Jakarta � Setiap kali Jakarta terkena bencana terutama banjir, wacana pemindahan Ibu Kota menjadi topik bahasan utama pemerintah. Padahal, memindahkan Ibu Kota bukannya memindahkan administrasi negara tetapi manusia yang jumlahnya ribuan serta infrastruktur pendukung.
Pemindahan Ibu Kota tidak bisa serta merta pindah dalam satu dua tahun. Paling tidak sebelum pembangunan infrastruktur, dibutuhkan kajian yang mendalam mulai aspek sosial, tata kelola sampai biaya yang harus dikeluarkan oleh negara.
Selain itu, pemindahan Ibu Kota, jangan hanya sekedar memindahkan elite politik atau birokrasi semata yang hanya akan menikmati kepindahan tersebut. "Jangan pemindahan Ibu Kota dilandasi oleh masalah Jakarta yang sudah banyak, seperti banjir dan macet," ujar Pengamat Tata Kota Yayat Supriyatna pada merdeka.com, Jumat (25/4).
Yayat memprediksi kepindahan Ibu Kota membutuhkan biaya yang super besar. Jika dibandingkan pembenahan Jakarta. Contohnya, untuk satu program penanggulangan banjir Jakarta butuh Rp 60 triliun, jauh lebih rendah dibandingkan pemindahan Ibu Kota. "Ingat pindah Ibu Kota butuh dana besar. Saat ini ada 35 kementerian, artinya harus membangun 35 gedung kementerian, akses jalan, dan infrastruktur lainnya," katanya.
Dilihat dari satu program saja, pemindahan Ibu Kota akan memakan dana yang sangat besar. Padahal, perpindahan Ibu Kota bukan sekedar memindahkan perkantoran milik pemerintah pusat.
Selain itu, idealnya pemindahan Ibu Kota, bukan karena adanya masalah di Ibu Kota saat ini seperti banjir dan kemacetan. Tanpa adanya penataan yang baik dan terencana bisa terjadi kesalahan yang sama seperti di Jakarta. "Pemindahan harus disesuaikan dengan visi Indonesia ke depan," katanya.
Kesuksesan pemindahan Ibu Kota tergantung pula kesejahteraan masyarakat dengan tingkat pendapatan yang sudah mapan. Hanya beberapa negara yang sukses memindahkan Ibu Kotanya seperti Israel dan Kazakstan yang didukung kesejahteraan masyarakat dan disiplin masyarakat yang kuat.
Di Malaysia, kata Yayat, 50 persen pegawai negeri pulang-pergi ke Kuala Lumpur karena jarak dan transportasi yang memadai. Hanya pegawai rendahan yang bertahan di Putra Jaya. "Ini dipengaruhi oleh fasilitas kota anyar yang mereka dapatkan," ujarnya.
Dia menegaskan aspek sosial masyarakat perlu diperhitungkan. Aspek ini akan memakan biaya tinggi, buka hanya infrastruktur. "Membangun kota mandiri yang dikelola swasta saja butuh 25 tahun, apalagi Ibu Kota?" katanya.
Yayat mengatakan, yang bisa dilakukan Jakarta saat ini adalah berbagai pertumbuhan ekonomi dengan daerah lain di sekitar Jakarta. Misalnya paling ekstrem Jakarta menolak mengizinkan adanya industri padat karya dan menolak pembangunan pusat bisnis anyar. "Paling ekstrem adalah relokasi pabrik, pelabuhan dan industri ke daerah lainnya, ini bisa mengurangi dan lambat-laun masyarakat akan berpindah," katanya.
Agar pengusaha tidak berbondong-bondong bangun pabrik di Jakarta, yang bisa dilakukan Jokowi adalah menaikkan upah minimum setinggi mungkin. "Ini bisa mendorong pengusaha mencari tempat di luar Jakarta, sehingga beban Jakarta berkurang.".
Dia menilai besarnya biaya pemindahan Ibu Kota akan membuat masyarakat protes dibandingkan penataan kawasan Jakarta. Sebab Indonesia itu bukan hanya Jakarta.
"Lebih baik digunakan untuk pembangunan perumahan masyarakat. Toh, pindah Ibu Kota tanpa ada manajemen yang jelas masalah yang sama akan muncul. Pindah Ibu Kota harus sesuai visi dan misi Indonesia ke depan, bukan karena masalah saat ini," katanya.(mdk/has)
Pemindahan Ibu Kota tidak bisa serta merta pindah dalam satu dua tahun. Paling tidak sebelum pembangunan infrastruktur, dibutuhkan kajian yang mendalam mulai aspek sosial, tata kelola sampai biaya yang harus dikeluarkan oleh negara.
Selain itu, pemindahan Ibu Kota, jangan hanya sekedar memindahkan elite politik atau birokrasi semata yang hanya akan menikmati kepindahan tersebut. "Jangan pemindahan Ibu Kota dilandasi oleh masalah Jakarta yang sudah banyak, seperti banjir dan macet," ujar Pengamat Tata Kota Yayat Supriyatna pada merdeka.com, Jumat (25/4).
Yayat memprediksi kepindahan Ibu Kota membutuhkan biaya yang super besar. Jika dibandingkan pembenahan Jakarta. Contohnya, untuk satu program penanggulangan banjir Jakarta butuh Rp 60 triliun, jauh lebih rendah dibandingkan pemindahan Ibu Kota. "Ingat pindah Ibu Kota butuh dana besar. Saat ini ada 35 kementerian, artinya harus membangun 35 gedung kementerian, akses jalan, dan infrastruktur lainnya," katanya.
Dilihat dari satu program saja, pemindahan Ibu Kota akan memakan dana yang sangat besar. Padahal, perpindahan Ibu Kota bukan sekedar memindahkan perkantoran milik pemerintah pusat.
Selain itu, idealnya pemindahan Ibu Kota, bukan karena adanya masalah di Ibu Kota saat ini seperti banjir dan kemacetan. Tanpa adanya penataan yang baik dan terencana bisa terjadi kesalahan yang sama seperti di Jakarta. "Pemindahan harus disesuaikan dengan visi Indonesia ke depan," katanya.
Kesuksesan pemindahan Ibu Kota tergantung pula kesejahteraan masyarakat dengan tingkat pendapatan yang sudah mapan. Hanya beberapa negara yang sukses memindahkan Ibu Kotanya seperti Israel dan Kazakstan yang didukung kesejahteraan masyarakat dan disiplin masyarakat yang kuat.
Di Malaysia, kata Yayat, 50 persen pegawai negeri pulang-pergi ke Kuala Lumpur karena jarak dan transportasi yang memadai. Hanya pegawai rendahan yang bertahan di Putra Jaya. "Ini dipengaruhi oleh fasilitas kota anyar yang mereka dapatkan," ujarnya.
Dia menegaskan aspek sosial masyarakat perlu diperhitungkan. Aspek ini akan memakan biaya tinggi, buka hanya infrastruktur. "Membangun kota mandiri yang dikelola swasta saja butuh 25 tahun, apalagi Ibu Kota?" katanya.
Yayat mengatakan, yang bisa dilakukan Jakarta saat ini adalah berbagai pertumbuhan ekonomi dengan daerah lain di sekitar Jakarta. Misalnya paling ekstrem Jakarta menolak mengizinkan adanya industri padat karya dan menolak pembangunan pusat bisnis anyar. "Paling ekstrem adalah relokasi pabrik, pelabuhan dan industri ke daerah lainnya, ini bisa mengurangi dan lambat-laun masyarakat akan berpindah," katanya.
Agar pengusaha tidak berbondong-bondong bangun pabrik di Jakarta, yang bisa dilakukan Jokowi adalah menaikkan upah minimum setinggi mungkin. "Ini bisa mendorong pengusaha mencari tempat di luar Jakarta, sehingga beban Jakarta berkurang.".
Dia menilai besarnya biaya pemindahan Ibu Kota akan membuat masyarakat protes dibandingkan penataan kawasan Jakarta. Sebab Indonesia itu bukan hanya Jakarta.
"Lebih baik digunakan untuk pembangunan perumahan masyarakat. Toh, pindah Ibu Kota tanpa ada manajemen yang jelas masalah yang sama akan muncul. Pindah Ibu Kota harus sesuai visi dan misi Indonesia ke depan, bukan karena masalah saat ini," katanya.(mdk/has)
• Merdeka
0 comments:
Post a Comment