Jakarta, kota rapuh. Air saja cukup membuatnya tak berdaya. Ketika turun hujan seharian dibarengi kiriman air dari hulu dan gelombang pasang menyerbu pantai, lumpuh sudah ibu kota negeri ini.
Mengantisipasi ancaman itu, Jakarta dipasangi alat pemantau di beberapa penjuru.
Kelumpuhan kota yang berada di Teluk Jakarta akibat banjir dipengaruhi lima pola cuaca dalam skala regional dan lokal serta dua pola aliran air di daerah aliran sungai yang melewatinya.
Di musim hujan zona musim di Indonesia akan dipengaruhi pola angin monsun yang bergerak dari utara (Asia) ke selatan. Angin ini membawa banyak uap air. Pola monsun menimbulkan hujan pada malam hingga dini hari.
Selain monsun, wilayah Jakarta dipengaruhi cuaca lokal, yaitu siklus angin diurnal. Pada siklus ini, angin bergerak dari laut ke darat pada pagi hari.
Uap air hasil penguapan di laut tertiup angin sehingga terkumpul di pegunungan di selatan Jakarta. Masa awan akan kian memberat hingga bergerak turun dan menjadi hujan di Jakarta, sore hingga malam hari.
Dua pola cuaca ini membuat kota yang dialiri 13 sungai ini menampung banyak air hujan. Namun, itu masih ditambah dua anomali cuaca yang meningkatkan guyuran hujan.
Ancaman itu adalah serbuan massa udara masif dari Siberia Rusia terbawa angin ke barat Indonesia hingga meluruh di Samudra Hindia. Pergerakan kumpulan awan dari kawasan subtropis dan lintang tinggi ini disebut gelombang Rossby.
Gelombang udara ini bergerak dalam periode 10-15 hari. ”Polanya hampir mirip dengan Madden-Julian Oscillation (MJO), tetapi MJO berlangsung 50 harian,” ujar pakar meteorologi, Edvin Aldrian, yang juga Kepala Pusat Perubahan Iklim dan Kualitas Udara Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika.
Daerah yang dilewati gelombang Rossby, yaitu Guangzhou, China, dan Hongkong, akan mengalami penurunan tekanan udara drastis. Dalam satu minggu Rossby ini akan berdampak antara lain pada curah hujan yang tinggi di Jakarta, seperti kejadian tahun 2005 dan 2007.
Guyuran hujan lebat sehingga mengakibatkan banjir pada tahun 2007, menurut pengamat cuaca, Ardhi Adhari Arbain, dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) juga disebabkan oleh MJO.
Anomali cuaca ini digambarkan sebagai gelombang hujan yang bergeser ke arah timur mengelilingi Bumi. Karena wilayah Indonesia berada pada 95 derajat Bujur Timur hingga 141 derajat Bujur Timur, maka pengaruhnya akan dirasakan secara bergiliran selama seminggu, mulai dari Sumatera pada hari pertama hingga Papua pada hari ketujuh.
Berdasarkan Indeks MJO yang dikeluarkan National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA), kata Ardhi, hujan lebat disertai angin kencang akan muncul lagi sekitar akhir Januari hingga awal Februari.
Selain ancaman dari ”atas”, Jakarta berpotensi terkepung banjir jika mendapat ”kiriman” dari hulu DAS Ciliwung dan masuknya gelombang laut yang pasang, sebagai dampak MJO dan pasang laut, karena bulan purnama. Fenomena ini pernah terjadi pada tahun 2007.
Program Harimau
Memahami pola cuaca dan hidrometeorologi itu, BPPT bekerja sama dengan Jamstec Jepang membangun jejaring Hydrometeorological Array for Intraseasonal Variation Monsoon Automonitoring (Harimau), yang terdiri atas lima stasiun radar terpasang di beberapa lokasi di garis khatulistiwa Indonesia.
Hasil pengamatan dari jejaring radar ini akan digunakan untuk membuat model peramalan cuaca untuk kawasan khatulistiwa. ”Selama ini model prakiraan cuaca di Indonesia menggunakan model untuk kawasan subtropis, yang tidak sama dengan pola cuaca khatulistiwa, apalagi Indonesia yang begitu dinamis,” kata Ardhi, yang mendalami prediksi cuaca berbasis radar.
Sistem radar untuk memantau kondisi awan dan angin, dari jenis S, C, dan X-band, yang memiliki jangkauan berbeda. Radar S berdaya di bawah 4 gigahertz dan radar C hingga 8 GHz mampu memantau wilayah pada radius lebih dari 500 km.
Adapun radar X-band berdaya di atas 8 GhZ hanya memantau wilayah lebih sempit (sekitar 200 km). Namun, radar X-band dapat mendeteksi partikel lebih kecil dan membedakan antara awan dan debu atau obyek lain.
Khusus untuk memantau wilayah Jabodetabek, dipasang stasiun radar C-band di Serpong. Fadli Syamsudin, Manajer Laboratorium Teknologi Sistem Kebumian dan Mitigasi Bencana BPPT, yang juga koordinator program Harimau, menyatakan, pihaknya mulai menerapkan radar X-band yang mudah dibawa.
Radar X-band memiliki kelebihan lain, yaitu resolusinya lebih kecil, yaitu 50 meter. Radar jenis lama 200-500 meter. Dengan radar baru, ketepatan prediksi curah hujan bisa mencapai 90 persen.
Radar buatan Jerman itu diuji coba BPPT sejak Oktober tahun lalu di Bogor, juga digunakan untuk pelatihan. Radar setinggi 4 meter itu kini diuji coba oleh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional di Bukittinggi, Sumatera Barat, untuk mengetahui karakteristik curah hujan Januari-Februari.
Menurut Ardhi, penggunaan radar bergerak ini dapat mengatasi kendala keterbatasan jumlah stasiun meteorologi, dan keterbatasan dana, karena harganya relatif lebih murah.
• KOMPAS.com
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment