Ilustrasi |
Yogyakarta � Fakultas Teknik UGM mengembangkan pengelolaan sampah secara mandiri di dalam kampus. Hal itu untuk mengurangi buruknya kualitas lingkungan akibat sampah yang tidak tertangani dengan baik.
"Sampah menimbulkan persoalan lingkungan yang serius di berbagai kota di Indonesia. Fakultas Teknik UGM melalui waste refinery center bekerjasama dengan University of Boras, Swedia sedang melakukan penelitian dan pengelolaan sampah yang mengadopsi sistem yang dilakukan di salah satu pusat pengelolaan limbah di Sobacken, Swedia," papar Dekan FT UGM, Prof Ir Panut Mulyono MEng DEng, Jumat (25/1/2013) di kampus setempat.
Panut menyebutkan, model pengelolaan sampah yang dilakukan tidak jauh berbeda dengan sistem lain yang sudah banyak dijalankan, yaitu dengan memilah sampah menurut jenisnya dan membuangnya di depo sampah.
"Sistemnya sederhana dan tidak berbeda dengan sistem yang sudah banyak berjalan. Hanya saja, pengelolaan sampah dilakukan secara terpadu dengan melibatkan peran aktif seluruh stakeholder," ujarnya.
Disampaikan Panut, kegiatan pengelolaan sampah yang telah dilakukan adalah dengan memilah sampah menjadi empat macam, yakni sampah organik, plastik, kaca, dan logam, sampah kertas, serta sampah lain-lain. Sampah dikumpulkan oleh petugas kebersihan di semua titik tempat sampah jurusan dalam keadaan terpilah. Selanjutnya sampah yang sudah terkumpul diangkut menuju tempat sampah besar di setiap jurusan yang kemudian akan dibawa ke depo atau mini sobaken area.
"Sampah organik kami buat kompos, sedangkan sampah plastik, gelas, logam, dan kertas kita bekerjasama dengan pemulung untuk dibawa ke tempat daur ulang. Sementara sampah lainnya diserahkan ke tempat pembuangan akhir (TPA)," papar Panut.
Dalam pengelolaan sampah, Panut melihat sebagian masyarakat telah menunjukkan kesadaran untuk memilah sampa sesuai jenisnya. Hanya saja, yang menjadi persoalan ketika sampah diangkut menuju TPA menjadi tercampur kembali satu sama lain.
"Perlu dipikirkan agar sampah tidak kembali tercampur saat diangkut ke TPA. Di Jepang terdapat jadwal pasti dalam pengambilan sampah sesuai dengan jenis sampahnya. Misal sampah organik akan diambil hari Senin, sampah kertas hari Selasa. Sementara sampah lainnya baru akan diambil di hari berikutnya," tuturnya.
Sementara Dr. Kamra Rousta, peneliti University of Boras, Swedia menyampaikan pengalaman masyarakat Swedia dalam pengelolaan sampah. Untuk menghindari tercampurnya kembali sampah organik dengan non-organik, masyarakat di sana melakukannya dengan cara yang cukup sederhana.
"Kami pakai dua kantong plastik untuk menampung sampah rumah tangga. Warna hitam untuk sampah organik dan putih untuk jenis sampah lainnya, sehingga saat ditampung di tempat pembuangan akhir, memudahkan untuk menyatukan masing-masing jenis sampah," urainya. Panut berharap pengelolaan sampah secara mandiri di dalam kampus nantinya bisa menjadi contoh dalam pengelolaan sampah bagi masyarakat.
• Kompas
"Sampah menimbulkan persoalan lingkungan yang serius di berbagai kota di Indonesia. Fakultas Teknik UGM melalui waste refinery center bekerjasama dengan University of Boras, Swedia sedang melakukan penelitian dan pengelolaan sampah yang mengadopsi sistem yang dilakukan di salah satu pusat pengelolaan limbah di Sobacken, Swedia," papar Dekan FT UGM, Prof Ir Panut Mulyono MEng DEng, Jumat (25/1/2013) di kampus setempat.
Panut menyebutkan, model pengelolaan sampah yang dilakukan tidak jauh berbeda dengan sistem lain yang sudah banyak dijalankan, yaitu dengan memilah sampah menurut jenisnya dan membuangnya di depo sampah.
"Sistemnya sederhana dan tidak berbeda dengan sistem yang sudah banyak berjalan. Hanya saja, pengelolaan sampah dilakukan secara terpadu dengan melibatkan peran aktif seluruh stakeholder," ujarnya.
Disampaikan Panut, kegiatan pengelolaan sampah yang telah dilakukan adalah dengan memilah sampah menjadi empat macam, yakni sampah organik, plastik, kaca, dan logam, sampah kertas, serta sampah lain-lain. Sampah dikumpulkan oleh petugas kebersihan di semua titik tempat sampah jurusan dalam keadaan terpilah. Selanjutnya sampah yang sudah terkumpul diangkut menuju tempat sampah besar di setiap jurusan yang kemudian akan dibawa ke depo atau mini sobaken area.
"Sampah organik kami buat kompos, sedangkan sampah plastik, gelas, logam, dan kertas kita bekerjasama dengan pemulung untuk dibawa ke tempat daur ulang. Sementara sampah lainnya diserahkan ke tempat pembuangan akhir (TPA)," papar Panut.
Dalam pengelolaan sampah, Panut melihat sebagian masyarakat telah menunjukkan kesadaran untuk memilah sampa sesuai jenisnya. Hanya saja, yang menjadi persoalan ketika sampah diangkut menuju TPA menjadi tercampur kembali satu sama lain.
"Perlu dipikirkan agar sampah tidak kembali tercampur saat diangkut ke TPA. Di Jepang terdapat jadwal pasti dalam pengambilan sampah sesuai dengan jenis sampahnya. Misal sampah organik akan diambil hari Senin, sampah kertas hari Selasa. Sementara sampah lainnya baru akan diambil di hari berikutnya," tuturnya.
Sementara Dr. Kamra Rousta, peneliti University of Boras, Swedia menyampaikan pengalaman masyarakat Swedia dalam pengelolaan sampah. Untuk menghindari tercampurnya kembali sampah organik dengan non-organik, masyarakat di sana melakukannya dengan cara yang cukup sederhana.
"Kami pakai dua kantong plastik untuk menampung sampah rumah tangga. Warna hitam untuk sampah organik dan putih untuk jenis sampah lainnya, sehingga saat ditampung di tempat pembuangan akhir, memudahkan untuk menyatukan masing-masing jenis sampah," urainya. Panut berharap pengelolaan sampah secara mandiri di dalam kampus nantinya bisa menjadi contoh dalam pengelolaan sampah bagi masyarakat.
• Kompas
0 comments:
Post a Comment