Showing posts with label IPB. Show all posts
Showing posts with label IPB. Show all posts
0

Mahasiswa IPB inovasi biji karet jadi keripik

BogorMahasiswa Institut Pertanian Bogor yang tergabung dalam kelompok Program Kreativitas Mahasiswa Bidang Penelitian (PKMP) berhasil menginovasi biji karet sebagai kudapan sehat dan bergizi.

Biji karet dapat dijadikan keripik. Selain mengandung protein yang cukup tinggi, biji karet juga menandung asam amino esensial yang berguna untuk tubuh," kata Ketua PKMP IPB Ahmad Mupahir di Bogor, Jawa Barat, Jumat.

Bersama teman satu tim, yakni Dede Permana, Ratih Kemala Dewi, Jun Harbi, dan Pipin Urip Kurniasih, mereka meneliti kandungan protein yang terdapat dalam biji karet cukup besar, yakni 23 persen.

menurut Ahmad Mupahir, keripik merupakan makanan ringan khas Indonesia, di mana semua masyarakat menyukai kudapan itu.

Namun, kata dia, selama ini keripik hanya dikenal menggunakan bahan baku singkong atau pisang.

"Kami memilih biji karet sebagai terobosan baru dan dalam rangka memanfaatkan hasil alam yang dianggap limbah," katanya.

Ia menjelaskan, proses pembuatan keripik biji karet tidak terlalu sulit, yaitu biji karet yang putih dibersihkan agar getahnya hilang.

Kemudian, bahan tersebut direndam agar racunnya hilang.

Selanjutnya selama 30 menit direbus supaya steril, lalu dihancurkan dengan mesin penggiling.

Tahapan selanjutnya, adonan diberi bumbu, dipipihkan dalam bentuk lembaran, dan dipotong dalam bentuk keripik.

Proses selanjutnya, yakni digoreng menggunakan minyak goreng dan diberi penyedap rasa serta dikemas, hingga keripik siap dipasarkan.

"Kami berharap inovasi ini bisa diaplikasikan warga untuk membantu masalah kemiskinan dan gizi buruk," katanya.

Ia menambahkan, biji karet, adalah salah satu bahan pangan yang belum dimanfaatkan maksimal.

Selama ini, katanya, biji karet hanya dijadikan alat permainan anak-anak.

Ada pula, kata dia, warga desa memanfaatkan biji karet sebagai bahan baku dasar pembuatan tempe.

Dengan inovasi yang dilakukan timnya, ia berharap ada pengayaan baru terhadap bahan yang selama ini belum banyak dimanfaatkan, namun punya nilai protein yang baik.(ANT)


  ● Antara  
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgooV1VxZtEsH4vI20hI-r2oQ16VSeAVhaU051orN-_f14Dy4r7Abm-QuaFrw4Y1yHdzPjiTzcgMX9SJi0KfjrQRJwsPhAAscD9wCxqg1CxOhldL5FQjlgoagk76DSQbpmT__OEVvhDSXM/s35/cinta-indonesia.jpg
0

IPB Temukan Telur yang Produksi Antibodi

http://www.mediaindonesia.com/spaw/uploads/images/article/image/20121231_120215_telur-D.jpgBogor | GURU besar Institut Pertanian Bogor Prof Retno D Soejoedono menemukan telur Immunoglobulin Y (Ig Y), yang bisa digunakan untuk memproduksi antibodi.

"Telur ini memiliki khasiat anti terhadap berbagai macam penyakit, di antaranya adalah penyakit flu burung, antitetanus dan antidiare," katanya di Bogor, Jawa Barat, Minggu (30/12).

Ia menjelaskan, telur ayam yang dapat dijadikan sebagai pabrik biologis yang bisa digunakan untuk memproduksi antibodi, juga dapat digunakan sebagai imunoterapi (imunisasi masif).

Retno D Soejoedono, ahli Kedokteran Hewan IPB itu melakukan uji coba pada telur, didasari karena telur ayam memegang peranan penting dan strategis dalam menopang kesehatan masyarakat.

Apalagi, telur ayam merupakan sumber protein hewani yang sangat tinggi, murah, mudah disimpan dan diolah serta terjangkau oleh berbagai berbagai kalangan masyarakat.

Hasil karya ciptanya itu, saat ini dalam proses tahap dipatenkan. Ia berharap karyanya dapat segera diaplikasikan pada kalangan industri, bahkan usaha ternak skala kecil.

Sebutir telur temuannya itu mempunyai kandungan 50 hingga 100 mg Ig-Y setara dengan 200 mg Ig-G/40 ml darah yang dihasilkan dalam sekali pemanenan darah kelinci.

"Sehingga telur sebagai pabrik antibodi dapat dikatakan sebagai proses pemanenan yang sangat sederhana," paparnya.

Selain itu, telur juga dapat disimpan dengan mudah dalam jangka waktu yang nisbi lama, menghasilkan respon imun yang spesifik dan tidak memiliki efek samping karena tidak bereaksi dengan Ig-G mamalia. (Ant/OL-9)


Micom
0

IPB-UTM Malaysia jalin kerja sama perkebunan

http://katamata.files.wordpress.com/2008/08/logo-ipb.pngBogor Fakulas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) menjalin kerja sama dengan Universiti Teknologi Mara (UTM) Malaysia membahas masalah perkebunan.

Kepala Humas IPB Ir Henny Windarti, MS.i di Bogor, Jawa Barat, Rabu, menjelaskan kerja sama kedua pihak dilakukan dalam bentuk "The First International Plantation Conference", yang bertema "Capacity Building Development and Sustainable Technology".

Ia menjelaskan, kegiatan yang digelar di IPB International Convention Center, Kota Bogor itu dihadiri oleh para peneliti, pengusaha sawit dan mahasiswa dari kedua institusi.

Rektor IPB Prof Herry Suhardiyanto mengatakan bahwa keberlanjutan teknologi dalam pengembangan perkebunan yang diangkat melalui kerja sama konferensi itu merupakan isu penting yang menjadi "concern" IPB dan juga UTM.

"Saya sangat mengapresiasi inisiatif Fakultas Pertanian IPB dengan UTM," katanya.

Dengan kerja sama konferensi itu, kata dia,menunjukan peranan institusi akademik, pemerintah dan peneliti dalam berkontribusi untuk pengembangan dan pembangunan sektor perkebunan.

Sementara itu, wakil dari Malaysia, yakni Myagri`s Group Managing Director Norhayati Binti Md Taib memaparkan bagaimana keberhasilan pupuk Myagri dalam meningkatkan produksi di perusahaan-perusahaan perkebunan sawit di Malaysia.(A035)


0

Mahasiswa IPB ciptakan "virtual whiteboard" bantu tunarungu

http://img.antaranews.com/new/2012/01/thumb/20120129IPB.jpgBogor - Mahasiswa Institut Pertanian Bogor menciptakan teknologi "virtual whiteboard" yang dapat membantu proses kegiatan belajar mengajar matematika bagi siswa tunarungu dan tunagrahita.

"Ke depan, `virtual whiteboard` (layar sentuh virtual) ini akan dikembangkan menjadi paket pembelajaran untuk berbagai anak berkebutuhan khusus," kata ketua pelaksana program tersebut Wulandari di Bogor, Jawa Barat, Jumat.

Ia menjelaskan tim mahasiswa Departemen Ilmu Komputer Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (F-MIPA) IPB yang dipimpinnya itu, dengan alat bantu dimaksud mencoba membantu proses kegiatan belajar mengajar bagi peserta didik yang tunarungu dan tunagrahita agar dapat belajar dengan baik.

Bersama rekannya Ahmad Thoriq Abdul Aziz, Fahri Amirullah, Marsudi Wijaya, dan Puspasari Respatiningtyas, ia menemukan teknologi ini, yang terkait dengan penggunaan "virtual whiteboard" pada pembelajaran matematika interaktif untuk siswa penyandang tunarungu dan tunagrahita pada sekolah luar biasa (SLB) kategori B/C.

Dijelaskannya bahwa teknologi "virtual whiteboard" ini membantu siswa SLB untuk memahami operasi matematika sederhana seperti penjumlahan dan pengurangan.

Menurut dia, penggunaan "virtual whiteboard" dapat membuat proses pembelajaran lebih interaktif dan menarik, karena menggunakan animasi menarik dan layar papan tulis yang dapat langsung disentuh menggunakan alat yang dibuat.

Ia menjelaskan, teknologi itu ditujukan bagi siswa tunagrahita untuk menciptakan pembelajaran yang menarik dan meningkatkan partisipasi dalam belajar.

Bagi siswa tunarungu, kata dia, aplikasi ini menyediakan tambahan vitur audio dan visual dalam membantu meningkatkan pemahaman siswa dalam belajar.

"Teknologi `virtual whiteboard` yang kami kembangkan memiliki kelebihan yaitu dapat memudahkan pengajar untuk menulis langsung pada layar proyektor dan tidak menggunakan spidol sebagai alat tulis," katanya.

Pada pembelajaran di SLB, kata dia, dibutuhkan metode pembelajaran baru yang mengedepankan partisipasi aktif dari siswa SLB.

"Oleh karena itu, teknologi memberikan manfaat besar untuk mitra kami yaitu SLB B/C Tunas Kasih 2 Kota Bogor," katanya.

Ia menambahkan, penggunaan "virtual whiteboard" sebagai alat bantu pembelajaran matematika interaktif di SLB B/C ini memberikan respons yang sangat baik.

"Terbukti dengan meningkatnya keaktifan siswa saat menjawab soal-soal matematika yang diberikan," katanya.

Hanya saja, kata Wulandari, teknologi ini masih terbatas pada mata pelajaran matematika.

Karenanya, kata dia, para guru berharap pengembangan selanjutnya penggunaan teknologi ini dapat diterapkan pada mata pelajaran lain dalam pembelajaran di SLB, seperti mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam.

Menurut Kepala Humas IPB Ir Henny Windarti, MSi, ide Wulandari dan kawan-kawannya dalam bentuk Program Kreatifitas Mahasiswa Penerapan Teknologi (PKM-T) ini telah diberikan kesempatan mengikuti program 104 inovasi Indonesia yang diselenggarakan oleh Direktorat Kemahasiswaan IPB bekerja sama dengan Direktorat Riset dan Kajian Strategis IPB. ***3***

0

Hasil Penelitian Mangkrak, Hipmi Gandeng IPB

Logo HipmiJakarta - Hasil penelitian baik di sektor pertanian, pangan, hingga teknologi yang mangkrak di gudang-gudang universitas memunculkan simpati bagi para pengusaha. 

Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Raja Sapta Oktohari mengatakan hasil-hasil penelitian tersebut bisa diterjemahkan ke pasar.

"Hasil riset itu ada nilai ekonomisnya. Sayang jika hanya jadi pajangan di gudang," kata Okto, dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Kamis (4/10/2012).

Okto menilai, selama ini terdapat missing link antara dunia penelitian dengan pasar. Seharusnya, kata dia, setiap penelitian itu bisa dikoneksikan dengan kebutuhan masyarakat. Untuk menjembatani antara dunia akademisi dengan usaha, Hipmi telah menandatangani nota kesepahaman (memorandum of understanding/MoU) dengan Institut Pertanian Bogor (IPB) tentang kerja sama pengembangan kewirausahaan di lingkungan kampus dan pengembangan agribisnis.

"Kami berharap dengan kerja sama ini dapat meningkatkan kewirausahaan dan menjembatani dunia penelitian dan pengusaha," jelasnya.

Dalam kesempatan yang sama, Rektor IPB Herry Suhardiyanto mengungkapkan, dari ribuan penelitian yang dilaksanakan oleh IPB, hanya 10 persen yang bisa diterjemahkan ke pasar.

"Hanya 10 persen saja hasil kreasi kami, yang saat ini ada di masyarakat. Sisanya ya hanya berupa laporan di meja-meja saja. Ini sungguh disayangkan," jelasnya.

Menurutnya, saat ini banyak mahasiswa yang orientasinya bukan hanya kuliah tapi juga bisnis. Dia berharap, dengan semakin banyak mahasiswa yang berwirausaha, maka akan semakin besar pula hasil-hasil penelitian yang bisa diterjemahkan ke pasar. (gna)


© Okezone
0

IPB Kampanyekan Makan Beras Analog

IPB Kampanyekan Makan Beras AnalogBogor - Institut Pertanian Bogor (IPB) mengkampanyekan makan beras analog yang diikuti lebih dari 4.200 peserta bertempat di gedung Graha Widya Wisuda IPB, Kampus Dramaga, Sabtu (1/9).
"Kami menyiapkan sekitar 400 kilogram lebih beras analog yang dimasak dan disajikan dalam bentuk nasi kotak," kata Slamet Budijanto penemu beras analog.

Slamet yang juga Direktur Fakultas Teknologi Pertanian, menyebutkan beras analog tersebut memiliki kadar protein 8 persen, keunggulan diseratnya di atas 4 persen.

Ia menjelaskan, beras analog masuk dalam daftar 1 dari 103 inovasi nasional, dan pada tahun 2011 mendapat penghargaan dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat.

Slamet menyebutkan, saat ini pihaknya terus berupaya mematangkan alat dan produktivitas beras analog agar bisa diproduksi secara masal.

Menurutnya, ia mampu menghasilkan 240 kilogram beras analog per bulan dengan peralatan seadanya yang ada di laboratorium IPB.

"Kami berharap ada pihak swasta yang mau membantu memproduksi beras analog untuk mendukung ketahanan pangan nasional. Karena sumber karbohidrat saat ini masih didominasi oleh padi," katanya.

Slamet menyebutkan, walaupun Indonesia merupakan negara produksi padi nomor 1 dunia, tapi masyarakat Indonesia juga pemakan beras terbesar di dunia yakni 98 persen per orang per tahun.

Sebelum kegiatan kampanye dimulai, Menteri Pertanian Suswono secara resmi meluncurkan beras analog IPB.

Menteri mengatakan, hadirnya beras analog karya IPB membuktikan Indonesia mampu berinovasi menciptakan banyak mode pangan.(Ant/OL-9)

 Beras Analog IPB Bukti Indonesia Mampu Berinovasi

Menteri Pertanian Suswono mengatakan hadirnya beras analog karya Institut Pertanian Bogor membuktikan Indonesia mampu berinovasi menciptakan banyak mode pangan.

"Beras analog ini salah satu inovasi IPB, bahan utamanya berasal dari negeri sendiri seperti singkong, sagu dan jagung. Ini adalah bukti, bahwa Indonesia mampu menciptakan, mode pangan berbeda," kata Menteri saat meluncurkan beras analog dalam acara Dies Natalis IPB ke-49, di Kampus Darmaga, Bogor, Sabtu (1/9).

Menteri mengatakan, Indonesia merupakan negara yang memproduksi beras terbesar di dunia. Namun, Indonesia juga mengkonsumsi beras terbesar sehingga kebutuhan akan beras menjadi sangat besar.

Hadirnya inovasi beras analog, lanjut Menteri, dapat memenuhi kebutuhan pangan masyarakat Indonesia. Karena lanjut menteri sumber karbohidrat tidak hanya dari beras tapi banyak sumber lainnya.

"Indonesia kaya akan sumber pangan. Sumber karbohidrat tidak hanya beras, tapi dari pangan lainnya seperti ubi, sagu, singkong, jagung dan masih banyak lagi," kata Menteri di hadapan 4.200 mahasiswa baru IPB angkatan 49.

Menteri menyebutkan, masyarakat Indonesia tidak perlu khawatir akan krisis pangan. Indonesia tidak akan mengalami krisis pangan karena sumber karbohidrat di Indonesia tidak hanya bersumber dari beras.

Ada banyak sumber daya alam di Indonesia yang bila diolah secara baik dapat memenuhi kebutuhan pangan masyarakatnya. 

"Indonesia memiliki banyak sumber daya manusia dan sumber daya alam. Kita memiliki sumber karbohidrat cukup banyak, tidak hanya beras. Jadi jangan khawatir Indonesia tidak mungkin kekurangan pangan," kata Menteri.(Ant/OL-9)
0

IPB Hasilkan 510 Riset Inovasi

http://www.beritasatu.com/media/images//medium/15122011123408.jpg
Rektor IPB
Dari 510 inovasi, sebanyak 179 inovasi mendapat penghargaan dari Kementerian Riset dan Teknologi.

Institut Pertanian Bogor merayakan Dies Natalis ke-49 yang jatuh pada 1 September, hari ini.

Mengangkat tema Inovasi IPB untuk ketahanan pangan nasional, Dies Natalis IPB kali menghasilkan 510 inovasi baru.

"Selama 49 tahun IPB terus bergerak dan berinovasi. Memastikan benih yang ditanam petani kualitasnya bagus dan efisien. Selama ini IPB telah menghasilkan 510 inovasi baru," kata Rektor IPB Prof Herry Suhardiyanto, usai upacara perayaan Dies Natalis di lapangan rektorat Andi Hakim Nasoetion Kampus Dramaga, Bogor, Jabar, hari ini.

Herry menyebutkan, dari 510 inovasi, sebanyak 179 inovasi mendapat penghargaan dari Kementerian Riset dan Teknologi. Dalam lima tahun berturut-turut, lanjut dia, inovasi IPB selalu mendominasi dalam penghargaan Hak Kekayaan Intelektual (HKI).

Rektor mengatakan, tantangan IPB kedepan adalah mewujudkan inovasi agar dapat dimanfaatkan masyarakat luas. "Memang baru 10 persen inovasi yang digunakan masyarakat. Kita mendorong agar dapat diwujudkan," ujar Herry.

Menurut Herry, salah satu kendalnya adalah adanya "miss" antara pengguna inovasi dan pembuat inovasi. Sehingga karya yang dihasilkan tidak seluruhnya diwujudkan.

Untuk mewujudkan itu, lanjut Rektor perlu adanya keberpihakan masyarakat khususnya generasi muda untuk menggunakan hasil-hasil karya dalam negeri.

"Jika kita bersama-sama berpihak pada karya sendiri, akan mendorong perbaikan penggunaan inovasi anak bangsa," katanya.

Di sisi lain Herry mengatakan, untuk mencapai swasembada pangan diperlukan kerja keras dan ketekunan. Indonesia sebagai bagian masyarakat dunia, berkewajiban meningkatkan ketahanan pangan.

"Kita (Indonesia) juga harus membantu negara lain yang kurang subur untuk mencukupi kebutuhan pangannya. Ini menjadi tantangan IPB ke depan agar dapat mendorong ketahanan pangan nasional," kata Rektor.

Sebelumnya, Majelis Wali Amanat Institut Pertanian Bogor mendorong inovasi yang telah diciptakan dapat direalisasikan untuk kehidupan masyarakat luas.

"MWA mendorong agar inovasi-inovasi yang telah dilahirkan IPB agar bisa diaplikasikan ke masyarakat sehingga lebih bermanfaat," kata Ketua Majelis Wali Amanat IPB, Prof Dr Ir Muhamad Achmad Chozin, MAgr.

(Berita Satu)
0

IPB rancang "mesin pintar" pemupukan

Bogor (ANTARA News) - Tim dari Institut Pertanian Bogor yang terdiri atas dosen dan mahasiswa Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Fakultas Teknologi Pertanian, berhasil merancang "mesin pintar" untuk pemupukan.

Kepala Humas IPB Ir Henny Windarti di Bogor, Jumat menjelaskan, tim perancang itu adalah Radite P.A.S., Wawan Hermawan, B. Budiyanto, Pandu Gunawan dan M. Tahir Sapsal.

Mesin tersebut diberi nama "Mesin Pemupuk Dosis Variabel Dilengkapi dengan RTK-DGPS".

Menurut Radite, hubungan pupuk dan tanaman menjadi salah satu parameter yang akan menentukan hasil panen di samping faktor genetik, lingkungan dan budi daya.

Dalam konsep pertanian, katanya, presisi aplikasi pupuk harus dilakukan sesuai dengan kebutuhan spesifik dari tanaman.

Ia menjelaskan, konsep aplikasi pemupukannnya adalah tepat dosis, tepat waktu dan tepat lokasi.

Dosis dan waktu yang tepat diberikan dengan memperhatikan variabilitas terkait kondisi tanaman dan lingkungan di lahan, katanya.

RTK-DGPS, kata dia, diperlukan agar aplikasi pupuk diberikan tepat lokasi.

"Konsep pertanian presisi adalah pertanian yang tetap berorientasi kepada produksi tinggi yang tetap menggunakan bahan kimia tapi dampak lingkungan diturunkan," katanya.

Ia mengakui bahwa memang beberapa bahan kimia seperti pestisida dan herbisida masih digunakan dalam mesin ini, namun penggunannya tepat takaran.

Mengenai cara kerja mesinnya, kata dia, pertama, bagian kamera yang dibawa oleh pesawat melakukan pengamatan.

Dengan cara itu bisa ditentukan kapan pemupukan harus dilakukan plus dosis yang harus diberikan kepada tanaman.

Untuk ketepatan lokasi, mesin ini dibantu GPS. "Dari kamera tersebut bisa terlihat mana saja tanaman yang harus diberikan pupuk dengan dosis yang banyak atau dosis yang sedikit," katanya.

Sementara itu, untuk ketepatan pemberian dosis, mesin ini dilengkapi dengan perangkat kontroler dosis dan kontroler pengubah dosis, sehingga mesin ini bisa memberikan dosis sesuai kebutuhan tanaman.

Ia mengatakan, kelebihan bertani dengan menggunakan mesin pemupuk dosis variabel yang dilengkapi RTK-DGS dengan sistem pertanian konvensional adalah dampak lingkungan lebih terkendali karena penggunaan pupuk kimia yang sesuai kebutuhan.

Selain itu, katanya, juga dapat meningkatkan produktivitas tanaman.

Sementara, sistem pertanian konvensional biasanya dilakukan secara merata tanpa diketahui apakah tanaman tersebut memerlukan pupuk atau tidak, sehingga berdampak kepada lingkungan yang semakin menurun kualitasnya.(A035/M026)

(Antara)
0

IPB usulkan riset unggulan strategis nasional kedelai

Bogor (ANTARA News) - Wakil Rektor Institut Pertanian Bogor Prof Yonny Koesmaryono mengusulkan riset unggulan strategis nasional tentang kedelai seperti yang sudah ada pada beras dan jagung.

"Rusnas dapat menjadi pijakan pemerintah untuk menjaga ketersediaan kedelai dalam negeri dan mengurangi ketergantungan pada impor," katanya di Bogor, Jawa Barat, Selasa.

Ia mengemukakan bahwa dalam konsep ketahanan pangan, bila stok dalam negeri tidak ada, negara bisa mengimpor.

"Namun bila ternyata stok dunia juga terbatas, tidak ada artinya kita mempunyai devisa untuk mengimpor," katanya.

Menurut dia, kondisi seperti itulah yang terjadi saat ini, di mana Amerika Serikat sebagai produsen utama kedelai mengalami kekeringan, sehingga produksinya menurun.

"Sementara, permintaan kedelai dunia sangat besar. Kondisi ini menyebabkan harga kedelai naik," katanya.

Dengan adanya Rusnas kedelai, kata dia, diharapkan pemerintah mempunyai peta jelan untuk menuju swasembada kedelai.

Pada bagian lain, Yonny Koesmaryono juga menyatakan bahwa sebagai upaya mengantisipasi kelangkaan komoditas pangan nasional, termasuk kedelai karena keterbatasan lahan, ia mengusulkan tanah pertanian bebas pajak bumi dan bangunan (PBB).

"Sebagai upaya perlindungan konversi lahan pertanian untuk perumahan atau kegiatan komersial yang terus menerus terjadi, hendaknya pemerintah menaikkan PBB masyarakat yang mempunyai rumah lebih dari satu atau rumah bertujuan komersial," katanya.

Menurut dia, tidak dapat dipungkiri lahan pertanian kian hari kian sempit.

Kondisi itu menyebabkan produksi kedelai pun menurun. Sementara perluasan lahan pertanian subur tidaklah mudah dilakukan.

Lahan yang ada sekarang kebanyakan kurang subur seperti lahan di rawa, gambut, payau yang produktivitasnya kurang optimal, katanya.

Ia mengatakan, faktor rendahnya produktivitas kedelai selain karena kesuburan lahan juga disebabkan kondisi iklim.

Kedelai, kata dia, sebenarnya tanaman daerah beriklim subtropis. Di daerah asalnya, kedelai dapat berproduksi optimal yakni 5-7 ton per hektare.

Sementara di daerah beriklim tropis seperti di Indonesia, tanaman kedelai hanya mampu berproduksi 1,5 ton per hektare.

Oleh karenanya, kata dia, perlu beberapa langkah untuk mendongkrak produksi kedelai di daerah tropis di antaranya pemuliaan tanaman, jaminan harga yang layak, perluasan lahan di luar Jawa, dan peta jalan swasembada kedelai.(A035/N002)

(Antara)
0

Riset IPB: kacang komak bermanfaat antidiabetes

http://img.antaranews.com/new/2011/02/thumb/20110218103155ipblogo.jpgBogor (ANTARA News) - Riset yang dilakukan peneliti Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian IPB Dr Arif Hartoyo menyatakan bahwa kacang komak (Lablab purpureus (L.) Sweet) bermanfaat sebagai antidiabetes.

"Isolat protein kacang komak juga mempunyai sifat fungsional seperti antioksidan, antikolesterol, dan antiobesitas," katanya di Bogor, Jawa Barat, Jumat.

Menurut dia, dari hasil penelitian menunjukkan mencit yang terkena diabetes dan kolesterol tinggi kemudian diberi isolat kacang komak kondisi sel beta-nya sama dengan mencit normal.

Sementara mencit yang menderita diabetes dan kolesterol tinggi sel beta-nya tidak tampak, katanya.

Ia mengatakan, hal itu karena isolat kacang komak menstimulasi peningkatan jumlah sel beta pankreas, sekresi insulin, dan menghambat kerusakan sel beta pankreas sehingga jumlah insulin meningkat yang menyebabkan glukosa darah turun.

Jumlah insulin meningkat, katanya, juga menghambat sintesis VLDL (very low density lipoprotein) meningkatkan aktivitas reseptor LDL (low density lipoprotein) yang menyebabkan kolesterol turun.

"Dengan hasil penelitian ini kacang komak sangat bagus untuk penderita diabetes melitus, karena bisa menurunkan kadar glukosa darah," katanya.

 Pengganti kedelai

Ia juga menjelaskan keunggulan kacang komak, yakni sangat cocok sebagai pengganti kedelai.

Dikemukakannya bahwa kacang komak mengandung kadar protein tinggi yakni 21,42 persen dan lemak yang rendah yakni 0,98 persen.

Selain itu, kata dia, kacang komak juga bisa menjadi bahan baku pangan fungsional karena mengandung serat pangan tinggi, oligosakarida, fitosterol, flavonoid, globulin 7 S dan 11 S.(A035/R010

(Antara)
0

IPB Perkenalkan Budidaya Jenuh Air Kedelai

REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR - Dosen dan juga peneliti Institut Pertanian Bogor Prof Dr Ir Munif Ghulamahdi, MS memperkenalkan budidaya jenuh air untuk peningkatan produksi kedelai di lahan petani pasang surut.

"Budidaya jenuh air sangat baik dikembangkan di lahan petani pasang surut seperti di wilayah Sumatera, Kalimantan, dan Papua," katanya saat ditemui di Kampus IPB Dramaga, Kabupaten Bogor, Jumat (27/7).

Ia mengatakan, dari budidaya jenuh air di lahan pasang surut mampu memproduksi 2 ton kecambah kedelai per hektarnya. Dijelaskannya, produksi nasional kedelai rendah yakni 0,9 juta ton. Kondisi ini yang menyebabkan pemerintah harus impor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Rendahnya produksi kendelai lokal disebabkan beberapa hal diantaranya perluasan areal ke lahan sawah banyak terkendala karena konversi lahan (110.000 hektar/tahun) dan persiangan komoditas lainnya. "Oleh karena itu perlu pengembangan lahan sub optimal seperti lahan pasang surut," katanya.

Dijelaskannya, lahan rawa pasang surut di Indonesia sebesar 20,1 juta hektar dan 9,53 juta hektare cocok untuk usaha pertanian. Dari jumlah tersebut 2 juta hektar sesuai untuk kedelai.

Salah satu kawasan rawa pasang surut yang ada di Sumatera Selatan luasnya mencapai 1,3 juta hektare dan 0,33 juta hektare sudah dipergunakan untuk pertanian rapuh atau fragile.

Ia mengatakan, keutamaan dari budidaya jenuh air di lahan pasang surut selain dapat menghasilkan kedelai dalam jumlah banyak juga dapat mengatasi masalah pirit.

"Teknologi udidaya jenuh air menggunakan pola tanam di lahan rawa dimana kedelai ditanam di areal seluas 2 hektare lalu. Kedelai ditanam di bidang lahan seluas 2 meter dimana jarak antara masing-masing bidang dibatasi dengan air," katanya.

eknologi budidaya jenuh air, lanjut Prof Munif telah ia kembangkan di lahan petani di Desa Banyu Urip, Kecamatan Tanjung Lagos, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan. Dalam penelitiannya tersebut ia mampu menghasilkan 400 kecambah kedelai dalam satu tanaman kedelai.

Pada penelitiannya tersebut ia juga mengukur pengaruh tinggi muka air dan varietas terhadap produktivitas kedelai seperti para kedalaman muka air 10 cm, dapat menghasilkan 0,85 ton perhektar kedelai dari varietas tunggamus, 0,16 ton/ha varietas slamet, 0,30 ton/ha varietas wilis dan 0,09 ton/ha varietas anjasmoro.

Dari pengukuran pengaruh muka air tersebut diketahui semakin dalam muka air semakin tinggi produktivitas kedelai. Ia juga melakukan pengukuran pengaruh muka air dan lebar bedengan terharap produktivitas kedelai. Misalnya tinggi muka air 10 cm dengan lebar bedengan (petakan) 2 m, 4m, 6m dan 8 m.

Hasil penelitian ini juga mengukur pengaruh sistem budidaya dan varietas pada musim tanam I dan II terhadap produktivitas kedelai (tong/ha). "Hasil penelitian budidaya jenuh air ini sudah saya persentasinya dihadapan Kemenristek. Saya optimisi bila ini budidaya ini dilakukan melalui gerakan massal produksi kendelai lokal kita akan meningkat," katanya.

Prof Munif menambahkan, kualitas kedelai lokal Indonesia jauh lebih bagus dari kedelai impor. Kedelai lokal memiliki jenis 'nonstragenick' atau masih alami karena hanya sekali persilangan.

Untuk membuktikan keakuratan hasil penelitiannya, Prof Munif berencana akan kembali menguji coba budidaya jenuh air di lahan yang lebih luas di wilayah Sumatera Selatan. "Tahap awal masih dilahan 2 hektar kedepan akan dicoba di lahan hingga 10 hektar," katanya.

Sumber : Republika
0

IPB "runner up" kompetisi teknologi pangan internasional

Bogor - Mahasiswa yang mewakili Institut Pertanian Bogor (IPB) mengukir prestasi dunia dengan menjadi "runner up" kompetisi antarbangsa mengenai teknologi pangan di Amerika Serikat.

Kepala Humas IPB Ir Henny Windarti kepada ANTARA di Bogor, Jawa Barat, menjelaskan IPB diwakili oleh tim mahasiswa Program Studi Teknologi Pangan Departemen Ilmu dan Teknologi (ITP) Fakultas Teknologi Pangan, yang terdiri atas empat orang.

Keempat wakil dari IPB itu, yang diberi nama "Tim Mangnut" (Mango-nuts) yang terdiri atas mahasiswa semester 6, yaitu Berlian Purnama Sari sebagai ketua, dengan anggota Akhmad Fahmi Hikmatiyar, Brian Naranathan, dan Erydhatirti Diah Pramesti.

Para mahasiswa IPB itu berlaga pada kompetisi bertajuk "Developing Solution for Developing Countries" (DSDC), yang diselenggarakan oleh Institute of Food Technologists (IFT) pada tanggal 28 Juni 2012 di Las Vegas, Amerika Serikat.

Ia menjelaskan, tim IPB berhasil terpilih sebagai salah satu finalis yang diundang oleh IFT ke Las Vegas bersama-sama dengan dua tim lainnya dari Universiti Putra Malaysia (Vit-A-Go) dan Universitas Brawijaya (Stift Oorrid Mango) untuk mengikuti babak final di hadapan tim juri.

"Pemilihan finalis berdasarkan tahap seleksi pra-proposal yang sangat ketat yang diajukan oleh tim mahasiswa dari seluruh dunia, baik mahasiswa sarjana maupun pascasarjana," katanya.

Para finalis, katanya, harus memaparkan penelitiannya di depan tim juri yang terdiri atas enam orang dari wakil akademisi dan praktisi industri pangan di Amerika Serikat.

Mereka adalah Sajid Alavi (Kansas State University), Joseph M Awika (Texas A&M University), Betty Bugusu (Purdue University), Luiz Fernadez (Vice President Global Aplication, Tate & Lyle), dan Thomas Nack (Senior Scientist General Mills).

 Kudapan berbasis mangga

Tim IPB yang diketuai oleh Berlian Purnama Sari memilih tema tentang "Mangnut (Mango-nuts): Local Based Healthy Snackbar for Children of Kenya", yaitu konsep produk kudapan berbasis buah mangga lokal untuk target konsumen anak-anak kurang gizi di Kenya.

Mangnut dibuat dari buah mangga varietas Kent yang difermentasi terlebih dahulu kemudian diformulasikan dengan kacang tanah, kacang kedelai, "butter" dan gula.

Kemudian dibentuk seperti snackbar atau produk snak berbentuk batang, dengan konsep "one portion sizing" dengan menggunakan kemasan aluminium foil.

Produk Mangnut mengandung makronutrien (karbohidrat, protein, lemak) dan mikronurien (vitamin A, vitamin C, zat besi).

Dalam sesi paparan dan diskusi, produk Mangnut yang dikembangkan oleh tim ITP-IPB sangat memukau dan dipuji oleh tim juri sebagai "innovative and novel product" yang sangat potensial untuk dikembangkan di Kenya, karena kandungan gizi Mangnut yang baik untuk dapat membantu dalam mengatasi masalah kekurangan gizi di negara itu.

Di samping itu Mangnut juga dapat diproduksi dengan biaya dan investasi yang murah, sehingga layak untuk diproduksi oleh industri kecil sesuai dengan kondisi perekonomian di Kenya.

Sementara itu, dosen IPB Dr Feri Kusnandar yang ikut mendampingi tim ke Las Vegas menjelaskan bahwa tim Mangnut ITP-IPB berhasil menjadi juara kedua setelah dinilai tim juara.

Untuk juara pertama adalah tim UPM yang beranggotakan dua orang mahasiswa program doktor, dan empat orang mahasiswa program master.

Sedangkan juara ketiga adalah tim Universitas Brawijaya yang beranggotakan tiga orang mahasiswa S1.

"Kita berharap kemenangan tim IPB ini dapat menjadi inspirasi bagi mahasiswa Indonesia lainnya untuk mampu menunjukkan prestasi terbaik yang diakui di tingkat internasional sehingga dapat turut mengharumkan nama bangsa Indonesia," katanya.(A035)

Sumber : Antara
0

IPB kembangkan kenaf untuk bahan baku pulp

Bogor (ANTARA News)  - Dosen Institut Pertanian Bogor Dr Ir Dede Hermawan mengembangkan tanaman Kenaf (Hibiscus cannabinus L) melalui diversifikasi produk untuk bahan baku pulp atau bubur kertas.

"Batang kenaf secara teknis merupakan penghasil pulp mutu tinggi dibanding dengan bagas (ampas tebu) tetapi sedikit di bawah mutu pulp kayu pinus," katanya di Bogor, Minggu.

Dede mengatakan, tanaman Kenaf mempunyai peranan yang cukup penting bagi perekonomian Indonesia.

Kenaf merupakan salah satu jenis tanaman penghasil serat selain rosela (Hibiscus sabdariffa) dan yute (Corchorus capsularis).

"Serat yang dihasilkan Kenaf biasa digunakan untuk bahan baku pembuatan karung goni sebagai pengemas hasil pertanian, seperti : gula, gabah, beras, kopi, kakao, kopra, lada, dan cengkeh. Selain itu, serat kenaf juga digunakan sebagai bahan baku untuk pembuatan doortrim mobil," katanya.

Menurut Dosen di Departemen Teknologi Hasil Hutan IPB, upaya strategis untuk mempertahankan eksistensi tanaman kenaf di Indonesia adalah dengan diversifikasi produk.Peluang diversifikasi yang relevan dengan keadaan sekarang adalah untuk bahan baku pembuatan pulp.

Selain sebagai bahan baku pulp untuk papan serat dan kertas, bagian dalam batang (core) kenaf juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku papan partikel.

Lebih lanjut ia menjelaskan, sebagian besar bahan baku pulp diperoleh dari hutan alam yang sudah semakin habis dan hutan tanaman industri (HTI) yang baru siap ditebang pada umur 6 - 7 tahun.

"Selama HTI tersebut belum menghasilkan, maka tanaman semusim seperti kenaf sangat berpeluang untuk dipergunakan sebagai bahan baku pulp," ujarnya.(KR-LR)


0

IPB diminta siapkan ahli silvikultur handal

Bogor (ANTARA News) - Institut Pertanian Bogor diminta semaksimal mungkin untuk mempersiapkan ahli-ahli silvikultur yang handal.

"Usulan menanam kembali agar hutan kita lestari, budi daya bagaimana membangun hutan secara `well manage` menjadi tantangan tersendiri bagi para ahli silvikultur," kata staf pengajar Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB Dr Ir Supriyanto melalui kantor Humas IPB, Minggu.

Menurut dia, hutan di Indonesia terbagi pada hutan negara dan hutan rakyat, di mana keduanya membutuhkan ahli silvikultur dimaksud.

Ia mengemukakan, mengapa Indonesia perlu banyak tenaga ahli silvikultur, karena tenaga mereka dibutuhkan untuk dapat membangun hutan-hutan di Indonesia dengan manajemen yang baik.

Supriyanto memberi contoh bahwa luas hutan negara yang mencapai 130 juta hektare, ternyata 43 juta hektare di antaranya belum terjamah.

Di samping itu, kata dia, praktik pembalakan liar (ilegal logging), juta telah mengakibatkan rusaknya hutan-hutan yang ada.

"Karena itulah ahli silvikultur sangat dibutuhkan," katanya.

Sementara itu, staf pengajar Fahutan IPB lainnya Dr Ir Ricky Avensora MScF mengatakan, pengembangan "integrated silvopastural" diyakini mampu menekan laju kerusakan hutan hingga 30 persen per tahun, serta mampu pula merehabilitasi hutan ataupun lahan secara mudah dan mandiri.

"Dalam konteks teknis, jika saja ada satu kabupaten di provinsi yang kaya seperti di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Kalimantan Timur, dalam tiga tahun mau fokus menggunakan Rp500 juta/tahun dari anggaran belanja mereka untuk mengembangkan `integrated silvopastural` misalnya, akan mampu menekan laju kerusakan hutan hingga 30 per tahun," katanya.

Dalam pandangan Ricky Avenzora, dengan pengembangan "integrated silvopastural" tersebut, maka secara matematis mudah dihitung dan diyakini bahwa pada akhir tahun ketiga di sebuah kabupaten tersebut, akan mampu mempunyai industri peternakan.

Ia mengemukakan, berbagai turunan industri hilirnya setidak-tidaknya mampu mengurangi 20 persen angka pengangguran, nyata ataupun terselubung, di kabupaten tersebut per tahun.

Selain itu, juga akan mampu menekan laju kerusakan hutan hingga 30 per tahun serta mampu pula merehabilitasi hutan ataupun lahan secara mudah dan mandiri pada akhir tahun keenam.(A035/N005) 
 
 
0

Tiga Mahasiswi IPB Bikin Beras Analog Pengganti Beras Otentik

Keberhasilan IPB membuat beras analog mendapatkan apresiasi dari Menteri BUMN Dahlan Iskan. Beras sintetis itu diharapkan mampu meringankan "beban" beras alami sebagai makanan pokok rakyat Indonesia.

TANGGAL 17 April 2012 adalah hari bersejarah bagi Annisa Karunia dan dua rekannya, Suba Santika Widara dan Yulianti. Ketiganya mahasiswi Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian (Fateta) IPB Bogor.

Malam itu mereka mendapatkan apresiasi istimewa dari Menteri BUMN Dahlan Iskan. Annisa cs dijanjikan berangkat ke luar negeri karena berhasil membuat beras analog sebagai bahan makanan pokok pengganti beras.

Saat itu Dahlan memberikan kuliah umum memperingati 60 tahun Pendidikan Pertanian Indonesia di Gedung Graha Widya Wisuda IPB, Dramaga, Bogor. Dahlan lantas membuka sesi tanya jawab. "Begitu pembawa acara mengumumkan membuka sesi tanya jawab, saya langsung lari ke atas panggung. Tapi, di atas sudah ada 14 orang," kata Annisa saat ditemui di F-Technopark, laboratorium di Fateta, pekan lalu.

"Padahal, moderator hanya mengizinkan maksimal lima penanya. Akhirnya diundi. Sebenarnya saya kalah, tapi saya memaksa, karena lawan suit saya adalah adik kelas," sambungnya lantas tertawa.

Mahasiswi berjilbab itu pun berhasil mempresentasikan beras analog di depan Dahlan. Dia menjelaskan, beras analog merupakan beras sintetis yang dibuat dari berbagai macam tepung, seperti sorgum, jagung, atau sagu. Bentuknya mirip beras, tapi warnanya kecokelatan.

Perjuangan Annisa naik ke panggung tak sia-sia. Rupanya menteri yang mantan wartawan itu senang dengan presentasi Annisa yang detail dan jelas. Karya inovasi pangan buatan Annisa cs dipandang sejalan dengan misi Kementerian BUMN. Dalam ceramahnya, Dahlan mengatakan, pemerintah akan membuka pabrik sagu di Papua dan lahan sorgum di Nusa Tenggara Timur (NTT).

Memang belum dipastikan kapan Annisa dkk diberangkatkan ke luar negeri. Yang jelas, dia berharap kepergian mereka ke luar negeri bukan sekadar jalan-jalan. Mereka ingin mendapatkan beasiswa S-2 di Universitas Wageningen, Belanda. Perguruan tinggi tersebut mengkhususkan diri pada ilmu pertanian.

Jika harapan itu tak dikabulkan, Annisa berharap bisa diberi kesempatan menghadiri pertemuan Institute of Food Technologist (IFT) Expo di Las Vegas, Amerika Serikat, Juni mendatang. "Tapi, kalaupun nanti hanya jalan-jalan, kami tetap senang, karena hasil kerja kami diapresiasi. Tapi, harapan kami, sepulang dari luar negeri bisa membawa manfaat secara keilmuan," ungkap mahasiswi semester delapan ini.

Riset tentang beras analog sebenarnya dilakukan sebagai tugas akhir (TA) bagi Annisa, Suba, dan Yulianti. Kebetulan inventor beras analog adalah Slamet Budijanto, dosen pembimbing mereka sendiri. Tema beras analog adalah topik yang dia tawarkan kepada tiga mahasiswi itu.

Menurut Slamet, beras analog sebenarnya adalah riset yang dilakukannya tahun lalu dengan biaya dari Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek). Namun, sampai deadline presentasi, Slamet belum bisa membuatnya secara sempurna karena terkendala mesin.

Bagi Slamet, meski riset yang dilakukan Annisa dkk dibiayai sendiri, itu semacam penebusan utang pada Kemenristek. Hasilnya pun cukup signifikan. Bahkan, bentuk beras sintetis itu nyaris sempurna, menyerupai beras betulan. Hanya warnanya yang tidak bisa putih seperti beras otentik.

"Itulah kenapa disebut beras analog. Jadi, bentuknya beras, tapi bukan beras," tuturnya. "Waktu saya perkenalkan kali pertama, saya sempat diolok-olok, kok namanya analog, bukan digital saja," papar direktur F-Technopark itu lantas terbahak.

Slamet menambahkan, sebenarnya warna beras analog bisa di-bleaching biar putih. Tapi, Annisa cs tidak ingin memasukkan unsur-unsur kimiawi agar beras menjadi putih.

Keberhasilan membuat beras analog yang sempurna itu tidak lepas dari mesin extruder yang dimodifikasi sehingga mampu membuat bentuk oval seperti beras. Padahal, sejatinya mesin made in Tangerang itu untuk membuat snack (makanan ringan).

"Sebenarnya ada mesin rice maker khusus. Tapi, harganya selangit. Mesin bikinan Jerman harganya Rp 20 miliar. Sedangkan yang made in Tiongkok sekitar Rp 800 juta," paparnya.

Pada 1970-an sudah ada upaya membuat beras tiruan yang disebut beras Tekad, kependekan dari bahan-bahan pembuatnya, yaitu ketela, kacang, dan djagung (ejaan lama, Red). Namun, saat diperkenalkan kepada masyarakat, inovasi itu tak mendapatkan sambutan. Hal itu karena beras tekad ditujukan untuk masyarakat kelas ekonomi menengah ke bawah.

"Beras itu kan status sosial. Jadi, kalau sudah bisa makan beras, masak harus disuruh makan tiwul atau bahan lain. Ya, pasti masyarakat menolak," ucapnya.

Menurut Slamet, beras juga bisa menjadi komoditas politik yang membuat Indonesia terus bergantung pada pasokan beras dari luar negeri. Hingga saat ini Indonesia masih mengimpor satu juta ton beras per tahun. Padahal, Indonesia penghasil beras. Setiap tahun sawah-sawah di Indonesia menghasilkan 36-37 ribu ton.

Slamet menegaskan, sampai kapan pun Indonesia tetap mengimpor beras. Sebab, penduduk Indonesia merupakan konsumen beras terbesar di dunia. Satu orang Indonesia rata-rata mengonsumsi 139 kg per tahun. Impor terpaksa dilakukan karena tidak ada diversifikasi makanan pokok, sehingga semua dibebankan kepada beras.

"Dampaknya, berapa pun hasil panen, tak bakal mampu mencukupi perut seluruh rakyat Indonesia," tegas Slamet.

Nah, kehadiran beras analog diharapkan mampu meringankan beban beras sebagai bahan pangan pokok. Harapannya, masyarakat menoleh pada komoditas nonberas setelah melihat beras analog yang rasa dan cara memasaknya sama dengan beras.

Saat ini, kata Slamet, sudah ada investor yang bersedia menanamkan modal untuk memproduksi beras analog buatan IPB. Targetnya, pada Oktober mendatang, beras analog mulai dijual di pasaran secara masal. Sasarannya masyarakat menengah ke atas.

"Kalau kalangan atas tidak harus makan beras. Jadi, lebih mudah memasarkannya. Ini terbukti dengan adanya beras merah yang sekarang cukup populer," tuturnya. (jpnn.com/ humasristek)
0

Beras Analog, Diversifikasi Pangan dari IPB


Tepung gandum yang 100 persen diimpor menjadi contoh jebakan pangan yang menciptakan ketergantungan. Demikian juga beras. Periset teknologi pangan Institut Pertanian Bogor berupaya mencegah lewat inovasi beras analog. Bentuknya mirip beras padi, terbuat dari campuran bahan baku lokal, seperti sagu, sorgum, umbi-umbian, dan jagung.

Mulai Juni 2012 beras analog akan diproduksi secara komersial. Industrinya ada di Jawa Timur. Bahan baku untuk sementara dipilih sorgum, jagung, dan sagu,” kata Direktur Food Technopark Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) Slamet Budijanto, Rabu (9/5), di Bogor, Jawa Barat.

Menurut doktor kimia pangan dari Universitas Tohoku Jepang ini, sebagai produk diversifikasi pangan, beras analog memiliki keunggulan ditilik dari komposisi bahan baku.

Sorgum dipilih karena indeks glikemiknya rendah. Indeks glikemik adalah dampak makanan terhadap kadar gula darah. Makanan dengan indeks glikemik rendah lambat meningkatkan kadar gula dalam darah. Dengan demikian, makanan tersebut menyehatkan dan baik bagi penderita diabetes.

Selain itu, kandungan protein beras analog 12 persen. Lebih tinggi dibandingkan beras yang 6-8 persen.

Sorgum bisa ditanam di lahan kritis, seperti daerah kering Nusa Tenggara. Demikian pula jagung.

Kelebihan lain, sekali tanam, sorgum bisa dipanen sampai tiga kali. Batang sorgum bisa diolah menjadi silase untuk pakan ternak.

Bahan baku lain, jagung juga mengandung protein lebih tinggi ketimbang beras. Sagu memang tidak memiliki kandungan protein, tetapi indeks glikemik sagu dan jagung juga rendah. Kandungan serat beras analog cukup tinggi sehingga menunjang perbaikan pencernaan.

Dari sisi ketahanan terhadap lingkungan air payau, tanaman sagu cocok untuk menahan abrasi. Penanaman sagu di pesisir bermanfaat mengurangi dampak kenaikan muka laut akibat pemanasan global.

Dengan demikian, mengonsumsi beras analog, selain memetik manfaat indeks glikemik rendah, juga berkontribusi terhadap perbaikan lingkungan.

Paling tidak, makan beras analog yang berbahan baku sorgum, jagung, dan sagu akan lebih lama merasa kenyang dan mendapat kadar protein yang lebih tinggi dibandingkan beras.

Kadar protein tinggi pada beras analog bisa memperbaiki gizi masyarakat yang kesulitan mengakses sumber protein.

Teknologi pembuatan

Menurut Slamet, untuk membuat beras analog, diperlukan alat granulator atau mesin pencetak pelet, serta mesin lain.

Pembuatan beras analog di IPB menggunakan teknologi ekstrusi dengan sistem tekanan dan pembentukan ulir yang menggunakan mesin tween screw extruder. Hasil akhirnya menyerupai beras, tetapi dengan warna kecoklat-coklatan.

Hal paling kritis yang harus dikendalikan saat mencetak campuran bahan baku menjadi beras analog adalah ketepatan suhu, kecepatan ulir mesin, dan kadar air pada adonan.

Proses pembuatan beras analog meliputi penyediaan tepung sorgum (30 persen), tepung jagung (40 persen), dan tepung sagu (30 persen). Ketiga bahan dicampur hingga merata, lalu ditambahkan air secukupnya.

Adonan dimasukkan ke dalam mesin ekstruder. Dari proses itu, dihasilkan butiran menyerupai beras. Pengaturan kecepatan dan tekanan ulir, serta pemotongan pisau, sangat menentukan hasil butirannya.

Selanjutnya dilakukan pengeringan untuk mengurangi kadar air beras seminimal mungkin. Beras analog siap dikemas.

Berbeda dengan beras biasa yang dimasak bersama air, pada beras analog, air dididihkan lebih dulu, baru beras dimasukkan.

Fleksibel

Kandungan zat gizi dalam beras analog bisa disesuaikan dengan kebutuhan. Beras analog bisa dinaikkan kadar protein, serat, ataupun antioksidannya dengan menyesuaikan bahan baku.

Slamet menyatakan, beras analog bisa dibuat menggunakan bahan baku lokal daerah terkait. Ia mencontohkan, sumber karbohidrat bisa diperoleh dari tepung ubi kayu, ubi jalar, talas, garut, ganyong, jagung, sorgum, hotong, sagu, dan sagu aren.

Sumber protein dapat diperoleh dengan menambahkan tepung kedelai, kacang merah, atau jenis kacang-kacangan lain. Serat makanan bisa diperoleh dari bekatul atau bahan lain.

”Dengan memanfaatkan bahan pangan lokal untuk membuat beras analog, ketergantungan pada beras dan gandum impor dapat ditekan,” katanya.

Dengan berbagai kelebihan itu, beras analog bisa dikembangkan secara luas, bahkan bisa diproduksi besar-besaran untuk ekspor. Kekayaan biodiversitas Indonesia berupa aneka tanaman sumber karbohidrat, protein, dan serat merupakan modal nyata.

Sayangnya, karena bahan baku dan proses pembuatannya masih skala kecil, harga beras analog relatif tinggi, Rp 9.000-Rp 14.000 per kilogram. Jika telah diproduksi secara luas, diharapkan harga bisa lebih terjangkau masyarakat luas. (Kompas, 11 Mei 2012/ humasristek)

0

IPB Ciptakan Produk Pangan Mirip Beras

BOGOR--MICOM: Peneliti dari F-Technopark Institut Pertanian Bogor melahirkan produk pangan alternatif mirip beras, yang diberi nama "beras analog".

"Produk mirip beras yang kita kembangkan dibuat dari tepung lokal selain beras dan terigu," kata Direktur F-Tecnopark Fakultas Teknologi Pertanian IPB Dr Slamet Budijanto di Bogor, Jawa Barat, Minggu (15/4).

Ia menjelaskan, peneliti di perguruan tinggi dan badan penelitian, ada yang menyebutnya "beras artifical", "beras tiruan" dan lainnya.

Dikemukakannya bahwa produk pangan tersebut dirancang khusus untuk menghasilkan sifat fungsional dengan menggunakan bahan tepung lokal, seperti sorgum, sagu, umbi-umbian dan bisa ditambahkan "ingridient" pangan, seperti serat, antioksidan dan lainnya yang diinginkan.

Menurut dia, di luar negeri seperti China dan Filipina, diproduksi dari beras menir menjadi beras utuh untuk kebutuhan fortifikasi vitamin atau mineral tertentu.

"Di antaranya untuk fortifikasi zat besi," katanya menambahkan.

Mengenai teknologi pembuatannya, menurut dia, Technopark menggunakan teknologi ekstrusi menggunakan "tween screw extruder" dengan "dye" yang dirancang khusus dengan mengatur kondisi proses dan formulanya.

Secara umum, teknologi ekstrusi memungkinkan untuk melakukan serangkaian proses pengolahan seperti mencampur, menggiling, memask, mendinginkan, mengeringkan dan mencetak dalam satu rangkaian proses.

Rincian tahapan proses dalam pembuatan beras analog itu, pertama melakukan formulasi penimbangan bahan-bahan yang diperlukan, kedua pencampuran dengan menggunakan "mixer" sampai campuran bahan rata (homogen).

Ketiga, penambahan air dan dilakukan pencampuran menggunakan "mixer" sampai air bercampur dengan baik dan rata. Keempat, bahan yang tercampur dengan baik dimasukkan ke dalam "hopper".

Tahap kelima, adonan dilakukan ke dalam ekstruder dengan kondisi proses dengan mengatur T, V "auger", V "screew", dan V "piasu", sehingga didapatkan bentuk beras yang diinginkan.

Sedangkan tahapan keenam pengeringan dan ketujuh pengemasan.

Mengenai bahan baku, ia menjelaskan yang digunakan dari sumber karbohidrat adalah tepung umbi-umbian, seperti ubikayu, ubijalar, talas, garut ganyong dan umbi lainnya, tepung jagung, tepung sorgum, tepung hotong, sagu, dan sagu aren.

Untuk sumber protein berasal dari kedelai, kacang merah atau sumber lainnya.

Sedangkan "ingridient" lainnya berupa "stabilized rice bran" (sumber serat), minyak merah (antioksidan), vitamin, mineral, serta "ingridient" lainnya. (Ant/X-12/ip)


MediaIndonesia
0

IPB Ciptakan Beras Non-Padi

BOGOR--MICOM: Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor (Fateta IPB) siap mengembangkan beras yang dibuat dari bahan-bahan campuran non-padi, untuk mendukung program diversifikasi pangan di Indonesia.

"Kami di Fateta IPB sudah dapat menciptakan 'beras' yang bukan dari padi, tapi bentuknya seperti beras dan bisa ditanak seperti beras biasa," kata Dekan Fateta IPB Dr Ir Sam Herodian dalam acara pertemuan Himpunan Alumni Fateta IPB di Bogor, Sabtu (31/3).

Menurut Sam Herodian, pengembangan jenis pangan seperti itu akan lebih mudah diterima oleh masyarakat Indonesia yang sudah terlanjur tergantung pada beras sebagai bahan pangan utama.

Beras non-padi ini isinya bisa merupakan campuran dari jagung, umbi-umbian, sorgum dan bahan lainnya berbasis kearifan lokal yang merupakan sumber karbohidrat.

Diharapkan nantinya beras non-padi ini bisa turut berperan dalam upaya memperkokoh ketahanan pangan."Kami siap mengembangkan teknologi pertanian ini, dan mengembangkannya menjadi bisnis yang eksis di masyarakat," katanya.

Dia menambahkan untuk mengembangkan dan menyukseskan diversifikasi pangan melalui teknologi beras dari bahan campuran non-padi tersebut, perlu ada "kendaraan" yang pas.

Oleh sebab itu, ia meminta dukungan dari pemerintahan maupun sektor swasta dalam upaya menyukseskan diversifikasi pangan tersebut, sehingga ketergantungan pada impor beras dan terigu pun dapat dikurangi.

Dekan Fateta IPB itu mencontohkan Thailand bisa mengembangkan mie instan yang sebagian besar bahannya bukan dari terigu. (Ant/OL-9)


MediaIndonesia