Sunday, 12 December 2010

Inspirasi dari Kuliah Gempa

Seismograf. TEMPO/Fully Syafi

TEMPO Interaktif, Jakarta - SESEKALI coba Anda menengok situs Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika. Hitung berapa banyak gempa yang mengguncang wilayah Indonesia selama sepekan ini. Tak perlu risau atau terkejut jika didapat data yang terlihat menakutkan. Bayangkan, ada 60 gempa berkekuatan 2-6 skala Richter yang terjadi dalam periode 2-5 Desember lalu.

Ya, Indonesia memang dikenal sebagai kawasan rawan gempa terbesar di dunia. Kawasan ini dikepung tiga lempeng tektonik dan juga merupakan jalur cincin api Pasifik, yakni rangkaian gunung api aktif di dunia. Selama dinamika di lapisan bumi ini terus bergerak, potensi gempa tak akan pernah hilang. Bencana yang belum bisa diprediksi kapan datangnya ini terus mengancam merusak infrastruktur bahkan menelan korban jiwa.

Inilah yang mendorong Tatang Kukuh Wibowo, Ali Zakaria, dan Fitrianto--ketiganya mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta--menciptakan detektor gempa skala rumah tangga. Alat ini menang dalam Kompetisi Rancang Bangun Nasional 2010 di Universitas Udayana, Bali. "Selama ini deteksi gempa hanya dimiliki instansi pemerintah," kata Tatang, konseptornya, sepekan lalu.

Menurut Tatang, gempa selalu datang tiba-tiba dan umumnya terjadi malam hari. Gempa semacam itulah yang banyak menimbulkan korban jiwa. Biasanya penduduk terlambat menyelamatkan diri lantaran ketiadaan peringatan dini. Alat yang murah dan mudah dipasang di rumah penduduk dinilai sebagai solusinya. "Biaya pembuatannya pun hanya Rp 50 ribu," kata Tatang.

Detektor gempa rumah tangga ini berdesain sederhana. Ukurannya hanya sebesar bungkus keripik kentang yang biasa dijual di supermarket. Pelindung detektornya pun terbuat dari plastik mika. Tapi di dalamnya tersimpan komponen yang terdiri atas relai, alarm, bandul tembaga, dan cip dengan sumber tenaga baterai 9 volt.

Detektor gempa bekerja ketika bangunan bergoyang. Dasar penghitungannya meliputi percepatan pergerakan tanah dan massa bangunan. Nah, cip pintar di dalam detektor gempalah yang menentukan suatu bangunan akan roboh atau tidak. "Alarm otomatis berbunyi sebagai pertanda bangunan berpotensi roboh," kata Ali.

Ali menambahkan, bangunan satu lantai mampu bertahan terhadap goyangan tak lebih dari satu sentimeter. Ada juga struktur bangunan yang tahan goyangan hingga 10 sentimeter. Kekuatan bangunan yang berbeda-beda ini mengharuskan cip detektor dibuat berdasarkan kekuatan rumah. Detektor buatan UNS disarankan dipasang di kolom bangunan atau titik pusat kekuatan rumah, yang paling terpengaruh ketika terjadi pergerakan bangunan. "Hitungannya tidak menggunakan prinsip skala Richter," kata Tatang.

Alasannya, menurut Tatang, alat ini terfokus menghitung kemampuan bangunan bertahan terhadap goyangan akibat gempa. "Prinsipnya, alat bekerja ketika goyangan yang diterima sebuah bangunan melebihi batas toleransi kekuatannya. Sehingga penghuninya punya kesempatan melarikan diri sebelum bangunan roboh," katanya.

Ide pembuatan detektor gempa terlintas begitu saja di pikiran Tatang, 21 tahun, pada saat ia menyimak kuliah tentang rekayasa gempa pada April lalu. Saat itu dosen sedang menerangkan ihwal bangunan yang bergoyang akibat gempa. Namun pembuatannya baru dilakukan sebelum Lomba Rancang Bangun pada Oktober. "Belum ada detektor gempa rumah tangga di pasaran," katanya.

Dosen struktur beton dan mekanika bangunan Fakultas Teknik, Edy Purwanto, menilai detektor gempa buatan anak didiknya berpeluang membantu pemerintah mengurangi risiko bencana. Tapi perhitungan goyangan setiap bangunan yang berbeda-beda masih menjadi kendala. "Tidak bisa dipukul rata untuk setiap bangunan. Jadi agak repot ketika akan diproduksi massal," katanya.[Rudy Prasetyo, Ukky Primartantyo (Solo)]


TEMPOInteraktif

( brita lebih lanjut )

0 comments:

Post a Comment

 
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...