"Kebun energi ini misalnya perkebunan sawit yang dikhususkan untuk bahan baku biodiesel, tidak boleh untuk keperluan lainnya seperti komoditas ekspor," kata Deputi Kepala BPPT BIdang Teknologi Informasi, Energi dan Material (TIEM), Dr Unggul Priyanto kepada wartawan di Jakarta, Rabu.
Ia menyatakan prihatin, produksi biodiesel saat ini hanya sekitar 10 persen saja dari kapasitas terpasang pabrik biodiesel yang mencapai sekitar 4 juta kiloliter per tahun karena pengusaha CPO (minyak sawit mentah) lebih senang mengekspornya ke pasar internasional terkait harganya yang sedang bagus Rp8.500 per liter.
Kondisi yang lebih parah, lanjut dia, dialami oleh bioethanol yang hanya diproduksi 1 persen dari kapasitas produksinya yang sekitar 300 ribu kiloliter per tahun, berhubung bahan bakunya berupa singkong, tebu dan sejenisnya lebih digunakan sebagai bahan pangan.
Menurut Kepala Balai Rekayasa Desain dan Sistem Teknologi BPPT Dr Adiarso, wilayah Indonesia sebenarnya sangat luas dan potensial dikembangkan menjadi area industri biodiesel yang berkelanjutan dan terintegrasi dari industri hulu sampai ke hilir.
Saat ini lahan sawit sudah mencapai 8,4 juta ha dari keseluruhan potensi seluas 45 juta ha, padahal produksi CPO saat ini sudah berlebih yaitu sekitar 25 juta ton per ha, ujarnya.
"Seandainya 0,5 persen atau sekitar sejuta ha saja dijadikan perkebunan energi dengan menanam kelapa sawit, maka bisa diproduksi biodiesel sebanyak 75 ribu barrel per hari, suatu jumlah yang sangat besar, termasuk untuk kebutuhan B10 (campuran 10 persen biodiesel dan 90 persen solar) atau bahkan B20 sekalipun," katanya.
Melalui kebun energi, lanjut dia, juga dimungkinkan dikembangkan pula beberapa jenis tanaman lainnya untuk produksi bioethanol seperti singkong, tebu sorgum dan lainnya, tergantung dari kecocokan lahan.
Pada prinsipnya, ujar dia, perkebunan energi ini merupakan sebuah entitas bisnis perkebunan milik pemerintah yang nantinya menjalankan usaha khusus dalam penyediaan energi bagi masyarakat.
Bila konsep ini berhasil, urainya, sangat dimungkinkan pasokan biofuel akan stabil termasuk harganya yang bisa menjadi cukup murah di bawah harga solar bersubsidi Rp4.500 per liter.
"Brazil adalah contoh negara yang berhasil mengembangkan bioethanol dari tanaman tebu. Indonesia seharusnya juga bisa," katanya.(D009)
0 comments:
Post a Comment