Pengantar Redaksi
”Masih pakai Microsoft, to? Pantes gak saya buka. Saya biasanya akan langsung buka kalau .odt. Kalau .doc, dicuekin...,” demikian jawaban Onno W Purbo saat Kompas mengingatkan tenggat jawaban darinya untuk rubrik ”Kompas Kita”. Kompas memang melampirkan pertanyaan dari pembaca dalam format Microsoft Word.
Begitulah gaya Onno berjuang. Walaupun menyebut dirinya ”an ordinary Indonesian”, rakyat Indonesia biasa saja, di dunia teknologi informasi (TI), Onno sesungguhnya adalah seorang tokoh luar biasa. Kiprah pakar bidang TI ini tak diragukan lagi. Dia berjuang untuk akses internet murah dan perangkat lunak open source Linux. Onno percaya filosofi ”copyleft”. Banyak tulisannya dipublikasikan secara gratis di internet.
Mantan dosen Institut Teknologi Bandung itu menyebar keahliannya setiap saat, dari kota ke kota. Selain pakar internet, dia juga dikenal sebagai penulis, pendidik, dan pembicara seminar.
Dia tidak memegang smartphone seperti kebanyakan orang Indonesia yang genit dengan gadget canggih teranyar. Onno menggunakan netbook dan telepon seluler Android merek lokal. Selain aktif menyebarkan Linux, Onno juga dikenal dengan RT/RW-net, jaringan komputer swadaya masyarakat untuk menyebarkan internet murah. Karya inovatif lain dia adalah Wajanbolic, koneksi internet murah tanpa kabel.
***
Mungkinkah kita membuat jaringan Wide Area Network (WAN) di desa dan antardesa, termasuk yang remote area seperti desa-desa di Pulau Kangean dan Pulau Sepanjang, Madura, untuk transaksi online antarwarga desa? (Heru Hartanto, Madiun)
Pembuatan jaringan WAN sangat sederhana sebetulnya, baik antardesa, antarkota, maupun antarpulau.
Semakin pendek jarak, semakin mudah, semakin murah, dan semakin tinggi kecepatan.
Semakin jauh jarak, biasanya semakin mahal dan semakin rendah kecepatan.
Masalahnya adalah berapa biaya yang disediakan.
Ilmu membangun jaringan RT/RW- net ini bisa dibaca di http://belajar.internetsehat.org/wiki/index.php/Teknologi_RT/RW-net.
Untuk wilayah agak luas, jangkauan beberapa puluh kilometer, ada baiknya membaca e-book jaringan wireless di dunia berkembang http://wndw.net.
Untuk wilayah sepanjang Jawa-Madura atau Indonesia, sebaiknya menyewa backbone dari operator kemudian disebar menggunakan RT/RW-net karena akan lebih murah.
Jika pada suatu hari nanti kita semua beralih ke cloud computing, operating system, data storage, dan lain-lain, semua berada di cloud. Apa yang harus disiapkan khususnya oleh negara Indonesia? Bagaimana kiat agar aman dari kejahatan di cloud? (Sunu Permana, xxxx@gmail.com)
Saya melihat cloud sebagai mekanisme virtualisasi saja. Membuat sebuah sumber daya bisa bermanfaat lebih banyak.
Cloud akan tetap membutuhkan server, membutuhkan teknisi, dan membutuhkan programer, kecuali Anda ingin membeli semua dari provider komersial.
Kejahatan di cloud tak berbeda jauh dengan kejahatan yang ada sebetulnya. Jadi, teknik penyiapan sumber daya manusianya sama dengan infrastruktur yang sekarang sebetulnya.
Pak, mengapa di Indonesia kecepatan akses internet tidak seperti negara Asia yang lain, khususnya Jepang dan Korea Selatan? (Manan Tarigan, Medan)
Kalau dilihat dari sisi komersial sebetulnya sederhana. Kalau kita membeli barang eceran, pasti harganya akan mahal. Kalau kita membeli barang gelondongan, pasti harganya akan murah. Kalau kita memakai produk/server lokal, pasti harganya murah. Kalau kita memakai produk/server luar negeri, pasti membuat harganya mahal.
Saya ingin menanyakan tentang teknologi Super WiFi. Bagaimana penerapannya di Indonesia kelak? Adakah kemungkinan free seperti di frekuensi 2,4 GHz? (Guntur Pramono, xxxx@gmail.com)
Super WiFi bekerja di sela-sela frekuensi televisi di frekuensi 600 MHz. Asumsinya, televisi yang digunakan adalah televisi analog seperti yang sekarang. Jadi, ada sela antarkanal yang bisa dimanfaatkan.
Masalah dengan Indonesia ke depan, regulator akan memblok band televisi di UHF ini untuk kanal televisi digital. Jadi, tak akan ada sela sama sekali. Konsekuensinya, Super WiFi kemungkinan besar akan sulit diadopsi karena harus bertempur melawan investor televisi digital yang sudah membayar mahal untuk izin frekuensi.
Apakah internet gratis yang stabil dan berkualitas mungkin diwujudkan? (Miranti Cahyaningtyas, Gegerkalong, Bandung)
Jika kita cermat menelaah sejarah dan teknologi internet, sebetulnya internet dibangun atas dasar gotong royong dari rakyat, untuk rakyat, oleh rakyat.
Kita di Indonesia sering terkecoh menyangka bahwa internet hanya dapat dibangun operator dan provider dengan izin pemerintah. Ini salah besar!
Kalau kita telaah sejarah Internet Indonesia di http://belajar.internetsehat.org/wiki/index.php/Sejarah_Internet_Indonesia, awal internet di Indonesia adalah oleh rakyat Indonesia, bukan oleh pemerintah, bukan operator.
Kalau saja rakyat Indonesia menyadari ini dan mau mempelajari teknologinya, mau menginvestasikan, dan mau mengimplementasikan teknologinya, bukan sesuatu yang mustahil untuk memperoleh internet kecepatan tinggi yang stabil untuk memenuhi hak bangsa Indonesia.
Sayang, memang pemerintah kita sering tidak melihat hal ini sebagai sesuatu yang positif.
Kapan Indonesia bebas dari batasan, Pak? (Hendrikmsz, xxxx@yahoo.com)
Hmm.... Mungkin ini akan terjadi saat rakyat Indonesia berani mandiri berani berdikari; berani membuat infrastrukturnya sendiri; berani membuat gadget sendiri; berani membuat dan memakai sistem operasi sendiri; berani membuat server dan informasi sendiri; serta berani lepas dari ketergantungan pada bangsa lain....
Merdeka!
Saya juga alumnus ITB. Ayahanda Anda adalah Prof Hasan Purbo, Guru Besar Arsitektur ITB. Keahlian Anda di bidang teknologi informasi, rada jauh dengan Prof Purbo. Apakah beliau memberi kebebasan sepenuhnya kepada Anda? (Berlin Simarmata, xxxx@gmail.com)
Mungkin lebih tepatnya ayah saya almarhum secara langsung ataupun tak langsung banyak mengarahkan saya menjadi saya yang sekarang ini. Pengaruh beliau tampaknya justru sangat kental, he-he-he.
Mungkin bidang ilmu saya lebih ke arah TI, ini pun kebetulan ayah saya yang mengarahkan waktu saya kelas III SMA.
Yang lebih dominan adalah pola saya bergerak di masyarakat. Saya banyak sekali mengadopsi pola-pola yang digunakan ayah saya dalam memberdayakan lingkungan hidup melalui mekanisme pemberdayaan masyarakat dan gerakan-gerakan yang bersifat bottom-up berbasis komunitas. Maklum, saya sering secara tak sadar mendengarkan ayah saya mengobrol dengan teman-temannya di rumah pada malam hari dulu.
Masyarakat TI Indonesia sering dikatakan jauh tertinggal dibandingkan dengan negara-negara ASEAN, seperti Singapura, Malaysia, dan Vietnam. Menurut pendapat Kang Onno, cara apa yang paling efektif agar Indonesia dapat mengatasi ketertinggalan ini? (Sutiono Gunadi, Pamulang, Tangerang Selatan)
Mungkin bangsa ini tertinggal dari tetangga kita. Mungkin bangsa ini lebih miskin dari tetangga kita.
Namun, saya percaya bangsa ini bukan bangsa yang bodoh. Saya pribadi sering diundang untuk memberikan workshop TI untuk Thailand, Kamboja, Vietnam, Myanmar, dan lain-lain. Saya melihat bahwa kita bisa. Bangsa ini bisa!
Kuncinya ada di sistem pendidikan.
Kalau saja kita bisa melakukan manuver supaya 240.000 sekolah melek TI, 46,5 juta siswa kita melek TI dan menjadi pandai.
Saya yakin Singapura, Malaysia, dan Vietnam tak ada artinya apa-apa. Kuncinya ada di sistem pendidikan di Indonesia, bagaimana supaya 5 juta siswa masuk SD per tahun dan menghasilkan 5 juta sarjana setiap tahun.
Jangan seperti sekarang, hanya 600.000 orang yang jadi sarjana per tahun. Kita harus merombak sistem pendidikan yang ada agar hak asasi manusia untuk menjadi pandai terpenuhi.
Apa resep Anda kepada orang-orang muda Indonesia untuk bisa dan mau berjuang menyumbangkan tenaga dan pikiran bagi bangsa dan negara, yang notabene terbelenggu oleh konsumerisme instan? (Willy Soen, Solo)
Mungkin itu merupakan akumulasi strategi saat saya lepas atau pensiun dari PNS pada Februari 2000. Saya menjadi penganggur tanpa ada naungan (institusi).
Saya hanya bisa hidup saat saya bisa bermanfaat untuk orang banyak. Semakin banyak yang merasakan manfaat, semakin baik untuk saya. Saat saya tak bermanfaat, saya akan mati dengan sendirinya.
Rasanya sesederhana itu intinya, Pak.
Apa alasan utama Anda lebih memilih gadget buatan negeri sendiri? Menurut Anda, apa yang perlu ditingkatkan dari segi kualitasnya? (Andini, xxxx@gmail.com)
Betul, kebetulan saya banyak pakai barang buatan sendiri (Indonesia), baik itu ponsel, laptop, server, maupun sistem operasi.
Saya percaya bangsa ini hanya akan menjadi bangsa yang besar saat kita bisa mencintai apa yang kita buat sendiri.
Terus terang, dari sisi kualitas tidak jelek lo ponsel, laptop, dan server buatan Indonesia. Sama seperti buatan luar negeri.
Visi Anda adalah membuat pintar rakyat indonesia agar dapat hidup dari otaknya, bukan ototnya, tetapi Anda memilih melakukannya di luar sistem birokrasi. (Mochamad Mulyana, Duren Sawit, Jakarta)
Saat ini saya masih belum percaya dengan birokrasi di Indonesia. Kebanyakan mekanisme program di birokrasi di Indonesia lebih suka pengadaan barang dan mengutip untung dari persenan. Maklum, saya sudah beberapa kali kena batunya.
Saat program di birokrasi lebih suka untuk memandaikan dan memberdayakan masyarakat serta tidak melakukan persenan, mungkin saya akan berpikir untuk bersinergi lebih baik.
Selama ini, apakah produk-produk karya yang Bapak ciptakan sudah menyeluruh masuk ke daerah-daerah? Bagaimana cara Bapak untuk bisa merambah dan produk ini bisa dinikmati masyarakat Indonesia? (Subkhan, Ngaringan, Grobogan, Semarang, Jawa Tengah)
Terus terang dulu semua ide dan detail teknik dari berbagai inovasi yang saya utak-atik bisa bapak baca secara gratis antara lain di http://belajar.internetsehat.org/wiki.
Saya cuma rakyat Indonesia biasa. Saya bukan pejabat. Saya tak mempunyai banyak energi, uang, dan tenaga untuk menyosialisasikan inovasi tersebut ke bangsa Indonesia agar mereka yang di pelosok bisa menikmati inovasi tersebut.
Oleh karena itu, saya akan sangat berterima kasih kepada Anda-Anda yang mau membantu menyosialisasikan inovasi-inovasi tersebut ke ujung dunia di Indonesia.
Kang Onno, salam kebebasan. Sederhana pertanyaanku. Kenapa Kang Onno tak mau menjadi menteri? Tentu menteri yang tetap menjadi rakyat Indonesia biasa. (Robbyka Gheo, Makassar)
Jawaban singkatnya: tidak!
Jawaban panjangnya: saya lebih suka menjadi orang yang bermanfaat untuk bangsa ini.
Saya percaya bahwa nilai seseorang tak akan ditentukan oleh banyaknya harta, banyaknya kekayaan, tingginya pangkat dan jabatan, tingginya gelar, serta banyaknya ilmu. Nilai seseorang akan lebih ditentukan oleh berapa besar/banyak umat manusia yang memperoleh manfaat dari seseorang tersebut. (ush)
0 comments:
Post a Comment