Wednesday, 1 February 2012

GAS BUMI: Jaringan distribusi ke rumah dibangun Rp230 miliar

JAKARTA : Pemerintah berencana membangun jaringan distribusi gas bumi untuk 16.000 rumah tangga di lima kota tahun ini dengan anggaran sebesar Rp230 miliar.

Dirjen Migas Kementerian ESDM Evita Herawati Legowo mengatakan kelima kota itu adalah Kota Prabumulih (Sumsel), Jambi, Cibinong (Bogor), Cirebon, dan Kalidawir (Jatim).

“Anggarannya tahun ini Rp230 miliar untuk 5 wilayah, jumlah total sambungannya 16.000 sambungan rumah,” ujarnya usai mengadakan video conference dengan Walikota Palembang, Surabaya, dan Tarakan dalam rangka monitoring dan evaluasi program pembangunan jaringan gas bumi untuk rumah tangga, hari ini.

Evita mengatakan terkait program jaringan gas untuk rumah tangga ini, setiap tahunnya pemerintah melakukan dua hal, pertama adalah FEED (front end engineering sesign) dan DEDC (detail engineering design for construction). Kedua adalah pembangunan jaringan gasnya itu sendiri.

“Tahun ini, FEED dan DEDC dilakukan di Sorong [Papua], Balikpapan, Subang [Jabar], Lhokseumawe, Semarang, dan Cilacap,” ujarnya.

Menurutnya, pemerintah dan BP Migas akan mencarikan gas yang volumenya tidak besar untuk masing-masing wilayah yang dekat dengan sumber gas bumi. Pemerintah selalu menyediakan antara 1,5—2 juta kaki kubik (MMSCFD) per wilayah. Hal ini dilakukan agar daerah bisa mengembangkan sendiri jika ingin menambah sambungan di kemudian hari.

“Kami selalu carikan gas lebih dari kebutuhan. Maksudnya, kalau pemda nanti mengembangkan, dia ngga pusing lagi cari gasnya. Biasanya rata-rata kami carikan untuk masing-masing daerah 2 MMSCFD, cuma itu tidak akan terpakai semua. Gas untuk rumah tangga kebutuhannya kecil sekali,” ujarnya.

Jaringan gas rumah tangga mulai dibangun oleh pemerintah sejak 2009. Hingga 2014, pemerintah menargetkan program ini akan menjangkau 22 kota yang mencakup total 44 kelurahan. Sebelum 2009, PT Perusahaan Gas Negara Tbk sudah menggelar program serupa. Namun karena margin usaha yang kecil, akhirnya dikembalikan ke pemerintah.

“Dulu PGN awal-awalnya bangun, tapi karena PGN sekarang Tbk, maka keuntungannya harus lebih besar, maka [program ini] dikembalikan ke pemerintah,” jelas Evita.

Meski demikian, saat ini masih ada keluhan dari BUMD yang mengelola jaringan gas di daerah karena adanya sistem Take Or Pay (TOP). Dengan adanya sistem itu, BUMD tersebut harus membayar total gas sebanyak 2 MMSCFD yang sudah disediakan, padahal yang dipakai hanya sekitar 0,5 MMSCFD. Akibatnya, BUMD cenderung merugi.

Menanggapi hal ini, Evita mengatakan pemerintah akan membicarakan kembali dengan BP Migas untuk mengamandemen Perjanjian Jual Beli Gas (PJBG) antara KKKS yang memasok gas dengan BUMD.

“Kami kurang perhitungkan itu jadi TOP, karena gas yang tidak terpakai itu juga harus dibayar. TOP ini bisa diatasi bersama BP Migas dulu, baru bicara dengan kontraktor dan kelihatannya kami harus amandemen PJBG,” ujarnya.

Fathor Rahman, Tenaga Ahli Kepala BP Migas mengatakan dalam setiap kontrak jual beli gas selalu ada mekanisme TOP. Namun biasanya untuk kontrak-kontrak yang volumenya besar, seperti 20 MMSCFD dan 100 MMSCFD.

Mekanisme TOP diaplikasikan agar KKKS di hulu bisa mendapat jaminan bahwa gasnya akan tersalurkan. Namun untuk jaringan gas rumah tangga ini, sebenarnya gas yang dialokasikan juga hanya dalam volume kecil.

“Tapi jaringan gas rumah tangga ini kan gasnya kecil sekali. Tujuannya juga hanya untuk membantu rakyat yang khususnya tinggal di sekitar lapangan gas. Ini salah satu upaya bagaimana agar masyarakat kita dapat manfaat langsung [dari lokasi gas yang berdekatan dengan tempat mereka],” ujarnya. (sut)


Bisnis Indonesia

0 comments:

Post a Comment

 
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...