Friday, 11 May 2012

Beras Analog, Diversifikasi Pangan dari IPB


Tepung gandum yang 100 persen diimpor menjadi contoh jebakan pangan yang menciptakan ketergantungan. Demikian juga beras. Periset teknologi pangan Institut Pertanian Bogor berupaya mencegah lewat inovasi beras analog. Bentuknya mirip beras padi, terbuat dari campuran bahan baku lokal, seperti sagu, sorgum, umbi-umbian, dan jagung.

Mulai Juni 2012 beras analog akan diproduksi secara komersial. Industrinya ada di Jawa Timur. Bahan baku untuk sementara dipilih sorgum, jagung, dan sagu,” kata Direktur Food Technopark Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) Slamet Budijanto, Rabu (9/5), di Bogor, Jawa Barat.

Menurut doktor kimia pangan dari Universitas Tohoku Jepang ini, sebagai produk diversifikasi pangan, beras analog memiliki keunggulan ditilik dari komposisi bahan baku.

Sorgum dipilih karena indeks glikemiknya rendah. Indeks glikemik adalah dampak makanan terhadap kadar gula darah. Makanan dengan indeks glikemik rendah lambat meningkatkan kadar gula dalam darah. Dengan demikian, makanan tersebut menyehatkan dan baik bagi penderita diabetes.

Selain itu, kandungan protein beras analog 12 persen. Lebih tinggi dibandingkan beras yang 6-8 persen.

Sorgum bisa ditanam di lahan kritis, seperti daerah kering Nusa Tenggara. Demikian pula jagung.

Kelebihan lain, sekali tanam, sorgum bisa dipanen sampai tiga kali. Batang sorgum bisa diolah menjadi silase untuk pakan ternak.

Bahan baku lain, jagung juga mengandung protein lebih tinggi ketimbang beras. Sagu memang tidak memiliki kandungan protein, tetapi indeks glikemik sagu dan jagung juga rendah. Kandungan serat beras analog cukup tinggi sehingga menunjang perbaikan pencernaan.

Dari sisi ketahanan terhadap lingkungan air payau, tanaman sagu cocok untuk menahan abrasi. Penanaman sagu di pesisir bermanfaat mengurangi dampak kenaikan muka laut akibat pemanasan global.

Dengan demikian, mengonsumsi beras analog, selain memetik manfaat indeks glikemik rendah, juga berkontribusi terhadap perbaikan lingkungan.

Paling tidak, makan beras analog yang berbahan baku sorgum, jagung, dan sagu akan lebih lama merasa kenyang dan mendapat kadar protein yang lebih tinggi dibandingkan beras.

Kadar protein tinggi pada beras analog bisa memperbaiki gizi masyarakat yang kesulitan mengakses sumber protein.

Teknologi pembuatan

Menurut Slamet, untuk membuat beras analog, diperlukan alat granulator atau mesin pencetak pelet, serta mesin lain.

Pembuatan beras analog di IPB menggunakan teknologi ekstrusi dengan sistem tekanan dan pembentukan ulir yang menggunakan mesin tween screw extruder. Hasil akhirnya menyerupai beras, tetapi dengan warna kecoklat-coklatan.

Hal paling kritis yang harus dikendalikan saat mencetak campuran bahan baku menjadi beras analog adalah ketepatan suhu, kecepatan ulir mesin, dan kadar air pada adonan.

Proses pembuatan beras analog meliputi penyediaan tepung sorgum (30 persen), tepung jagung (40 persen), dan tepung sagu (30 persen). Ketiga bahan dicampur hingga merata, lalu ditambahkan air secukupnya.

Adonan dimasukkan ke dalam mesin ekstruder. Dari proses itu, dihasilkan butiran menyerupai beras. Pengaturan kecepatan dan tekanan ulir, serta pemotongan pisau, sangat menentukan hasil butirannya.

Selanjutnya dilakukan pengeringan untuk mengurangi kadar air beras seminimal mungkin. Beras analog siap dikemas.

Berbeda dengan beras biasa yang dimasak bersama air, pada beras analog, air dididihkan lebih dulu, baru beras dimasukkan.

Fleksibel

Kandungan zat gizi dalam beras analog bisa disesuaikan dengan kebutuhan. Beras analog bisa dinaikkan kadar protein, serat, ataupun antioksidannya dengan menyesuaikan bahan baku.

Slamet menyatakan, beras analog bisa dibuat menggunakan bahan baku lokal daerah terkait. Ia mencontohkan, sumber karbohidrat bisa diperoleh dari tepung ubi kayu, ubi jalar, talas, garut, ganyong, jagung, sorgum, hotong, sagu, dan sagu aren.

Sumber protein dapat diperoleh dengan menambahkan tepung kedelai, kacang merah, atau jenis kacang-kacangan lain. Serat makanan bisa diperoleh dari bekatul atau bahan lain.

”Dengan memanfaatkan bahan pangan lokal untuk membuat beras analog, ketergantungan pada beras dan gandum impor dapat ditekan,” katanya.

Dengan berbagai kelebihan itu, beras analog bisa dikembangkan secara luas, bahkan bisa diproduksi besar-besaran untuk ekspor. Kekayaan biodiversitas Indonesia berupa aneka tanaman sumber karbohidrat, protein, dan serat merupakan modal nyata.

Sayangnya, karena bahan baku dan proses pembuatannya masih skala kecil, harga beras analog relatif tinggi, Rp 9.000-Rp 14.000 per kilogram. Jika telah diproduksi secara luas, diharapkan harga bisa lebih terjangkau masyarakat luas. (Kompas, 11 Mei 2012/ humasristek)

0 comments:

Post a Comment

 
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...