Perusah BlackBerry itu harus membayar biaya hak pakai frekuensi selama di Indonesia
VIVAnews - Untuk kesekian kalinya, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) dibuat berang oleh Research In Motion (RIM). Sejak pertengahan tahun lalu, perusahaan produsen BlackBerry dari Kanada itu masih belum memenuhi permintaan pemerintah untuk menempatkan server di Indonesia.
Permintaan pertama belum berhasil dipenuhi, RIM kembali diterjang masalah baru. Kali ini, perusahaan itu ditengarai tidak membayar kewajiban biaya hak pemakaian (BHP) frekuensi.
"Soal BHP frekuensi, sampai hari ini masih dievaluasi apakah BHP untuk layanan BlackBerry sudah dibayarkan RIM kepada negara apa belum," ujar anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) Heru Sutadi pada VIVAnews.com, Rabu, 12 Januari 2011. "Seharusnya, RIM memenuhi kewajiban itu karena layanan mereka di Indonesia memakai frekuensi milik kita."
Selama ini, perusahaan yang berkantor pusat di Ontario-Kanada itu bisa dibilang membawa semua keuntungan yang didapatnya dari Indonesia secara penuh ke Kanada. Menurut Heru, RIM berhasil menyedot kocek para pengguna BlackBerry di Indonesia melalui operator-operator nasional tanpa memenuhi sejumlah kewajibannya kepada negara sebagai perusahaan dagang.
"Para operator, sebagai penyelenggara jaringan dan multimedia, dikenakan BHP telekomunikasi sebesar 0,5 persen dan pungutan USO (universal service obligation) untuk pembangunan Desa Berdering dan Internet sebesar 1,25 persen dari gross revenue. Selama ini, mereka memenuhi kewajiban tersebut," ujar Heru.
"Tetapi, kami belum tahu apakah kewajiban RIM sudah termasuk ke dalam kewajiban operator yang dibayarkan pada negara selama ini. Ini masih kami dalami. Kalau belum, mereka terpaksa dikenakan BHP frekuensi. Mereka tidak bisa memposisikan diri sebagai server center saja," jelasnya.
Menurut Heru, pungutan berupa BHP frekuensi adalah hal yang wajar. Dengan asumsi harga rata-rata sebuah perangkat BlackBerry adalah Rp2,5 juta, dikali 3 juta pelanggan, sekitar Rp7,5 triliun sudah dikantungi RIM selama berada di Indonesia.
Angka tersebut belum termasuk biaya langganan BlackBerry Internet Service (BIS) yang totalnya diperkirakan mencapai kurang lebih Rp1 triliun per tahun. "Mereka dengan bebas selama ini memakai frekuensi milik negara melalui mitra operator. Tapi, kontribusi mereka pada negara apa?" Heru mempertanyakan.
Belum lagi, pajak badan usaha yang harus dipenuhi PT RIM Indonesia. Seperti diketahui, RIM telah membuka kantor di Indonesia sekitar akhir September tahun lalu. Meski baru berusia tiga bulan, Heru mengatakan, RIM tetap harus melapor. "Mereka pasti wajib melapor ke kantor pajak. Mereka kan punya karyawan dan layanan BlackBerry yang sudah berjalan di Indonesia," ucapnya. (umi)
• VIVAnews
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment