuhi. Kami akan tetap konsisten untuk pengembangan industri dalam negeri. Tapi, sampai sekarang kami belum menentukan besar persentasenya. Angkanya bisa variatif," ucap Heru.

"Bangsa ini terlalu lama menjadi bangsa yang konsumtif, apalagi untuk produk telekomunikasi. Sebab itu, diharapkan dengan adanya LTE, kita bisa menumbuhkembangkan industri lokal, baik di sisi pengembangan chip, infrastruktur, ataupun konten. Secara menyeluruh, ini sebagai sistem untuk meningkatkan kualitas broadband dan GDP bangsa kita," pungkasnya.


VIVAnews
0

Polda Metro akan Tindak Pengendara yang Gunakan HP Saat Berkendara

Jakarta - Polisi tidak akan segan-segan lagi menindak pengendara yang menggunakan handphone sambil berkendara. Larangan ini sudah diatur dalam UU 22 tahun 2009 tentang Kepolisian dan Angkutan Jalan.

"Ada sanksinya. Bisa ditilang. Menggunakan alat elektronik contohnya HP sambil mengendarai," kata Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya, Kombes Royke Lumowa di Polda Metro Jaya, Jl Gatot Subroto, Jakarta Selatan, Selasa (30/11/2010).

Menurut Royke, polisi sudah menindak beberapa pengendara yang kedapatan sedang berkomunikasi melalui HP saat berada di jalan. Namun belum banyak yang diambil tindakan oleh polisi, umumnya mereka mendapat teguran.

"Sudah pernah ada yang ditilang tapi belum banyak. Ada yang baru kita himbau saja karena undang-undangnya masih baru," jelasnya.

Beda halnya dengan larangan penggunaan HP, larangan penggunaan sandal bagi pengendara motor hanya sebatas himbauan saja.

"Polisi mengimbau walau belum diatur undang-undang, kalau naik motor jangan pakai sandal jepit, demi keselamatan bapak dan ibu," saran Royke.

Bagaimana jika ada polisi yang menilang karena pengendara motor menggunakan sandal?

"Itu namanya dia mengada-ada. Mencari-cari kesalahan. Kan tidak diatur undang undang jadi tidak bisa ditilang," tutupnya.( ddt / eno )


detikInet
0

Pemerintah Kaji Lisensi Seluler untuk Bakrie Telecom

Jakarta - Pemerintah melalui Ditjen Postel Kementerian Kominfo dan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) tengah mengkaji untuk memberikan lisensi seluler kepada operator fixed wireless access Bakrie Telecom (Btel).

"Btel sudah mengajukan dan BRTI sudah memberikan keputusan untuk dievaluasi," ungkap Plt Dirjen Postel sekaligus Ketua BRTI, Muhammad Budi Setyawan kepada detikINET di Jakarta, Senin (29/11/2010).

Menurutnya, hasil evaluasi pemberian lisensi seluler untuk Btel ini akan diputuskan dalam waktu dekat. "Sudah di Ditjen Postel sejak minggu lalu, evaluasi modern licensing, secepatnya lah," tandas dia.( rou / wsh )


detiknet
0

'Pemerintah Jangan Memalak Industri Aplikasi'

Jakarta - Bisnis aplikasi mobile tengah berkembang pesat. Salah satu contohnya, beberapa aplikasi untuk BlackBerry sudah go internasional. Seiring dengan pertumbuhan tersebut, bisnis aplikasi tentunya akan sangat menguntungkan bagi para pelakunya.

"Aplikasi yang masuk di App World kan sudah bisa dijual. Ini membuka peluang sehingga para pengembang aplikasi bisa mendapatkan another revenue stream, untuk lokal dan taraf global," demikian dikatakan salah satu penggiat industri aplikasi BlackBerry, Kemal Arsjad saat dihubungi detikINET, Sabtu (9/11/2010).

Namun dikatakannya, pemerintah masih kurang mendukung industri yang sedang bertumbuh ini. "Ya, salah satunya peran pemerintah perlu untuk mendukung pertumbuhan industri semacam ini," kata Kemal.

Dia mengeluhkan, beberapa kebijakan pemerintah kurang berpihak. Lantas, dia pun menyinggung soal RUU Konvergensi yang kabarnya akan mengharuskan setiap aplikasi yang dijual harus memiliki izin dan dipungut Biaya Hak Penyelenggaraan (BHP). "Pemerintah jangan malakin dong," ketusnya.

Pasalnya, dia berpendapat kebijakan seperti ini sangat membebani industri. Karena menurutnya, proses pengembangan aplikasi dilakukan para developer secara mandiri, mengurus segala sesuatunya sendiri, serta sudah membayar pajak dan persyaratan lain.

Sebelumnya, Kemal juga pernah menyatakan kritikan ini dan mengatakan bahwa kebijakan semacam ini sama halnya seperti praktik pemungutan liar. Menurutnya, pemerintah sebaiknya mendukung dengan cara memberi keringanan dalam bentuk investasi atau dalam hal pajak. ( rns / wsh )


detikNet
0

Penyebar Hoax Diancam 6 Tahun Penjara

Jakarta - Bagi Anda yang suka mengirimkan kabar bohong (hoax), atau bahkan cuma sekadar iseng mendistribusikan (forward), harap berhati-hati. Ancamannya tidak main-main, bisa kena pidana penjara enam tahun dan denda Rp 1 miliar.

Demikian diingatkan Kepala Pusat Informasi dan Humas Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Gatot S Dewa Broto. Pelaku penyebar hoax bisa terancam pasal 28 ayat 1 dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Di dalam pasal UU ITE ini disebutkan, setiap orang yang dengan sengaja dan atau tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan, ancamannya bisa terkena pidana maksimal enam tahun dan denda maksimal Rp 1 miliar.

"Jadi mulai sekarang, setiap orang harus berhati-hati dalam menyebarkan pesan
berantai lewat perangkat elektronik. Sekarang banyak SMS, ВВМ, maupun email, hoax yang berseliweran. Yang mem-forward, disadari atau tidak, juga bisa kena karena dianggap turut mendistribusikan kabar bohong," papar Gatot kepada detikINET, Senin (8/11/2010).

"Dengan kondisi berduka seperti sekarang ini, kami mengharapkan masyarakat jangan turut memperburuk suasana. Kalau mendapat pesan berantai yang sekiranya hoax, tolong jangan sembarang di-forward. Laporkan saja kepada polisi," imbaunya lebih lanjut.

Menurut penjelasan Gatot, pesan hoax harus dilaporkan ke pihak berwajib karena sudah masuk dalam delik hukum. Setelah laporan diproses oleh pihak kepolisian, baru kemudian polisi bisa melakukan penyidikan dengan bekerja sama bersama Kominfo dan segenap operator telekomunikasi.

Dia kemudian mencontohkan kasus SMS 'Kirim Mama Pulsa'. Dikatakan olehnya, penanganan kasus itu merupakan hasil kerjasama pelanggan yang mengadukan kepada polisi dan kemudian diproses oleh operator untuk membantu penyidikan. Contoh kasus tersebut juga sekaligus membuktikan bahwa pelaku bisa saja tertangkap meskipun setiap harinya ada ratusan juta SMS yang berseliweran.

"Nah itu sebabnya, tolong jangan sembarangan mem-forward kabar yang belum tentu benar atau hoax. Dalam kasus bencana Merapi, misalnya, kasihan sudah banyak korban. Jangan asal forward lagi, bisa memperkeruh suasana," tandas Gatot.( rou / rns )


detikNet