Jakarta, Kompas - Kebutuhan energi nasional dipastikan meningkat pesat seiring dengan pertumbuhan penduduk dan kegiatan ekonomi yang menyertainya. Jika pertumbuhan penduduk tidak dikendalikan, energi akan menjadi persoalan serius di masa depan.
Indonesia sebenarnya memiliki sumber energi melimpah dan beragam, tetapi justru sebagian besar sumber energi itu diekspor. ”Jika sumber energi diperlakukan sebagai komoditas ekspor, itu tidak akan memberi nilai tambah apa-apa bagi industri dalam negeri,” kata anggota Dewan Energi Nasional, Rinaldy Dalimi, di Jakarta, Kamis (13/1).
Dalam ”Indonesia Energy Outlook 2009”, kebutuhan berbagai energi Indonesia pada tahun 2030 diperkirakan mencapai 2,92 miliar setara barrel minyak (SBM). Kebutuhan energi itu naik tiga kali lipat dibandingkan dengan kebutuhan pada 2010.
Namun, proyeksi ini dibuat berdasarkan asumsi jumlah penduduk 4,1 juta lebih kecil dibandingkan dengan penduduk 2010 sebenarnya. Asumsi pertumbuhan penduduk juga hanya 1,02 persen meski laju pertumbuhan penduduk 10 tahun terakhir mencapai 1,49 persen.
Jika kebijakan untuk mengonservasi energi, mendorong penggunaan energi terbarukan, dan pengurangan emisi karbon diadopsi, kebutuhan energi tersebut akan berkurang sebesar 12-16 persen.
Dengan kebutuhan tersebut, Indonesia masih mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri. Produksi energi Indonesia 20 tahun mendatang diperkirakan mencapai 4,6 miliar SBM.
Namun, saat ini sebagian besar sumber energi yang ada justru dikirim ke luar negeri. ”Sebanyak dua pertiga produksi batu bara dan setengah produksi gas alam Indonesia masih diekspor,” tegas Rinaldy.
Kebijakan yang tak memihak kebutuhan dalam negeri ini sudah terasa dampaknya dengan sulitnya industri dan pembangkit listrik memperoleh energi untuk menggerakkan mesin mereka. Masyarakat juga terkadang harus antre mendapatkan bahan bakar karena terbatasnya pasokan.
Untuk itu, pemerintah harus segera menegosiasi ulang perjanjian ekspor energi serta memfokuskan penambangan energi baru untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri.
Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Reformasi Pertambangan dan Energi Pri Agung Rakhmanto menyatakan, untuk Indonesia, penentu pemenuhan energi sangat bergantung pada infrastruktur dan tingkat pendapatan per kapita masyarakat. Jumlah penduduk memang akan meningkatkan kebutuhan energi. Namun, jika infrastruktur tidak tersedia, masyarakat akan menggunakan energi tradisional, seperti kayu bakar.
Buruknya akses terhadap energi membuat konsumsi energi per kapita Indonesia sangat rendah, hanya 2,8 SBM pada 2008. Konsumsi energi per kapita ini tidak meningkat cepat karena konsumsi pada 2000 hanya 2,28 SBM per kapita.
Rasio elektrifikasi Indonesia juga sangat rendah, hanya 66,6 persen. Bahkan, sejumlah daerah rasionya masih di bawah 50 persen. ”Bandingkan dengan konsumsi energi Malaysia yang sudah di atas 10 SBM per kapita,” ujarnya. (EVY/MZW)
• KOMPAS
0 comments:
Post a Comment