Yudhoyono mengingatkan, semua pengadaan di kementerian apa pun harus dipertanggung jawabkan dengan benar. Sebab, anggarannya tidak sedikit dan juga bertujuan untuk kesejahteraan negara dan rakyat. Terutama untuk anggaran pertahanan yang digunakan untuk menjaga kedaulatan serta pertahanan dan keamanan dalam negeri. Yudhoyono juga mengungkapkan, sudah lama menengarai adanya kultur mark up dan kongkalingkong dengan perusahaan tertentu sehingga merugikan negara.
Pemerintah, menurut Yudhoyono, sudah memberikan ruang dan kesempatan kepada siapapun untuk berbisnis dalam bidang pengadaan alutsista. "Kita bertekad jangan ada lagi seperti itu. Jalankan bisnis dengan baik, jangan ada mark up, lobi sana lobi sini yang akhirnya harga berlebihan, negara dirugikan, jumlah berkurang sehingga kemampuan negara, kemampuan prajurit, untuk bertempur menjadi berkurang. Itu prinsip yg harus dipegang teguh," tuturnya, dengan nada tegas.
Pemerintah, Yudhoyono menambahkan, akan tetap menerapkan kebijakan seperti ini. Meskipun, kata dia, mungkin ada pihak yang dibuat tidak nyaman dan bahkan merugi. Ketegasan diperlukan, menurut Yudhoyono, karena saat ini adalah era di mana pemerintah harus mempertanggungjawabkan semua yang dibelanjakan jika menyangkut anggaran negara.
Yudhoyono juga mengingatkan agar membuat perencanaan anggaran yang baik dengan kebijakan dasar menggunakan industri alutsista dalam negeri. Jika tidak tersedia, maka boleh melakukan pengadaan dari luar negeri. "Dengan kerangka kerjasama yang baik, kita bisa mandiri untuk alutsista," ujarnya.
Pengadaan Alat Tempur Sering Salah Kaprah
Hal tersebut disampaikan Wakil Ketua Komisi I DPR RI dari F-PDIP TB Hasanuddin, hari ini, di Jakarta. "Kalau ancamannya berbeda, tentu postur dan senjata yang dibutuhkan berbeda pula," kata Wakil Ketua Komisi I DPR RI TB Hasanuddin di Jakarta, Rabu (25/1). Ia menjelaskan secara teoritis, ada tahap-tahap yang harus dipahami ketika akan membeli atau membuat persenjataan bagi kepentingan pertahanan. Misalnya pengadaan harus didasarkan pada filosofi bangsa Indonesia tentang perang yang melahirkan doktrin perang. Dari doktrin ini, lahir strategi pertahanan yang didasarkan pada potensi ancaman.
MBT Leopard 2A6
Potensi ancamanlah yang kemudian menjadi titik pijak membentuk postur TNI dan alutsista yang dibutuhkan. Ia memberi contoh rencana pembelian 100 unit tank Leopard (50 tipe 2A4 dan 50 tipe 2A6) bekas Belanda yang tidak sesuai dengan doktrin pertahanan dan karakter geografis di Indonesia.
Jika jadi dibeli, tank berbobot 63 ton ini akan mengalami kesulitan mobilitas. "Tank ini sangat tidak cocok untuk manuver di wilayah geografis Indonesia yang gembur dan berawa. Selain itu, untuk sistem pertahanan pulau-pulau seperti di Indonesia juga tidak taktis. Angkatan Udara Indonesia tidak punya sarana untuk memindahkan tank-tank ini," jelasnya. Menurutnya, pengadaan Leopard perlu dikaji ulang karena procurement tank-tank berat tidak ada dalam rencana strategis (renstra) TNI 2009-2014. "Jika alasannya hanya karena murah. Buat apa beli barang murah tapi tidak ada gunanya. Pengadaan alutsista itu harus tepat guna," tegasnya.
Prototype Tank medium PINDAD yg masih dalam pengembangan (Foto Audryliahepburn)
Ditambahkan Hasanuddin, TNI juga tidak perlu membeli tank ke luar negeri karena PT Pindad telah mengembangkan medium tank 23 ton yang lebih cocok dipakai di Indonesia. Meski tidak menampik modernisasi diperlukan, TB Hasanuddin juga mengimbau pemerintah menekankan pendekatan terhadap industri pertahanan dalam negeri. "Banyak keuntungan yang bisa diperoleh jika pengadaan didatangkan dari indsutri dalam negeri. Misalnya, membuka lapangan pekerjaan, meningkatkan kemampuan menghasilkan suku cadang, dan kemandirian dalam sistem persenjataan," katanya.
KSAD Diperas Mafia Alutsista
Ribut mengenai rencana pembelian tank Leopard 2 dari Belanda ternyata didalangi mafia Alutsista, karena rencana pembelian tersebut sifatnya G to G, tidak melibatkan perantara sama sekali. Oleh sebab itu, mafia-mafia Alutsista itu melobi DPR agar menolak rencana tersebut, sebab merasa dirugikan. Menurut sumber yang dekat dengan kalangan politisi di DPR kepada itoday.
Sudah menjadi menjadi rahasia umum bahwa setiap pembelian senjata dari luar negeri, mafia Alutsista selalu ikut-ikutan dan mengatur semua kontrak yang dapat merugikan negara. Mafia Alutsista ini biasanya mark up harga senjata yang dibeli, menyuap oknum pejabat di kemhan dan DPR.
Berbeda dengan pembelian tank Leopard 2 dan pembelian senjata untuk kebutuhan TNI AD lainnya, KSAD Jenderal TNI Pramono Edhie Wibowo menegaskan tidak akan menggunakan jasa perantara, dan tidak akan ada satu sen pun uang negara yang terbuang percuma. Akibatnya rencana pembelian tank oleh KSAD ditentang habis-habisan.
Hal senada juga diungkap RE. Baringbing. Kepada itoday, Minggu (22/1). Mantan perwira Badan Intelijen Strategis (Bais) ini mengatakan, setiap pembelian peralatan militer memang selalu ada “calo.” Intinya, TNI tidak bisa mendapatkan senjata sesuai dengan keingginannya, tetapi harus sesuai dengan kemauan mafia Alutsista.
Tank ringan Scorpion TNI AD
Kejadian hampir serupa juga pernah terjadi di pertengahan dekade 1990-an, dimana TNI sudah melakukan kajian untuk membeli tank berat. Namun yang terjadi, TNI justru mendapatkan tank ringan Scorpion buatan buatan Alvis Vickers, Inggris. Dikemudian hari baru diketahui, ternyata tank ringan Scorpion buatan Inggris ini dibeli seharga tank berat Challanger 2. Diduga kasus mark up tersebut melibatkan keluarga Cendana.
Mafia Senjata, Calo dan DPR
DPR kita semakin lama semakin aneh. Masa rencana pembelian tank Leopard oleh pemerintah ditentang dan malah disarankan beli tank jenis lain??
Kelihatan sekali DPR kita dikendalikan oleh makelar senjata yg merasa dirugikan karena tak dilibatkan dalam pembelian tank Leopard tersebut. Padahal pembelian tank Leopard itu sudah sesuai dengan aturan, efisien dan bersih. Karena tidak melibatkan Mafia makelar senjata yang selama ini berkuasa. Pembelian tank leopard dari belanda itu G to G (government to government). Lalu Mafia2 makelar senjata berusaha melobi DPR agar menolak rencana tersebut. Mafia2 itu merasa dirugikan.
Sudah jadi rahasia umum bahwa setiap pembelian senjata dari Luar Negeri, Mafia2 makelar senjata itu selalu cawe2 dan mengatur semua kontrak yang merugikan negara.
Mafia2 makelar senjata itu biasanya mark up harga senjata yang dibeli. Bayar suap kemana2. Terutama kepada pejabat2 tinggi Dephan dan DPR.
Berbeda dengan pembelian tank Lepoard ini dan pembelian senjata2 lainnya untuk kebutuhan TNI AD, Kasad Pramono Edhie sudah tegaskan tidak menggunakan Calo. Akibatnya rencana pembelian senjata oleh Kasad ini ditentang habis - habisan karena pejabat2 Dephan dan DPR merasa tak bakal mendapat suap seperti biasa.
Alasan penolakan DPR terhadap tank Leopard terasa aneh dan dicari2. Ikut campur tentukan spek, minta TNI AD beli dari negara lain, type lain dst.
Inti dari penolakan pembelian 100 unit tank Leopard ex belanda yang masih gres ini adalah, ada pihak2 tertentu yg marah karena tak kebagian suap!! Mafia2 calo senjata, anggota DPR serta pejabat2 tinggi di Dephan kini bersatupadu menyerang KASAD yg dianggap "menghilangkan" rejeki mereka.
Tapi KASAD Jenderal Pramono Edhie sudah tegaskan beliau tidak mau beli senjata melalui Calo2 dan Mafia senjata yang selama ini berkuasa di Dephan dan DPR.
KASAD Pramono Edhie menegaskan bahwa tidak ada Satu sen pun uang negara yg akan terbuang cuma2 dalam proses pembelian senjata kebutuhan TNI AD. Ketika tau sikap KASAD Pramono Edhie yang keras & tegas, Tiga Sekawan bajingan itu (Calo, DPR dan Oknum Dephan) mulai melancarkan kampanye negatif.
Pesawat Hawk TNI AU (Foto not adriano)
Kampanye negatif tiga bajingan itu seolah mendapatkan dukungan dari Belanda ketika sejumlah Agta Parlemen Belanda tidak setuju dengan penjualan tank. Sudah jadi rahasia umum, senjata2 TNI kita sudah tidak layak pakai dan uzur. Senjata2 yang dulu dibeli banyak yg rusak. Dulu belinya sarat KKN!!
Pembelian tank dan pesawat tempur Hawks dari Inggris dulu terbukti dipenuhi suap dan mark up dengan pelaku utamanya Tutut Suharto.
Saking hebatnya pengaruh mafia dan calo senjata, seorang Jenderal pernah berkata bahwa TNI tak punya kewenangan minta senjata sesuai kebutuhan. Semua kebutuhan senjata, pembelian dan anggarannya ditentukan oleh para mafia dan calo senjata ini. Mereka suap oknum Dephan, DPR, TNI.
Dulu seorang anggota DPR Ade Daud Nasution pernah berusaha mencoba untuk melawan Mafia dan Calo senjata yg berkuasa di DPR, eh malah kena tonjok & ancaman pembunuhan.
Sekarang ini DPR kembali memihak para calo dan mafia senjata. Berapa mereka disuap? Tahap pertama saja anggaran pembelian senjata sebesar 3 Triliun.
Kelihatannya para mafia dan calo senjata ini selain ingin mengagalkan pembelian tank Leopard yang G to G, mereka juga ingin mengagalkan pembelian senjata lain. Target minimal para mafia dan calo senjata ini adalah untuk pembelian senjata2 yang lain dapat diserahkan kepada para calo. Jangan G to G lagi.
Jika pembelian senjata TNI diserahkan kepada para mafia atau calo, ini dipastikan uang negara akan lenyap triliunan rupiah. Karena pasti ada mark up minimal 40%.[berbagai sumber]
• RIMANews
Bukan rahasia umum banyak pejabat yang emang disponsori calo ini, dan di negara2 lain juga banyak kasus serupa dan harus di minimalkan ... tapi TNI harus menentukan sikap bahwa Alutsista yg akan dibeli benar benar kebutuhan bukan titipan seseorang / kelompok Mafia.
0 comments:
Post a Comment